HAKIKAT PEMBELAJARAN ENGLISH FOR YOUNG LEARNERS (EYL)

Table of Contents
ENGLISH FOR YOUNG LEARNERS (EYL)

A. Kebijakan Pembelajaran EYL

Dalam era informasi dan globalisasi ini, pemerintah menyadari pentingnya peran bahasa Inggris dan sumber daya manusia yang memiliki keandalan berkomunikasi dalam bahasa Inggris, yang di Indonesia merupakan bahasa asing. Sebagai kebijakan yang berorientasi ke depan, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 yang menyebutkan tentang pengembangan sumber daya manusia.

Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam dunia pendidikan, antara lain dalam bentuk pengembangan dan peningkatan kualitas kemampuan dan keterampilan guru, siswa, dan tenaga kependidikan yang terkait. Selain itu, terdapat kebijakan mengenai mata pelajaran muatan lokal di sekolah dasar, yaitu Kebijakan Depdikbud Republik Indonesia Nomor 0487/14/1992 Bab VIII yang menyatakan bahwa sekolah dasar dapat menambah mata pelajaran dalam kurikulumnya, dengan syarat pelajaran itu tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Mata pelajaran tambahan biasanya merupakan mata pelajaran yang memang dibutuhkan oleh sekolah dan masyarakat sekitarnya. Karena itu, mata pelajaran muatan lokal sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lain. Hal ini terlihat dari adanya mata pelajaran bahasa daerah dan mata pelajaran kesenian.

Setahun kemudian, kebijakan ini disusul oleh Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993 tentang dimungkinkannya program bahasa Inggris lebih dini sebagai satu mata pelajaran muatan lokal. Mata pelajaran ini dapat dimulai di kelas 4 SD sesuai anjuran pemerintah.

Dalam hal ini, pengertian “lokal” dapat berarti pada tingkat provinsi, kabupaten atau kota, kecamatan, bahkan tingkat sekolah. Mata pelajaran muatan lokal sebenarnya ditetapkan oleh kebijakan daerah, para pakar pendidikan, penyusun bahan ajar, dan anggota masyarakat lainnya. Perlu juga dipertimbangkan kondisi lingkungan alam, sosial, dan budaya serta tersedianya tenaga pengajar bahasa Inggris yang kompeten.

Kebijakan tentang program bahasa Inggris di sekolah dasar ini, selanjutnya ditindak lanjuti oleh beberapa provinsi dengan menanggapi dalam bentuk kebijakan juga, misalnya provinsi Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dengan mengeluarkan surat keputusan dan mengembangkan kurikulum muatan lokal. Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi (DIKNAS) Jawa Timur mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1702/105/1994 tanggal 30 Maret 1994 yang menyatakan bahwa di Jawa Timur mata pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan berubah menjadi mata pelajaran muatan lokal wajib.

Kebijakan ini ditanggapi secara positif dan luas oleh masyarakat, terutama oleh sekolah-sekolah dasar yang merasa memerlukan dan mampu menyelenggarakan pembelajaran bahasa Inggris. Dalam proses pengembangannya di beberapa daerah, bahasa Inggris yang semula sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan menjadi mata pelajaran muatan lokal wajib. Kurikulum mata pelajaran muatan lokal ini tidak disusun oleh Pusat Kurikulum Depdiknas, tetapi dikembangkan oleh Depdiknas tingkat Provinsi. Karena itu, kurikulum muatan lokal di Jawa Timur berbeda dengan yang ada di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, baik mengenai tujuannya maupun materinya. Hal ini teridentifkasi dari temuan penelitian yang dilakukan oleh Suyanto, Rachmajanti, dan Rahayu (2001).

Dari hasil analisis kurikulum bahasa Inggris sebagai muatan lokal yang ada di lapangan, bila benar-benar kita cermati masih banyak kelemahannya. Tujuan yang merupakan salah satu komponen penting dalam pengajaran bahasa Inggris, kurang sesuai dengan perkembangan anak usia 6-12 tahun. Kurikulum muatan lokal bahasa Inggris yang pernah dikaji pada empat provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, menunjukkan adanya perbedaan dalam pendekatan pengembangan, tujuan, dan topiknya. Mungkin untuk isi atau bahan ajar bisa berbeda sesuai dengan apa yang ada di lingkungannya. Sedangkan untuk tujuan, secara nasional mungkin perlu dipertimbangkan sesuai dengan kebijaksanaan, situasi, dan kondisi yang ada.

Kenyataan yang menunjukkan bahwa pada saat kebijakan diberlakukan, para pembuat kebijakan terkesan kurang atau tidak melakukan analisis kebutuhan secara cermat sebelumnya. Seharusnya sebelum kebijakan berlaku sudah diperkirakan hal-hal sebagai berikut.
  • Apakah tenaga di lapangan sudah siap ?
  • Apakah kurikulum atau silabus sudah ada ?
  • Apakah bahan pengajaran yang sesuai sudah ada ?
Walaupun disebutkan bahwa bahasa Inggris di sekolah dasar bukan merupakan mata pelajaran wajib dan tidak harus diajarkan bila memang belum siap, tetapi banyak sekolah yang memaksakan diri untuk melaksanakan program ini. Permintaan masyarakat, terutama orang tua murid yang menginginkan agar anaknya juga belajar bahasa Inggris seperti yang ada di sekolah lain. Di samping itu, adanya perintah atau keputusan dari Dinas Pendidikan setempat yang mewajibkan sekolah untuk memberikan pelajaran bahasa Inggris sebagai pelajaran muatan lokal wajib. Hal ini yang membuat pelajaran bahasa Inggris terkesan dilaksanakan seadanya.

Pada kenyataannya, pengembangan suatu program baru (dalam hal ini program pengajaran bahasa Inggris) tidaklah mudah. Sebenarnya, perlu ada alasan yang tepat untuk melandasi program tersebut dengan dasar pemikiran yang kuat mengapa program bahasa Inggris perlu dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Dasar pemikiran ini harus beranjak dari kebutuhan yang kemudian dikembangkan, misalnya apakah memang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan atau sebagai prioritas untuk bidang tertentu agar sejajar dengan sekolah lain.

Menurut Curtain dan Pesola (1994), Dewan Sekolah dan Persatuan Orang Tua Murid perlu memberikan alasan kuat dan bukti nyata sebelum sekolah membuat keputusan atau kebijakan. Perlu dipertimbangkan tentang waktu yang tersedia, dana, dan jenis program ini. Program bahasa Inggris ini perlu mengetengahkan manfaat dari pembelajaran bahasa, pilihan bahasa mana yang harus diajarkan, jenis kegiatan pembelajaran yang akan dipakai, dan sebagainya. Dasar pemikiran yang meyakinkan dan perencanaan yang mantap akan dapat membantu perlunya keberadaan pelajaran bahasa asing di sekolah dasar.

Kebijakan lain yang perlu dipahami adanya pengelompokkan mata pelajaran, khusunya pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Dengan adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu mengetahui bagaimana posisi mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Dari Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum yang ada saat ini dapat dilihat pada Pasal 7 ayat 7 bahwa pelajaran bahasa Inggris di SD/MI termasuk kelompok mata pelajaran estetika. Mata pelajaran bahasa Inggris yang termasuk mata pelajaran muatan lokal memerlukan kegiatan bahasa yang relevan dengan tingkat pembelajarannya.

Kebijakan-kebijakan yang telah dituangkan dalam bentuk surat keputusan atau peraturan pemerintah merupakan pegangan yang dapat dipakai sebagai dasar untuk mengembangkan mata pelajaran bahasa Inggris, terutama di Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah. Landasan seperti ini penting untuk diketahui terutama bagi pengembang dan pengelola program mata pelajaran  bahasa Inggris sebab program bahasa Inggris sebagai bahasa asing untuk anak memerlukan banyak pertimbangan satu dan hal lain yang saling berkaitan.

Kebijakan tahun 2006 yang perlu kita ketahui berkaitan dengan mata pelajaran muatan lokal adalah Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006. , merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas atau potensi daerah, termasuk keunggulan daerah  yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Menurut kebijakan ini, substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan. Selain itu, juga dinyatakan bahwa jam mata pelajaran muatan lokal dialokasikan dua jam, berarti 2 x 35 menit. Selain itu jelas dalam peraturan menteri bahwa mata pelajaran muatan lokal diprogramkan di kelas 4, 5, dan 6 Sekolah Dasar.

Selain kebijakan yang sifatnya nasional seperti yang disebutkan di atas, ada pula kebijakan yang bersifat regional dan institusional. Kebijakan semacam ini biasanya diambil oleh pemimpin atau kepala sekolah setelah dirapatkan dengan staf guru dan komite sekolah. Mata pelajaran muatan lokal seperti pelajaran bahasa Inggris di SD/MI merupakan wewenang sekolah untuk menentukan apakah mata pelajaran bahasa Inggris perlu diberikan di sekolahnya. Jika diperlukan, dimulai di kelas berapa, dan seminggu berapa jam. Bila sudah ada keputusan maka perlu persiapan yang cermat, yaitu berkaitan dengan tenaga pengajarnya dan bahan ajarnya.

Kebijakan berikutnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006, yaitu tentang standar kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKLSP) dikembangkan berdasarkan tujuan setiap satuan pendidikan. Untuk mata pelajaran bahasa Inggris sebagai muatan di SD/MI sebagai berikut.
1.    Mendengarkan
Memahami instruksi, informasi, dan cerita singkat sederhana yang disampaikan secara lisan dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar.
2.    Berbicara
Mengungkapkan makna secara lisan dalam wacana interpersonal dan transaksional sangat sederhana dalam bentuk instruksi dan informasi dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar.
3.    Membaca
Membaca nyaring dan memahami makna dalam instruksi, informasi, teks fungsional pendek, dan teks deskriptif bergambar sangat sederhana yang disampaikan secara tertulis dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar.
4.    Menulis
Menuliskan kata, ungkapan, dan teks fungsional pendek sangat sederhana dengan ejaan dan tanda baca yang tepat.

B. Dasar Pemikiran dan Teori Psikologi EYL

Mata pelajaran bahasa Inggris yang dimulai di kelas 4 SD dan MI perlu ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Untuk mengetahui landasan apa yang menjadi dasar pemikiran, marilah kita kaji teori psikologi perkembangan yang relevan dan terkait dengan pembelajaran bahasa, termasuk bahasa asing. Berikut ini adalah teori yang dikemukakan oleh Piaget, Vigotsky, dan Bruner yang dapat dihubungkan dengan perkembangan anak. Teori-teori tersebut menekankan adanya tingkat-tingkat perkembangan kognitif yang dialami anak, perlunya interaksi sosial dan perlunya bantuan orang dewasa dalam mendorong anak belajar.

1. Jean Piaget (1986-1980)


Piaget mengemukakan suatu teori psikologi perkembangan yang berhubungan dengan unsur kognitif. Menurut Piaget (1969), anak belajar dari lingkungan di sekitarnya dengan cara mengembangkan apa yang sudah dimiliki dan akan berinteraksi dengan apa yang ditemui di sekitarnya. Dalam berinteraksi, mereka akan melakukan suatu tindakan agar bias memecahkan masalahnya dan di sinilah terjadi proses belajar.

Menurut Piaget, semua anak adalah pebelajar yang aktif. Pengetahuan yang diperoleh dari tindakannya merupakan pengetahuan yang dikembangkan sendiri, bukan sekedar menirukan atau memang sudah dimiliki. Pengetahuan baru merupakan pengetahuan yang secara aktif disusun oleh anak itu sendiri. Pada awalnya, hal itu terjadi berkaitan dengan benda-benda konkret yang ada di sekitarnya, kemudian masuk dalam pikirannya dan diikuti dengan melakukan suatu tindakan, selanjutnya tindakan itu dicerna dan dipahami. Dengan cara itu, apa yang ada di dalam “pikiran” berkembang dan tindakan serta pengetahuan anak akan beradaptasi dan terjadilah sesuatu yang baru.

Menurut Piaget (1969), terdapat empat fase perkembangan anak, yaitu
  1. Sensorymotor stage, dari lahir sampai usia 2 tahun;
  2.  Preoperational stage, usia 2-8 tahun;
  3. Concrete operational stage, usia 8-11 tahun;
  4. Formal stage, usia 11-15 tahun atau lebih.
Fase masa perkembangan tersebut tidak selalu sama bagi setiap anak, baik secara perorangan atau kelompok. Fase-fase perkembangan dapat terjadi bersamaan waktunya, tetapi perkembangan untuk setiap tingkat dapat dicapai dalam waktu yang tidak bersamaan, apalagi untuk setiap jenis pengetahuan juga berbeda.

Dengan memerhatikan keempat fase perkembangan tersebut, dapat kita lihat berada pada fase mana anak-anak sekolah dasar di Indonesia, yaitu anak-anak usia 6-12 tahun. Tentunya mereka berada pada akhir periode preoperational stage sampai dengan concrete operational stage, bahkan sampai awal dari formal stage. Berarti anak-anak usia sekolah dasar perlu mendapat perhatian sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan keterampilan intelektualnya menuju ke tahap cara berpikir yang lebih logis dan formal.

Piaget (1963) berpendapat bahwa cara berpikir anak berkembang melalui keterlibatan langsung dengan benda lain dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Setiap mencapai fase perkembangan baru, kemampuan bertambah dan menjadi satu dengan tingkat daya berpikir sebelumnya karena dua dari empat masa peralihan, masa perkembangan biasanya terjadi pada waktu anak-anak di sekolah dasar maka guru bahasa sebaiknya dapat bekerja sama dengan anak-anak didiknya agar selalu dapat mengikuti ciri-ciri dan perubahan perkembangan fase kognitif mereka.

Pada saat ini, terutama di kota-kota besar di Indonesia, telah berkembang adanya play group dan taman kanak-kanak yang memberikan bahasa Inggris kepada anak usia dini. Mereka yang terlibat di dalamnya juga perlu memiliki pengetahuan tentang perkembangan anak.

Hingga usia dua tahun (sensorymotor intelligence stage), perilaku anak-anak masih bersifat motorik. Anak belum benar-benar memahami hal-hal yang terjadi dan belum berpikir secara konseptual. Belajar bahasa terjadi karena adanya interaksi. Dengan bertambahnya usia, terjadi perkembangan bahasa dan konsep dengan cepat. Namun, pada saat ini sifat “akunya” juga tinggi atau mereka masih bersifat egosentris. Anak juga mulai menggunakan logika, namun masih sering memfokuskan perhatian untuk satu hal saja pada satu saat tertentu. Misalnya, mereka dapat membedakan warna dan ukuran, tetapi masih sulit bagi mereka untuk membedakan warna dan ukuran sesuatu secara bersamaan.

2. Lev Vygotsky: Zone of Proximal Development (ZPD)

Teori Vygotsky dikenal sebagai teori yang berfokus pada faktor sosial dan juga sering disebut sebagai sociocultural theory. Pada hakikatnya, beliau tidak mengabaikan perkembangan kognitif individual. Diakui pula bahwa perkembangan bahasa pertama atau bahasa ibu seorang anak pada usia dua tahun berfungsi untuk membantu suatu perubahan dalam perkembangan kognitif.

Vygotsky ialah seorang ahli jiwa dari Rusia, ia berpendapat bahwa anak adalah pebelajar aktif. Beliau mempunyai pandangan yang berbeda dengan Piaget, terutama pada proses belajar bahasa pada anak. Teori yang dikembangkannya dikenal sebagai teori yang berfokus pada aspek sosial. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain, terutama dengan orang dewasa akan menimbulkan terjadinya ide-ide baru dan meningkatkan perkembangan intelektual pebelajar.

Perlu kita ketahui bahwa sebenarnya bahasa merupakan alat bagi anak untuk membuka peluang guna melakukan sesuatu dan untuk menata informasi melalui penggunaan kata-kata. Karena itu, tidak mengherankan kalau sering kita temukan anak yang berbicara pada dirinya sendiri ketika bermain sendiri, hal itu sering disebut sebagai bahasa pribadi (private speech).

Semakin bertambah usia, kalau anak-anak itu berbicara suaranya semakin kurang keras. Dalam tingkat perkembangan ini dia mulai mampu membedakan antara social speech untuk orang lain dan private speech untuk dirinya sendiri (Cameron, 2001). Anak-anak yang baru mulai belajar berbicara pada umumnya mengucapkan satu kata, yang sebenarnya satu kata itu membawa arti atau pesan yang utuh. Ketika seorang anak menyebut “mama” dia bermaksud mengatakan “saya mau ikut mama” atau “saya mau disuapi mama”. Bila masanya tiba, keterampilan berbahasa anak akan berkembang dan selanjutnya dalam berkomunikasi dia akan menggunakan bahasa dengan lebih dari satu kata. Sejalan dengan perkembangan biologis dan pikiran serta keterampilan bahasa anak tersebut, mereka akan menggunakan beberapa kata atau kalimat pendek ketika mengungkapkan pikirannya. Oleh Vygotsky (1962), keterampilan berbicara ini dibedakan antara berbicara yang diucapkan dan berbicara dalam hati atau yang hanya ada dalam pikiran anak tersebut.

Perkembangan dan proses belajar bahasa terjadi dalam suatu konteks sosial, yaitu dalam komunitas yang penuh dengan orang yang berinteraksi dengan anak tersebut. Orang-orang yang ada di sekitar anak-anak ini penting perannya dalam membantu mereka untuk belajar menggunakan bahasa, anak merupakan pebelajar aktif yang hidup di antara orang lain sejak masih bayi. Melalui interaksi sosial, orang dewasa bertindak sebagai perantara dengan dunia sekitar anak. Dengan bantuan orang dewasa, anak-anak dapat melakukan dan memahami lebih banyak daripada kalau mereka belajar seorang diri.

Bila kita memahami teori Piaget maka kita akan mengerti bahwa memang ada perbedaan antara kedua teori tersebut. Piaget berpendapat bahwa anak sebagai pebelajar aktif, sibuk dengan dunianya yang penuh dengan benda-benda di sekitarnya. Bila seorang anak tidak dapat melakukan sesuatu, berarti dia belum waktunya mencapai fase perkembangan untuk melakukan itu. Sebaliknya, Vygotsky lebih memfokuskan pada hubungan sosial yang dapat membantu anak untuk lebih cepat belajar menggunakan bahasa.

Salah satu contoh yang diberikan oleh Vygotsky, yaitu ketika seorang anak menggunakan sendok untuk mengambil makanannya. Anak itu mungkin dapat mengambil makanan dengan sendok, kemudian memasukkan ke mulutnya. Akan tetapi, mungkin dia tidak benar-benar memenuhi sendoknya dengan makanan, mungkin hanya ada di ujung sendoknya. Dalam hal ini, bantuan orang dewasa akan sangat diperlukan. Misalnya, dengan memegang tangan anak dan membimbing bagaimana cara menyendok makanan agar sendok bisa terisi penuh. Dengan cara ini, anak tersebut bersama-sama dengan orang dewasa (mungkin ibu, kakak, atau gurunya) memperoleh suatu pengetahuan yang semula tidak dapat dilakukan oleh anak itu sendiri. Anak perlu mendapat latihan bagaimana menyendok makanan dengan yang benar (Cameron, 20001: 6).

Menurut Vygotsky, orang dewasa dapat membantu anak dengan berbagai cara. Sambil mengajari melakukan sesuatu, juga bisa menghemat waktu anak yang sedang belajar dan juga untuk menghindari hal-hal yang kurang menyenangkan. Bantuan orang dewasa sebenarnya untuk mendorong memperlancar pencapaian daerah perkembangan anak yang dikenal sebagai zone of proximal depelopment (ZDP). Orang tua lebih tahu bantuan apa yang seharusnya diberikan kepada anak untuk melakukan berbagai tindakan sebab merekalah yang paling banyak berinteraksi setiap hari. Oleh karena itu, guru bahasa Inggris yang terampil dan kreatif seharusnya dapat membantu siswanya dengan berbagai cara di kelasnya, dengan jumlah siswa yang banyak dan dengan ZPD yang berbeda.

Pokok pikiran dan konsep Vygotsky terhadap aspek sosial dalam proses belajar inilah yang merupakan konsep ZPD. Pebelajar memiliki dua fase perkembangan, yaitu fase perkembangan yang sebenarnya (actual development) dan fase perkembangan potensial (potential development). Fase perkembangan sebenarnya adalah fase ketika kemampuan berpikir dan belajar sesuatu berhasil atas upaya sendiri. Namun, dalam kenyataannya setiap anak dapat mencapai tingkat perkembangan kemampuan tersebut dengan bantuan orang lain.

Dalam hal ini, Vygotsky menggunakan istilah ZPD untuk memberi makna pada tingkat kecerdasan atau intelegensi tersebut. Menurut beliau, intelegensi sebaiknya diukur dengan apa yang dapat dilakukan seorang anak dengan bantuan yang tepat. Belajar untuk melakukan sesuatu dan belajar untuk berpikir dapat digalakkan dengan cara berinteraksi dengan orang lain yang lebih dewasa, seperti orang tua, orang sekitar, guru, dan lainnya. Sebenarnya ada tiga hal pokok yang ditekankan oleh Vygotsky dalam Arends (1998). Ketiga hal ini adalah sebagai berikut.
  1. Kemampuan berpikir (intelektual) berkembang ketika orang dihadapkan pada pengalaman baru, ide-ide baru, dan permasalahan, yang kemudian dihubungkan dengan apa yang telah diketahui sebelumnya (prior knowledge)
  2. Interaksi dengan orang lain akan memacu perkembangan intelektual atau cara berpikir anak untuk menemukan sesuatu yang baru.
  3. Peran utama seorang guru adalah sebagai pembantu yang baik untuk memberikan pertolongan kepada anak yang sedang dalam proses belajar.

Sumbangan pendapat dari ahli ilmu jiwa perkembangan kognitif ini penting sekali untuk dipertimbangkan dalam mempersiapkan program EYL, terutama dalam hal bagaimana daya berpikir dan bekerja pebelajar, dan bagaiman pebelajar memperoleh dan memproses informasi yang baru didapat. Pandangan Vygotsky dan ahli lainnya penting untuk dipahami guru agar dapat memaksimalkan penggunaan berbagai strategi belajar. Pandangan-pandangan mereka menekankan peran prior knowledge dalam proses belajar. Selain untuk membantu guru memahami apa yang disebut pengetahuan dan jenis-jenisnya, juga akan membantu menjelaskan bagaimana orang memperoleh pengetahuan dan memprosesnya dalam sistem daya intelektual manusia.

Pada waktu mempelajari sesuatu yang baru, terjadilah proses menghubungkan antara apa yang sudah diketahui sebelumnya dengan hal baru melalui berbagai pengalaman belajar. Dengan kata lain, seolah-olah ada suatu “jembatan pengalaman” di mana pebelajar mulai dengan apa yang sudah dikenal atau dimiliki (prior knowledge) kemudian ia melewati jembatan tersebut dengan berbagai pengalaman belajar, setapak demi setapak, akhirnya sampai pada “belajar sesuatu yang baru” (new knowledge).

3. Jerome Bruner: Discovery Learning and Scaffolding

Bruner ialah seorang pakar psikologi yang juga merupakan salah satu pemuka dalam reformasi kurikulum pada tahun 50-an dan 60-an. Sebenarnya, beliau tidak menekankan pentingnya pemberian bantuan kepada siswa untuk memahami struktur atau ide pokok suatu ilmu pengetahuan. Namun, yang penting adalah melibatkan siswa secara aktif sejak awal proses belajar, dan sangat penting pada waktu pembelajaran terjadi karena ditemukan sendiri oleh anak tersebut. “… true leraning comes through personal discovery”.

Bruner (1983-1990) berpendapat bahwa yang paling penting untuk perkembangan kognitif adalah bahasa. Untuk itu beliau menyelidiki bagaimana orang dewasa menggunakan bahasa untuk menghubungkan dunia nyata kepada anak-anak dan membantu mereka untuk memecahkan masalahnya. Berbicara dengan anak-anak sambil melakukan kegiatan merupakan suatu bentuk bantuan verbal terhadap mereka. Kegiatan semacam itu dialihkan ke kelas dalam bentuk kegiatan berbicara antara guru dan siswa. Kegiatan seperti itu sering disebut sebagai scaffolding untuk menyangga atau menunjang proses belajar siswa.

Dalam penelitiannya, Bruner dkk. (1976) melakukan percobaan tentang para ibu dan anaknya. Ternyata orang tua dapat membantu dan menunjang tugas-tugas anak secara efektif, antara lain dengan melakukan hal-hal sebagai berikut.
  • Membuat anak tertarik pada tugasnya.
  • Menyederhanakan tugas-tugas, misalnya dengan membagi-bagi menjadi tugas atau tahap-tahap yang lebih kecil.
  • Selalu mengingatkan maksud dan tujuan tugas.
  • Menunjukkan kepada anak bagian mana yang penting untuk dikerjakan dan memberitahu cara-cara lain untuk mengerjakan bagian-bagian tugas tersebut.
  • Menjauhkan anak dari rasa frustasi ketika mereka melakukan tugas.
  • Mendemonstrasikan satu bentuk tugas yang ideal, misalnya bagaimana minta maaf, pamitan, dan sebagainya (Cameron, 2001: 8).
Perlu diketahui bahwa scaffolding dapat dilakukan guru melalui berbagai cara. Misalnya, guru dapat membantu anak agar dapat memahami apa yang dipelajari, yaitu dengan cara memberi saran, menyebutkan pentingnya hal yang dipelajari, mengingatkan sesuatu, memberi contoh, dan lain sebagainya. Semua usaha ini oleh Bruner disebut sebagai hal yang selalu diulang setiap kali atau routine. Ini merupakan berbagai bentuk peristiwa yang memungkinkan terjadinya scaffolding.

Salah satu contoh routine yang diteliti oleh Bruner adalah ketika orang tua membacakan cerita kepada anak ketika mereka masih kecil. Dalam penilitian ini, routine dilakukan setiap hari pada saat yang sama. Biasanya anak duduk di pangkuan orang tuanya dengan membuka sebuah buku cerita  yang bergambar. Orang tua dan anak bersama-sama membuka halaman demi halaman. Pada mulanya anak akan banyak bertanya, bapak atau ibunya mengulang kata-kata atau kalimat sambil menunjuk gambar yang sesuai dengan isi cerita. Anak yang masih kecil sering kali menirukan apa yang diucapkan bapaknya, ibunya, atau orang-orang yang ada di sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Suyanto, Kasihani K. E. 2008. English for Young Learners Melejitkan Potensi Anak Melalui English Class yang Fun, Asyik, dan Menarik. Jakarta: Bumi Aksara.

Terima Kasih atas kunjungan anda, jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberikan komentar atas postingan ini...

Post a Comment