Makalah Kesulitan Belajar Matematika

Table of Contents

Hakikat Matematika

Banyak orang yang mempertukarkan antara matematika dengan aritmatika atau berhitung. Padahal, matematika memiliki cakupan yang lebih luas daripada aritmatika. Aritmatika hanya merupakan bagian dari matematika. Dari berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah, matematika merupakan bidang studi yang dianggap paling sulit oleh para siswa, baik yang tidak berkesulitan belajar dan lebih-lebih bagi siswa yang berkesulitan belajar.

Menurut Johnson dan Myklebust (1967: 244), matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berfikir. Lerner (1988: 172) mengemukakan bahwa matematika di samping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat, dan mengkomunikasikan ide mengenai elemen dan kuantitas. Kline (1981: 172) juga mengemukakanbahwa matematika merupakan bahasa simbolis dan ciri utamanya adalah penggunaan cara bernalar deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif.

Menurut Paling (1982: 1), ide manusia tentang matematika berbeda-beda, tergantung pada pengalaman dan pengetahuan masing-masing. Ada yang mengatakan bahwa matematika hanya perhitungan yang mencakup tambah, kurang, kali, dan bagi; tetapiada pula yang melibatkan topik-topik seperti aljabar, geometri, dan trigonometri. Banyak pula yang beranggapan bahwa matematika mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan berfikir logis. Selanjutnya, Paling mengemukakan bahwa matematika adalah suatu cara untuk mengemukakan bahwa matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia; suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung, dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Berdasarkan pendapat Paling tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menemukan jawaban atas tiap masalah yang dihadapinya, manusia akan menggunakan (1) informasi yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi; (2) pengetahuan tentang bilangan, bentuk, dan ukuran; (3) kemampuan untuk menghitung; dan (4) kemampuan untuk mengingat dan menggunakan hubungan-hubungan.


Dari berbagai pendapat tentang hakikat matematika yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa definisi tradisionalyang menyatakan bahwa matematika sebagai ilmu tentang kuantitas (the sience of quantity) atau ilmu tentang ukurang diskritdan berlanjut (the sience of discrate and continuous) (Runes, 1967: 189) telah ditinggalkan. Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa secara kontemporer pandangan tentang hakikat matematika lebih ditekankan pada metodenya daripada pokok persoalan matematika itu sendiri.

Bidang studi matematika yang diajarkan di SD mencakup tiga cabang, yaitu aritmetika, aljabar, dan geometri. Secara singkat aritmetika atau berhitung adalah pengetahuan tentang bilangan.

Dalam perkembangan aritmetika selanjutnya, penggunaan bilangan sering diganti dengan abjad. Penggunaan abjad dalam aritmetika inilah yang kemudian disebut aljabar (Dali S. Naga, 1980: 29). Berbeda dari aritmetika adalah cabang matematika yang berkenaan dengan titik dan garis ( Aleks Maryuni: 1989: 24).


Cornelius (1982: 38) mengemukakan lima alasan perlunya belajar matematika karena matematika merupakan  (1) sarana berfikir yang jelas dan logis, (2) sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, (3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman, (4) sarana untuk mengembangkan kreativitas, dan (5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.

Cockroft (1982: 1-5) mengemukakan bahwa matematika perlu diajarkan kepadasiswa karena (1) selalu digunakan dalam segala segi kehidupan; (2) semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berfikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan, dan (6) memberikan kepuasaan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang. Berbagai alasan perlunya sekolah mengajarkan matematika kepada siswa pada hakikatnya dapat diringkaskan karena masalah kehidupan sehari-hari. Menurut Liebeck (1984: 12) ada dua macam hasil belajar matematika yang harus dikuasai oleh siswa, perhitungan matematis (mathematics calculation) dan penalaran matematis (mathematics reasoning). Berdasarkan hasil belajar matematika semacam itu maka Learner (1988: 430) mengemukakan bahwa kurikulum bidang studi matematika hendaknya mencakup tiga elemen, (1) konsep, (2) keterampilan, dan (3) pemecahan masalah.

Konsep menunjuk pada pemahaman dasar. Sebagai contoh anak mengenal konsep setiga sebagai suatu bidang yang dikekelingi oleh tiga garis lurus. Pemahaman anak tentang konsep segitiga dapat dilihat pada saat anak mampu membedakan berbagai bentuk geometri lain dan segitiga. Contoh lain adalah, ketika anak menghitung perkalian 2 x 10 = 20, 3 x 10 = 30, dan 4 x 10 = 40, anak memahami konsep perkalian 10, yaitu bilangan tersebut diikuti dengan 0. Jika konsep menunjuk pada pemahaman dasar, maka keterampilan menunjuk pada sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. Sebagai contoh, proses menggunakan operasi dasar dalam penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagianadalah suatu jenis keterampilan matematika. Suatu keterampilan dasar dilihat dari kinerja anak secara baik atau kurang baik, secara tepat atau lambat, dan secara mudahatau sangat sukar. Keterampilan cenderung berkembang dan dapat ditingkatkan melalui latihan.

Pemecahan masalah adalah aplikasi dari  konsep dan keterampilan. Dalam pemecahan masalah biasanya melibatkan beberapa kombinasi konsep dan keterampilan dalam situasi baru atau situasi yang berbeda. Sebagai contoh, pada saat siswa diminta untuk mengukur luas selembar papan, beberapa konsep dan keterampilan ikut terlibat. Beberapa konsep yang terlibat adalah keterampilan mengukur, menjumlahkan, dan mengalikan.

Dalam dunia pendidikan matematika di Indonesia dikenal adanya matematika modern. Pelajaran matematika modern menekankan pada mengapa dan bagaimana matematika melalui penemuan dan eksplorasi. Pengjaran semua itu agaknya telah mengabaikan beberapa aspek dari psikologi belajar dan kurang menguntungkan bagi anak berkesulitan belajar.

Karena adanya berbagai kesulitan tentang matematika modern maka muncul gagasan untuk kembali ke berhitung. Di Amerika Serikat sendiri telah muncul gerakan keterampilan dasar ( basic skill movement) yang mencerminkan kekecewaan terhadap matematika modern dan mengusulkan agar lebih menekankan padaketerampilan menghitung. Gerakan back-to-basics mengusulkan agar kembali menekankan pada pengajaran komputasi matematika (Lerner,  1988:  435).

ewan nasional untuk pengajaran matematika di Amerika Serikat seperti dikutip oleh Lerner (1988: 436) mengusulkan agar kurikulum mencakup 10keterampilan dasar sebagai berikut
  1. pemecahan masalah
  2. enerapan matematika dalam situasi kehidupan sehari-hari
  3. ketajaman perhatian terhadap kelayakan hasil
  4. perkiraan
  5. keterampilan perhitungan yang sesuai
  6. geometri
  7. engukuran
  8. membaca, menginterpresikan, membuat tabel, cart, dan grafik
  9. menggunakan matematika untuk meramalkan; dan
  10. melek komputer (computer literacy).
Ada beberapa pendekatan dalam pengajaran matematika, masing-masing didasarkan atas teori belajar yang berbeda. Ada empat pendekatan yang paling berepengaruh dalam pengajaran matematika. (1) urutan belajaryang bersifat perkembangan (development learning sequences), (2) belajar tuntas (matery learning), (3) strategi belajar (learning strategis), (4) pemecahan masalah (problem solving).

Pendekatan urutan belajar yang bersifat perkembangan menekankan pada pengukuran kesiapan belajar siswa, penyediaan pengalaman dasar, dan pengjaran keterampilan matematika prasyarat. Pendekatan ini banyak dipengaruhi teori perkembangan kognitif Piaget. Mengingat kemampuan kognitif dan segala sesuatu yang terkait dengan berfikir berbeda-beda untuk tiap tahap perkembangan, maka guru harus menyesuaikan bahan pelajaran dengan tahap perkembangan anak.

Pembelajaran belajar tuntas menekankan pada pengajaran matematika melalui pemblejaran langsung (direct instruction) dan berstektur. Adapun langkah-langkah pendekatan belajar tuntas dalam bidang studi matematika adalah sebagai berikut :
  1. menentukan sasaran atau tujuan pembelajaran khusus. Sasaran tersebut harus dapat diukur dan diamati. Sebagai contoh, “Siswa dapat menuliskan jawaban terhadap 25 soal perkalian 1 sampai 7 dalam waktu 10 menit dengan 90% benar.
  2. Mengraikan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan.
  3. Menentukan langkah-langkah yang sudah dikuasai oleh siswa. Misalnya, siswa telah mampu menyelesaikan soal-soal perkalian 1 hingga 5 dengan mudah, dan dapat menyelesaikan soal-soal perkalian 6 dan 7 secara lambat.
  4. Mengurutkanlangkah-langkah untuk mencapai tujuan. Sebagai contoh, jika siswa telah dapat menyelesaikan soal-soal perkalian 1 sampai 5 dengan mudah dan perkalian 6 sampai 7 secara lambat, maka pembelajaran yang diperlukan hanya melatih kecepatan siswa dalam menyelesaikan soal-soal perkalian 6 dan 7.
Program matematika yang didasarkan atas pendekatan belajar tuntas memiliki struktur bertaraf tinggi, diurutkan secara sistematis, dan memerlukan pembelajaran yang sangat langsung, mengingat sifat matematika yang berurutan maka pendekatan beljar tuntas sangat sesuai dengan kurikulum matematika.

Pendekatan strategi belajar memusatkan pada pengajaran bagaiman belajar matematika (how to learn mathematics). Pendekatan ini membantu siwa untuk mengembangkan strategi belajar metakognitif yang mengarahkan proses mereka dalam belajar matematika.

Pendekatan pemecahan masalah menekankan pada pengajaran untuk berfikir tentang cara memecahkan masalah dan pemrosesan informasi matematika.

Sebagai contoh, dalam mengukur luas selembar papan, siswa harus memahami konsep bujursangkar dan sisi-sisi sejajar; dan memiliki keterampilan dalam mengukur, menjumlah, dan mengalikan.

Kennedy seperti dikutip oleh Lovitt(1989: 279) menyarankan empat langkah proses pemecahan masalah matematika, yaitu:
  1. Memahami masalah;
  2. Merencanakan pemecahan masalah;
  3. Melaksanakan pemecahan masalah; dan
  4. Memeriksa kembali.
Dalam menyelesaikan soal-soal cerita banyak anak yang mengalami banyak kesulitan. Kesulitan tersebut tampaknya terkait dengan pengajaran yang menuntut anakmembuat kalimat matematika tanpa lebih dahulu memberikan petunjuk tentang langkah-langkah yang harus ditempuh. Sebagai contoh, dapat dikemukakan sebagai berikut:

Ibu membeli 10 butir telur yang harganya Rp 100,00 tiap butir dan 2 kg gula yang harganya Rp 1.000,00 tiap kg. Ibu membayar barang-barang tersrebutdengan uang Rp10.000,00.

Kalimat matematika : 10.000 – 10 x 100 + 2 X 1.000 = 7000

Bagi anak yang berkesulitan belajar , dan bahkan juga bagi anak yang tidak berkesulitan belajar, menyelesaikan soal cerita semacam itu bukan pekerjaan yang mudah. Di samping itu, anak juga tidak terlatih untuk menyelesaikan masalah matematika secara lebih sistematis. Oleh karena itu, pendekatan pemecahan masalah dengan langkah-langkah yang telah dikemukakan tampaknya lebih baik untuk digunakan bagi anak berkesulitan belajat maupun yang tidak berkesulitan belajar.

Empat pendekatan pembelajaran matematika yang telah dikemukakan memiliki implikasi bagi anak berkesuliatn belajar matematika. Empat macam pendekatan tersebut dapat digunakan secara gabungan untuk membantu anak berkesulitan belajar matematika. Adapun implikasi dari keempat pendekatan tersebut adalah :
  1. Guru harus menyadari taraf perkembangan siswa. Anak-anak berkesulitan belajar matematika memerlukan lebih banyak pengalaman dengan belajar prabilangan sebagai landasan belajar matematika. Anak tidak dapat diharapkan melakukan penalaran abstrak tanpa perkembangan dan pengalaman abstrak.
  2. Anak berkesulitan belajar matematika memerlukan pendekatan belajar tuntas tentang berbagai konsep melalui pembelajaran langsung yang terstruktur dan terancang secara sistematis. Proses analisis tugas, menetapkan tujuan khusus, dan merancang urutan pembelajaran adalah esensial. Disamping itu, alokasi waktu yang cukup untuk mempelajari tiap langkah urutan juga merupakan bagian yang perlu diperhatikan oleh guru.
  3. Pendekatan strategi belajar telah terbukti efektif dalam membantu anak berkesulitan belajar matematika. Siswa harus didorong untuk bertanya kepada diri sendiri tentang berbagai pertanyaan agar secara kognitif mereka memproses informasi sebagai strategi pemecahan masalah, dan mengembangkan pendekatan mereka sendiri dalam belajar dan berfikir tentang matematika.
  4. Bagi sebagian besar anak berkesulitan belajar, pemecahan masalah merupakan bagianyang paling sulit dalam pelajaran matematika. Oleh karena itu, bimbingan dan latihan yang cukup sangat diperlukan untuk belajar mengkombinasikan berfikir dan berbahasa dengan keterampilan menghitung dan konsep-konsep yang diperlukan dalam pemecahan masalah matematika

Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar Matematika

Kesulitan belajar matematika disebut juga diskalkulia (dyscalculis) (Lerner, 1988: 430). Istilah diskalkulia memiliki konotasi medis, yang memandang adanya keterkaitan dengan gangguan sistem saraf pusat. Kesulitan belajarmatematika yang berat oleh Kirk (1962: 10) disebut akalkulia (acalculia).

Menurut Lerner (1981: 357) ada beberapa karakteristik anak berkesulitan belajar matematika, yaitu (1) adanya gangguan dalam hubungan keruangan, (2) abnormalitas perpepsi visual, (3) asosiasi visual-motor, (4) perseversi, (5) kesulitan mengenal dan memahami simbol, (6) gangguan penghayatan tubuh, (7) kesulitan dalam bahasa dan membaca, dan (8) performance IQ jauh lebih rendah daripada sektor Verbal IQ.

Gangguan Hubungan Keruangan
Konsep hubungan keruangan seperti atas-bawah, puncak-dasar, jauh-dekat, tinggi –rendah, depan-belakang, dan awal-akhir  umumnya telah dikuasai oleh anak pada saat mereka belum masuk SD. Anak-anak memperoleh pemahaman tentangnberbagai konsep hubungan keruangan tersebut dari pengalaman meraka dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial mereka atau melalui berbagai permainan.

Tetapi sayangnya anak berkesulitan belajar sering mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan lingkungan sosial juga sering tidak mendukung terselenggaranya suatu situasi yang kondusif bagi terjalinnya komunikasi antarmereka. Adanya kondisi intrinsik yang diduga karena disfungsi otak dan kondisi ekstrinsik berupa lingkungan sosial yang tidak menunjang terselenggaranya komunikasi dapat menyebabkan anak mengalami gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan keruangan. Adanya gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan keruangan dapat mengganggu pemahaman anak tentang sistem bilangan secara keseluruhan. Karena adanya gangguan tersebut, anak mungkin tidak mampu merasakan jarak antara angka-angka pada garis bilangan atau penggaris, dan mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 daripada ke angka 6.

Untuk mempelajari matematika, anak tidak cukup hanya menguasai konsep hubungan keruangan, tetapi juga berbagai konsep dasar yang lain. Ada empat macam konsep dasar yang harus dikuasai oleh anak pada saat masuk SD. Keempat konsep dasar tersebut adalah (1) konsep keruangan, (2) konsep waktu, (3) konsep kuantitas, dan (4) konsep serbaneka (miscellaneous) (Boehm, 1971)

Abnormalitas Persepsi Visual
Anak berkesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan untuk melihat berbagai objek dalam hubungannya dengan kelompok atau set. Kesulitan semacam itu merupakan salah satu gejala adanya abnormalitas persepsi visual. Kemampuan melihat berbagai objek dalam kelompok merupakan dasar yang sangat penting yang memungkinkan anak dapat secara tepat mengidentifikasi jumlah objek dalam suatu kelompok. Anak yang mengalami abnormalitas persepsi visual akan mengalami kesulitan bila mereka diminta untuk menjumlahkan dua kelompok benda yang masing-masing terdiri dari lima dan empat anggota. Anak semacam itu mungkin akan menghitung satu per satu anggota tiap kelompok lebih dahulu sebelum menjumlahkannya.

Anak yang memiliki abnormalitas persepsi visual juga sering tidak mampu membedakan bentuk-bentuk geometri. Suatu bentuk bujursangkar mungkin dilihat oleh anak sebagai empat penggaris yang tidak saling terkait, mungkin sebagai segi enam, dan bahkan mungkin tampak sebagai lingkaran. Adanya abnormalitas persepsi visual semacam ini tentu saja dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar matematika, terutama dalam memahami simbol.

Asosiasi Visual-Motor
Anak berkesulitan belajar matematika sering tidak dapat menghitung benda-benda secara berurutan sambil menyebutkan bilangannya, “satu, dua, tiga, empat, lima.” Anak mungkin baru memegang benda yang ketiga tetapi telah mengucapkan “lima”, atau sebaliknya, telah menyentuh benda kelima tetapi baru mengucapkan “tiga”. Anak-anak semacam ini dapat memberikan kesan mereka hanya menghafal bilangan tanpa memahami maknanya.

Perseverasi
Ada anak yang perhatiannya melekat pada suatu objek saja dalam jangka waktu yang relatif lama. Gangguan perhatian semacam itu disebut perseverasi. Anak demikian mungkin pada mulanya dapat mengerjakan tugas dengan baik, tetapi lama-kelamaan perhatiannya melekat pada suatu objek tertentu.misalnya : 
4 + 3 = 7
5 + 3 = 8
5 + 2 = 7
5 + 4 = 9
4 + 4 = 9
3 + 4 = 9

Angka 9 diulang beberapa kali tanpa memperhatikan kaitannya dengan soal matematika yang dihadapi.

Kesulitan Mengenal dan Memahami Simbol
Anak berkesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan dalam mengenal dan menggunakan simbol-simbol matematika seperti +, -, =, : dan sebagainya. Kesulitan semacam ini dapat disebabkan oleh adanya gangguan persepsi visual.

Gangguan Penghayatan Tubuh
Anak berkesulitan belajar matematika sering memperlihatkan adanya gangguan penghayatan tubuh (body image). Anak demikian merasa sulit untuk memahami hubungan bagian-bagian dari tubuhnya sendiri. Jika anak diminta untuk menggambar tubuh orang misalnya, mereka akan menggambarkan dengan bagian-bagian tubuh yang tidak lengkap atau menempatkan bagian tubuh pada posisi yang salah. Misalnya, leher tidak tampak, tangan diletakkan di kepala, dan sebagainya.

Kesulitan dalam Bahasa dan Membaca
Matematika sendiri pada hakikatnya adalah simbolis (Johnson & Myklebust, 1967: 244). Oleh karena itu, kesulitan dalam bahasa dapat berpengaruh terhadap kemampuan anak di bidang matematika. Soal matematika yang berbentuk cerita menuntut kemampuan membaca untuk memecahkannya. Oleh karena itu, anak yang mengalami kesulitan membaca akan mengalami kesulitan pula dalam memecahkan soal matematika yang berbentuk cerita tertulis.

Skor PIQ Jauh Lebih rendah daripada Skor VIQ
Hasil tes inteligensi dengan menggunakan WISC (Wechsler Intelligense Scale for Children) menunjukkan bahwa anak berkesulitan belajar matematika memiliki skor PIQ (Performance Intelligence Quotient) yang jauh lebih rendah daripada skor VIQ (Verbal Intel Quotient). Tes inteligensi ini memiliki dua subtes, tes verbal dan tes kinerja (performance). Subtes verbal mencakup (1) informasi, (2) persamaan, (3) aritmetika, (4) perbendaharaan kata, dan (5) pemahaman. Subtes kinerja mencakup (1) melengkapi gambar, (2) menyusun gambar, (3) menyusun balok, (4) menyusun objek, dan (5) coding (Anastasi, 1982: 252).

Rendahnya skor PIQ pada anak berkesulitan belajar matematika tampaknya terkait dengan kesulitan memahami konsep keruangan, gangguan persepsi visual, dan adanya gangguan asosiasi visual-motor.

Kekeliruan Umum yang Dilakukan oleh Anak Berkesulitan Belajar Matematika

Agar dapat membantu anak berkesulitan belajar matematika, guru perlu mengenal berbagai kesalahan umum yang dilakukan oleh anak dalam menyelesaikan tugas-tugas dalam bidang studi matematika. Beberapa kekeliruan umum tersebut menurut Lerner (1981: 367) adalah kekurangan pemahaman tentang (1) simbol, (2) nilai tempat, (3) perhitungan, (4) penggunaan proses yang keliru, dan (5) tulisan yang tidak terbaca.
a. Kekurangan Pemahaman Tentang Simbol
Anak-anak umumnya tidak terlalu banyak mengalami kesulitan jika kepada mereka disajikan soal-soal seperti 4 + 3 = …, atau 8 – 5 = …; tetapi akan mengalami kesulitan jika dihadapkan pada soal-soal seperti 4 + … = 7; 8 = … +5; … + 3 = 6; atau … - 4 = 7; atau 8 - … = 5. Kesulitan semacam ini umumnya karena anak tidak memahami simbol-simbol seperti sama dengan (=), tidak sama dengan (≠), tambah (+), kurang (-), dan sebagainya. Agar anak dapat menyelesaikan soal-soal matematika, mereka harus lebih dahulu memahami simbol tersebut.

b.Nilai Tempat
Ada anak yang belum memahami nilai tempat seperti satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya. Ketidakpahaman tentang nilai tempat akan semakin mempersulit anak jika kepada mereka dihadapkan pada lambing bilangan basis bukan sepuluh. Bagi anak yang tidak berkesulitan belajar pun banyak mengalami kesulitan untuk memahami lambang bilangan yang berbasis bukan sepuluh. Oleh karena itu, banyak yang menyarankan agar pelajaran matematika di SD lebih menekankan pada aritmetika atau berhitung yang dapat digunakan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.

Ketidakpahaman terhadap nilai tempat banyak diperlihatkan oleh anak-anak seperti berikut ini: 
Anak yang mengalami kekeliruan semacam itu dapat juga karena lupa cara menghitung persoalan pengurangan atau penjumlahan tersusun ke bawah, sehingga kepada anak tidak cukup hanya diajak memahami nilai tempat tetapi juga diberi latihan yang cukup                   
c.Penggunaan Proses yang Keliru
Kekeliruan dalam penggunaan proses perhitungan dapat dilihat pada contoh berikut ini:
1)      Mempertukarkan simbol-simbol.       
2)      Jumlah satuan dan puluhan ditulis tanpa memperhatikan nilai tempat.             
3)      Semua digit ditambahkan bersama (alogaritma yang keliru dan tidak memperhatikan nilai tempat).
                          
Anak menghitung: 6 + 7 + 3 + 1 = 17
                               5 + 8 + 1 + 2 = 16
4)      Digit ditambahkan dari kiri ke kanan dan tidak memperhatikan nilai tempat.
                        
5)      Dalam menjumlahkan puluhan digabungkan dengan satuan.
                                    
6)      Bilangan yang besar dikurangi bilangan yang kecil tanpa memperhatikan nilai tempat.
                                    
7)      Bilangan yang telah dipinjam nilainya tetap.
                                      
d.      Perhitungan
Ada anak yang belum mengenal dengan baik konsep perkalian tetapi mencoba menghafal perkalian tersebut. Hal ini dapat menimbulkan kekeliruan jika hafalannya salah. Kesalahan tersebut umumnya tampak sebagai berikut:
                                                                
Daftar perkalian mungkin dapat membantu memperbaiki kekeliruan anak jika anak telah memahami konsep perkalian.
e.       Tulisan yang Tidak Dapat Dibaca
Ada anak yang tidak dapat membaca tulisannya sendiri karena bentuk-bentuk hurufnya tidak tepat atau tidak lurus mengikuti garis. Akibatnya, anak banyak mengalami kekeliruan karena tidak mampu lagi membaca tulisannya sendiri.

2.4 Asesmen
Informasi tentang kemampuan siswa dalam bidang studi matematika dapat diketahui melalui asesmen informasi dan formal. Dalam kasus tertentu mungkin diperlukan pemakaian kedua jenis asesmen, tetapi dalam kasus yang lain mungkin cukup dengan asesmen informal.
a.       Asesmen Informal
Para ahli dibidang pendidikan bagi anak berkesulitan belajar umumnya mempercayai bahwa asesmen informal merupakan cara terbaik untuk memperoleh informasi tentang kemampuan anak dalam bidang studi matematika. Berbagai observasi terhadap perilaku anak sehari-hari dalam bidang studi matematika, kinerja anak dalam menyelesaikan pekerjaan rumah, atau tes buatan guru yang dikaitkan dengan kurikulum atau buku pelajaran dapat menyajikan informasi sebagai dasar pemberian pelayanan pengajaran remedial.
Berikut ini dikemukakan tiga jenis asesmen informal, (1) metode inventori, (2) tes buatan guru yang didasarkan atas kurikulum, dan (3) analisis kekeliruan siswa.
1)      Inventori
Suatu tes informal dalam bentuk inventori dapat dibuat oleh guru untuk mengukur keterampilan anak dalam bidang studi matematika secara cepat. Begitu ditemukan adanya kesulitan, suatu tes diagnostik yang lebih ekstensif dapat diberikan kepada anak. Pada gambar 13.1 dikemukakan suatu inventori untuk mengetahui keterampilan aritmetika yang dikembangkan oleh Lerner (1988: 445); sedangkan pada gambar 13.2 disajikan suatu tes penempatan untuk program pembelajaran langsung yang dikembangkan oleh Lovitt (1989: 296-297) untuk anak-anak TK dan kelas satu SD.
2)      Asesmen yang Didasarkan atas Kurikulum
Prosedur informal asesmen yang didasarkan atas kurikulum merupakan suatu cara yang bermanfaat untuk mengukur kemajuan belajar matematika. Asesmen yang didasarkan atas kurikulum terkait langsung dengan yang diajarkan oleh guru di kelas.
Zigmond et al. (Lerner, 1988: 444) merekomendasikan adanya 12 langkah strategi asesmen yang didasarkan atas kurikulum bidang studi matematika yang dapat membimbing para guru dari keputusan melakukan asesmen ke rancangan pembelajaran. Langkah-langkah tersebut adalah:
(1)   Memutuskan apa yang akan diukur;
(2)   Memilih atau mengembangkan suatu hierarki keterampilan;
(3)   Memutuskan di mana memulai;
(4)   Memilih atau mengembangkan instrument;
(5)   Melaksanakan tes;
(6)   Mengadministrasikan tes;
(7)   Mencatat kekeliruan dan gaya kinerja;
(8)   Menganalisis temuan dan meringkaskan hasil;
(9)   Memperkirakan alasan kekeliruan dan menentukan bidang yang akan diperiksa;
(10)  Memeriksa;
(11)  Melengkapi catatan dan merumuskan tujuan-tujuan pembelajaran khusus; dan
(12)  Melaksanakan pembelajaran; dan memutakhirkan asesmen.


Gambar 13.1
Inventori Informal Ketermpilan Aritmetika

Penjumlahan

                                                     
             5 + 7 =              3 + … = 12       … + 7 = 15
                                                                           
Pengurangan
         -                                      
           5 – 2 = …          7 - … = 4       … - 3 = 5

Perkalian
                                    

Pembagian
                                                             
12 : 4 =…   24 : … = 6       … : 9 = 6

Gambar 13.2
Tes Penempatan Langsung Matematika untuk Anak TK dan kelas 1
Instruksi
I.       Keterampilan Menghitung
1.        Menghitung dari 1
Instruksi
“SAYA INGIN KAMU MENGHITUNG DARI SATU HINGGA SEJAUH YANG KAMU DAPAT”. Hentikan anak menghitung  jika mampu sampai 20 atau meninggalkan atau mencampur urutan atau lebih dari dua angka. Jika anak membuat satu kekeliruan dalam menghitung, berikan kesempatan untuk menghitung mulai dari satu kembali.
Catatan :
Tulis angka tertinggi yang dapat dihitung oleh anak.
2.      Menghitung Garis
Instruksi
a.       Tunjuk pada kotak a.
“LIHAT PADA GARIS-GARIS INI. SAYA INGIN KAMU MENGHITUNG GARIS-GARIS TERSEBUT DAN MENYEBUTKAN JUMLAHNYA.”
b.      Ulangi dengan kotak b








 


Catatan :
jika anak menghitung secara benar, tulis +.
Jika anak menghitung dengan benar hanya beberapa garis, tulis jumlah yang dapat di hitung dengan benar.
3.      Menggambar garis
Instruksi
Berikan kepada anak pensil dan kertas
a.       “GAMBARKAN TIGA GARIS. BERAPA BANYAK GARIS YANG AKAN KAMU GAMBAR ? GAMBARKAN GARIS-GARIS ITU”
b.      Ulangi dengan enam garis.
Catatan : Tulis + jika benar atau tulis banyaknya garis yang dapat di gambar dan dihitung  secara benar.

II.                Keterampilan Simbol
1.      Identifikasi Angka
Instruksi
tunjuk tiap angka di bawah ini dan tanyakan “Angka berapa ini ?”
4  2  6  7  3  8  5  9  10
Jikan anak gagal menyebutkan tiga angka dalam garis tersebut, hentikan pengetesan identifikasi symbol dan lanjutkan dengan tes menulis simbol.
Catatan : tuliskan TM jika tidak menjawab dan kalau anak menyebutkan angka secara keliru, tuliskan angka yang disebutkan oleh anak.
2.      Menulis angka
Instruksi
berikan kepada anak pensil dan kertas.
a.       “Tuliskan angka 4”
b.      Ulangi langkah a dengan angka-angka berikut.
4  2  6  7  3  8  5  9  10
catatan : Tulis tanda + tiap angka yang ditulis dengaan benar
                  Tuliskan tanda + juga mesakipun anak menulis angka terbalik.
III.             Keterkaitan Konsep Matematika dengan Konsep Bahasa
1.      Lebih besar – Lebih kecil
Instruksi
a.       katakana mana yang lebih besar, 5 atau 7 ?
b.      katakana mana yang lebih besar, 8 atau 3 ?
Catatan : Tulis tanda + untuk tiap jawaban yang benar.
3)  Menganalisis Kekeliruan Siswa
Guru harus memeriksa pekerjaan siswa  dan meminta siswa menjelaskan  bagaiman ia sampai pada penggunaan pemecahan masalah seperti itu. guru juga perlu melakukan observasi terhadapa cara yang digunakan oleh siswa dan melakukan perbaikan terhadap kekeliruan seperti itu. Guru juga perlu mel;akukan observasi  terhadap cara yang digunakan  oleh siswa dan melakukan perbaikan terhadap kekeliruan tersebut.
b.  Instrumen  Asesmen Formal
Instrumen formal mencakup tes yang bersifat umum untuk digunakan dalam kelompok dan yang digunakan secara individual.
1)      Tes kelompok Baku
Instrumen Formal yang berbentuk baku yang digunakan dalam kelompok perlu lebih dulu di uji  validitas dan reliabilitasnya. Tes semacam itu biasanya mencantumkan berbagai  table yang menjelaskan macam-macam interpretasi sekor kelas, usia, sekor baku, dan persentil.
2)      Tes Klinis Individual
Tes Klinis Individual dirancang untuk diberikan kepada seorang siswa secara individual. tes klinis umumnya lebih dapat memberikan informasi  diagnostik dari pada tes kelompok , menyediakan data tentang  bidang-bidang khusus kesulitan matematika, dan lebih memberikan arah dalam penyusunan rancangan pembelajaran.

2.5    Pengajaran remedial Matematika
Pengajaran remedial matematika harus didasarkan atas prinsip-prinsip belajar matematika. berikut berbagai prinsip pengajaran matematika dan berbagai aktivitas pengajaran remedial matematika.
a.       Berbagai prinsip Pengajaran matematika
Prinsip- prinsip pengajaran matematika yang juga berlaku pada prinsip remedial matematika. Berikut  ini di bahas berbagai prinsip yang mencakup :
1.      Perlunya menyiapkan anak untuk belajar matematika
2.      mulai dari yang konkret ke yang abstrak
3.      Penyediaan kesempatan kepada anak untuk berlatih dan mengulang
4.      Generalisasi kedalam situasi yang baru
5.      bertolak dari kekuatan dan kelemahan siswa
6.      perlumya membangun fondasi  yang kuat tentang konsep dan keterampilan matematika
7.      Penyediaan program matematika yang seimbang
8.      Penggunaan kalkulator.

1.      Menyiapkan Anak untuk belajar Matematika
Berikut berbagai bentuk kegiatan belajar prasangka  yang merupakan landasan bagi anak dalam belajar matematika. Berbagai bentuk kegiatan  belajar tersebut  sebagai berikut :
a.       Mengelompokkan benda-benda menurut sifatnya
b.      Mengenal jumlah anggota kelompok benda
c.       Menghitung benda-benda
d.      Memberi nama angka  yang muncul setelah angka 6
e.       Menulis angka dari 0  hingga 10 dalam  urutan yang benar
f.       Mengukur dan membelah
g.      Mengurutkan benda dari yang besar ke ayng kecil, yang panjang ke yang pendek
h.      Menyusun bagian-bagian menjadi keseluruhan
2.      Maju dai Konkret ke Abstrak
Siswa dapat memahami konsep-konsep matematika dengan baik jika  pengajaran mulai dari yang konkret ke abstrak. Guru hendaknya merancang 3 tahapan belajar yaitu konkret, representasional dan abstrak.
Pada tahapan konkret siswa memanipulasi berbagai objek nyata dalam belajar keterampilan. Sebagai contoh pada tahap konkret, siswa harus melihat, meraba, dan memindahkan 2 balok  dan 3 balok untuk belajar bahwa jumlah mereka 5 balok. pda tahap representasional, suatu gambar dapat mewakili objek nyata. sebagai contoh :
                 0000 + 000 = 7
Pada tahap abstrak, angka akhirnya menggantikan gambar atau symbol grafis. Sebagai Contoh : 4 + 3 = 7
3.      Menyediakan kesempatan untuk dan mengulang
Jika siswa dituntut intik mampu mengaplikasikan berbagai konsep  secara hampir otomatis, maka mereka memerlukan banyak latihan dan ulangan. ada banyak cara untuk menyediakan  latihan, dan guru hendaknya menggunakan metode yang bervariasi.
4.      Generalisasi ke Situasi Baru
Siswa hendaknya memperoleh  kesempatan yang cukup untuk menggeneralisasikan  keterampilan mereka  ke dalam banyak situasi. Sebagai contoh siswa dapat berlatih kompetensi dengan banyak soal cerita yang diciptakan  oleh guru atau siswa sendiri. Tujuannya adalah untuk  memperoleh keterampilan  dalam mengenal dan mengaplikasikan operasi-operasi  komputasional terhadap situasi baru yang berbeda-beda.
5.      Menyadari Kekuatan dan Kelemahan Siswa
Sebelum  membuat keputusan tentang teknik  yang akan digunakan  untuk mengajar siswa, guru harus memahami kemampuan dan ketidakmampuan  siswa, dan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh guru, yaitu :
·         Bagaimana ketidakmampuan siswa mempengaruhi belajar matematika ?
·         Sejauh mana diperlukan kembali kebelakang  untuk membentuk  suatu fondasi yang kokoh dalam belajar matematika ?
·         dengan menyadari kemampuan kemampuan dan ketidakmampuan terseut, teknik, pendekatan, dan bahan belajar apa yang akan digunakan ?
·         Apakah siswa mampu memahami makna yang diucapkan ?
·         Dapatkah siswa membaca dan menulis angka ?
·          Dapatkah anak melakukan operasi-operasi dasar ?
·         Dapatkah anak menentukan  mana yang lebih besar  dan mana yang lebih kecil ?
·         Sampai sejauh mana kemampuan berbahasa siswa menimbulkan kesulitan belajar matematika ?
·         Apakah ada problema memori dan perhatian yang mencampuri belajar matematika ?

6.      Membangun Fondasi yang Kokoh Tentang Konsep dan Keterampialn Matematika
Belajar matematika harus dibangun  atas fondasi yang kokoh tentang konsep dan keterampilan, fondasi yang  kokoh tersebut dapat diperoleh jika guru :
·         menekankan pembelajaran matematika lebih pada pemberian jawaban atas berbagai persoalan dari pada menghafal tanpa pemahaman
·         memberikan kesempatan yang cukup  kepada siswa untuk melakukan generalisasi ke berbagai macam aplikasi dan pengalaman dengan berbagai cara memecahkan masalah dari apa saja yang dipelajari
·         mengajarkan matematika secara koheren, yang mengaitkan antara topik yang satu dengan topik yang lain
·         menyajikan pembelajaran yang saksama sehingga siswa memperoleh latihan yang diperlukan
·         menggunakan program yang sistematis yang memungkinkan konsep dan keterampilan yang akan diajarkan  berdiri di atas konsep  dan keterampilan  yang telah dikuasai dengan baik.

7.      Menyajikan Program Matematika yang Seimbang
Program matematika yang seimbang mencakup kombinasi antar tiga elemen yaitu konsep, keterampilan, dan pemecahan masalah. ketiga elemen tersebut harus diajarkan  secara seimbang dan saling terkait.
8.      Penggunaan Kalkulator
Kalkulator dapat digunakan setelah siswa memiliki kemampuan kalkulasi. Dengan demikian penggunaan kalkulator  bukan untuk menanamkan keterampilan kalkulasi tetapi menanamkan penalaraan matematika.Banyak siswa yang  terhenti melakukan komputasi atau perhitungn karena mereka tidak sampai pada aspek-aspek penalaran dari suatu pelajaran. Dengan menggunakan kalkulator anak dapat terbebas dari memahami konsep matematis yang mendasari perhitungan tersebut. Murahnya kalkulator dan mudahnya diperoleh, kalkulator dapat digunakan untuk menghitung  fakta-fakta dasar maupun proses matematikan yang kompleks, dan dapat digunakan untuk latihan atau memeriksa pekerjaan sendiri (self checking).

b. Berbagai Aktivitas untuk Pengajaran Remedial
Aktivitas pengajaran remedial hendaknya mencakup tiga kategori, (a) konsep, (b) keterampilan, (c) pemecahan masalah.
1)      Pengajaran Konsep Matematika
Konsep bentuk dan ukuran dapat diajarkan melalui permainan memilah. Kepada anak diberikan kepingan papan atau plastik yang memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda-beda. Untuk menanamkan konsep bentuk dan ukuran, anak diminta untuk memilah-milah kepingan-kepingan tersebut berdasarkan bentuk atau ukurannya. Konsep warna juga dpat ditanamkan melalui permainan ini.
Pemilahan hendaknya dimulai dari yang sederhana, yaitu satu sidat saja seperti bentuknya, ukurannya, atau warnanya. Jika pemilahan sederhana telah dapat dilakukan dengan baik, permainan dapat ditingkatkan menjadi pemilahan yang kompleks, misalnya memilah kepingan-kepingan yang bentuk dan ukurannya sama.
Konsep bilangan dikenal anak-anak dari kemampuan mereka untuk memusatkan perhatian mengenal suatu objek tunggal. Oleh karena itu, untuk memperkenalkan konsep bilangan anak diajak untuk menemukan benda-benda yang sama dengan yang ditunjukkan oleh guru dari sekelompok benda yang memiliki sifat bermacam-macam. Anggota kelompok benda tersebut dapat berbeda dalam warna, bentuk, ukuran, dan sebagainya. Permainan dengan menggunakan kartu domino atau sejenisnya juga dapat digunakan untuk memperkenalkan konsep bilangan, kelompok, dan jumlah.
Konsep jumlah dapat diajarkan kepada anak melalui memasangkan papan yang dapat dilepaskan, belahan kiri mengandung sekelompok gambar benda, dan belahan kanan mengandung angka yang sesuai dengan jumlah gambar pada belahan kiri. Dengan bermain memasangkan papan-papan semacam itu anak dapat belajar tentang konsep jumlah.
Konsep urutan dan hubungan dapat ditanamkan melalui berbagia pertanyaan yang diajukan kepada anak seperti “Angka berapa sesudah angka 5?”, atau “Angka berapa yang terletak antara angka 5 dan 7?”, dan sebagainya. Sebelum urutan angka, mungkin dapat digunakan urutan tempat duduk, misalnya “Siapa yang duduk antara Ani dan Budi?”, dan sebagainya.
Konsep simbol bilangan dapat diajarkan kepada anak melalui garis bilangan, begitu pula dengan hubungan antar bilangan-bilangan tersebut
Konsep tentang suatu pola dapat diajarkan melalui permainan yang meminta kepada anak-anak untuk menemukan pola dengan memilih objek-objek dalam suatu urutan yang telah dibuat oleh guru. Contohnya adalah :
a)      Merah, puith, merah, putih, ...
b)      2 4 6 8, 2 4 6 8, 2 4 6 8, 2 . . .
Konsep hubungan antar berbagai ukuran dapat diajarkan dengan memberikan kepada anaka berbagai kelompok benda yang sama tetapi memliki ikuran yang berbeda, misalnya panjangnya, besarnyam aatau beratnya. Dengan kelompok-kelompok benda tersebut anak diminta untuk mengurutkan dari yang paling panjang ke yang palling pendek, dari yang paling besar ke yang paling kecil, dan sebagainya.
Ada anak yang menghitung secara menhhafal tanpa memahami bahwa ada hubungan antara angka dengan benda. Anak semacam itu perlu memperoleh bantuan dengan menghitung benda-benda melalui melihat dan meraba benda-benda tersebut. Aktivitas hendaknya dibuat semakin kompleks, misalnya dengan menghitung lompat atau mundur.
Konsep angka hendaknya diajarkan dengan cara memperkenalkan angka itu sendiri, jumlah benda yang menunjuk angka, dan kata yang menunjuk angka tersebut. Sebagai contoh :
o
Oo
ooo
oooo
ooooo
1
2
3
4
5
satu
dua
tiga
Empat
lima
Konsep ukuran dapat diajarkan dengan cara mengajar anak-anak mengukur panjang papan, menimbnag berat benda, atau menilai jumlah uang. Pengukuran hendaknya dimulai dari yang paling kasar ke yang halus, misalnya dari langkah ke meter, dari jengkal ke cm, dari menimbng dengan mengangkat benda ke penggunaan ptimbangan, dan sebagainya.

2)      Pengajaran Keterampilan Matematika
Anak-anak berkesulitan belajar sering disebabkan oleh adanya kekurangan dalam keterampilan komputasional. Kekurangan tersebut hendaknya dievaluasi untuk menentukan faktor penyebabnya, misalnya karena faktor verbal, spatial, perseptual, atau mungkin karena memori. Berbagai keterampilan matematika yang perlu mendapat perhatian pada awal anak belajar matematika mencakup penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan pecahan.
Keterampilan tentang penjumlahan merupakan dasar untuk semua keterampilan komputasuonal. Penjumlahan adalah suatu cara pendek untuk menghitung, dan siswa harus mengetahui bahwa mereka dapat mengambil jalan menghitung jika gagal dalam penjumlahan. Penjumlahan dapat diajarkan dari sebagian ditambah sebagian sam dengan keseluruhan. Simbol-simbol penting adalah “+” dan “=”. Seperti halnya dalam bidang-bidang lain, pengajaran diawali dengan menggunakan benda-benda konkret, selanjutnya menggunakan gambar-gambar, dan baru kemudian dengan angka. Penjumlahan harus dimulai dari yang sederhana, misalnya 3 + 2 = ..., dan dari sini berkembang menjadi 3 + ... = 5, dan ... + 2 = 5.
Keterampilan untuk melakukan pengurangan diajarkan setekah anak memahami penjumlahan. Seperti halnya dengan penjumlahan, pengurangan dimulai dari penggunaan benda konkret, gambar, dan baru kenudian dengan angka. Pengurangan juga dapat diajarkan dengan menggunakan garis bilangan.
Keterampilan untuk melakukan operasi perkalian terkait erat dengan penjumlahan dan pembagian. Anak yang tidak dapat menjumlahkan juga tidak dapat mengalikan, dan anak yang tidak dapat mengalikan juga tidak dapat melakukan pembagian. Perkalian pada hakikatnya merupakan cara singkat dari penjumlahan. Oleh karena itu, jika siswa tidak dapat melakukan operasi perkalian, ia dapat melakukannya dengan penjumlahan. Pengurangan bukan kemampuan prasyarat dari perkalian. Oleh karena itu, anak yang yidak dapat melakukan pengurangan mungkin saja dapat menyelesaikan soal-soal perkalian jika ia mampu melakukan penjumlahan. Perkalian dapat diajarkandengan menggunakan garis bilangan dan dapat pula dengan cara sebagai berikut :
3 x 6 = ...

000000
000000
000000
6 x 3 = ...
000
000
000
000
000
000
Pembagian merupakan keterampilan komputasional yang dipandang paling sulit dipelajari dan diajarkan. Pembagian merupakan lawan dari perkalian. Untuk menguasainya, anak harus lebih dahulu menguaai perkalian. Pembagian dapat diajarkan dengan cara berikut :
6 : 2 = . . .
000
000

6 : 3 = . . .
00
00
00
Pembagian juga dapat diajarkan dengan garis bilangan dan dapat pula diajarkan bersama perkalian. Contoh pengajaran pembagian yang dilakukan bersamaan dengan perkalian adalah sebagai berikut ini :
2 x 3 = 6
6 : 2 = 3
3 x 2 = 6
6 : 3 = 2
Bilangan pecahan dapat diajarkan dengan menggunakan bentuk-bentuk geometri. Simbol-simbol yang pertama kali diajarkan adalah ½, berikutnya ¼, dan 1/8. Simbol-simbol tersebut hendaknya diperlihatkan dengan mengggunakan gambar lingkaran yang terbagi dua, terbagi empat, dan terbagi delapan sama besar. Simbol-simbol pecahan lain dapat digambarkarkan sebagai berikut :
1/5
1/5
1/5
1/5
1/5



BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Matematika adalah bahasa simbol untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan, yang memudahkan manusia berpikir dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.
Hasil belajar matematika ada dua macam, perhitungan matematika dan penalaran matematika. Ada tiga elemen bidang studi matematika, (1) konsep, (2) keterampilan, dan (3) pemecahan masalah. Ada empat pendekatan yang paling berpengaruh dalam pengajaran matematika, (1) urutan belajar yang bersifat perkembangan, (2) belajar tuntas, (3) strategi belajar, dan (4) pemecahan masalah.
Kesulitan belajar matematika sering disebut juga disleksia, dan kesulitan belajar matematika yang berat disebut aleksia. Ada beberapa karakteristik anak berkesulitan belajar matematika, (1) gangguan dalam memahami hubungan keruangan, (2) abnormalitas persepsi visual, (3) gangguan asosiasi-motor, (4) perseverasi, (5) kesulitan mengenal dan memahami simbol, (6) gangguan penghayatan tubuh, (7) kesulitan dalam bahasa dan membaca, dan (8) skor PIQ yang jauh lebih rendah daripada skor VIQ.
Ada beberapa kekeliruan umum yang dilakukan oleh anak berkesulitan belajar matematika, yaitu dalam memahami simbol, nilai tempat, perhitungan, penggunaan proses yang keliru, dan tulisan yang tidak dapat dibaca.
Asesmen kesulitan belajar matematika dapat dilakukan secara informal dan/atau secara formal. Instrument asesmen formal memerlukan pengujian validitas dan reliabilitas.
Ada beberapa prinsip pengajaran remedial matematika, yaitu, (1) perlunya menyiapkan anak untuk belajar matematika, (2) mulai dari yang konkret ke yang abstrak, (3) kesempatan untuk berlatih dan mengulang, (4) generalisasi ke situasi baru, (5) menyadari kekuatan dan kelemahan siswa, (6) membangun fondasi yang kokoh tentang konsep dan keterampilan matematika, (7) menyajikan program matematika yang seimbang, (8) penggunaan kalkulator. 
3.2  Saran
Penulis berharap melalui makalah ini, kita sebagai calon guru dapat mengetahui apa saja kesulian belajar yang dialami anak didik khususnya untuk pelajaran matematika. Bagaimana karakter anak yang mengalami kesulitan belajar matematika, apa saja kekeliruan umum yang dilakukan oleh anak yang berkesulitan belajar matematika, asesmen yang dapat dilakukan, dan bagaiman remedial yang dapat dilakukan guru.  

DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman, Mulyono.2012.Anak Berkesulitan Belajar.Jakarta:Rineka Cipta.
Mulyadi.2008.Diagnosis Kesulitan Belajar dan Bimbingan Terhadap Kesulitan Belajar Khusus.Malang:Nuha Litera. 


2 comments

Jika ada yang ditanyakan, bisa menggunakan fitur Contact Us
Comment Author Avatar
February 1, 2016 at 3:41 PM Delete
terimakasih buat infonya sangat membantu adik saya dalam menyelesaikan tugas sekolahnya.. terimakasih. kalau mau bikin web gratis , disini aja kak..!
Comment Author Avatar
February 1, 2016 at 5:19 PM Delete
ok sama2 gan