SIKAP HIDUP KEBERSAMAAN

Table of Contents

sikap hidup kebersamaan

Pembelajaran tentang Kewarganegaraan merupakan suatu pembelajaran yang sangat penting untuk diajarkan sejak dini, yakni sejak anak masuk pada lembaga pendidikan sekolah dasar. Penanaman akan pentingnya Kewarganegaran bertujuan untuk membuat siswa dapat menerima dan memenuhi tanggung jawab sosial yang berhubungan dengan kewarganegaraan di tengah-tengah masyarakat, siswa memiliki sikap tanggap terhadap masalah-masalah yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat, siswa mampu mengidentifikasi situasi dimana tindakan sosial diperlukan, siswa mampu bekerja secara individual maupun kelompok untuk mengambil tindakan yang tepat, siswa memiliki kemampuan berpartisipasi sosial, siswa mampu bertindak secara bertanggung jawab, dan siswa memiliki kemauan dan bersedia membantu/menolong orang lain.


1.1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah peran keluarga dalam pendidikan untuk membangun semangat hidup dalam kebersamaan?
2.      Apa itu seribu satu suku bangsa?
3.      Apasaja rukun dalam kehidupan beragama?
4.      Apa itu hamparan zambrud khatulistiwa?
5.      Apa itu pelangi Bahasa nusantara?
6.      Apa itu kesatuan dan persatuan bangsa?


1.2. Batasan Masalah
Makalah ini hanya membahas tentang:
1.      Peran keluarga dalam pendidikan untuk membangun semangat hidup dalam kebersamaan.
2.      Seribu satu suku bangsa.
3.      Rukun dalam kehidupan beragama.
4.      Hamparan zambrud khatulistiwa.
5.      Pelangi Bahasa nusantara.
6.      Kesatuan dan persatuan bangsa.


1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan makalah ini dibuat agar mengetahui:
1.      Apa peran keluarga dalam pendidikan untuk membangun semangat hidup dalam kebersamaan.
2.      Seribu satu suku bangsa.
3.      Bagaimana rukun dalam kehidupan beragama.
4.      Hamparan zambrud khatulistiwa.
5.      Pelangi Bahasa nusantara.
6.      Kesatuan dan persatuan bangsa.


1.4. Manfaat Penulisan
1.      Sebagai tambahan pengetahuan, wawasan dan penerapan ilmu pengetahuan bagi penulis.
2.      Sebagai informasi kepada pembaca agar lebih memahami tentang sikap hidup kebersamaan.
3.      Sebagai masukan bagi calon guru tentang kapita selekta




2.1. Peran Keluarga dalam Mendidik untuk Membangun Semangat Hidup dalam Kebersamaan
Sunal (1991 : 28) mengatakan membangun semangat hidup dalam kebersamaan dimulai dari rumah dan dilanjutkan dirumah. Faktor – factor keluarga memiliki pengaruh yang besar sekali dalam dimensi pendidikan tersebut bagi anak – naak dan remaja.Beberapa metode metode yang banyak digunakan anatara lain :
1. Pemodelan
2.      Pembelajaran langsung
3.      Pelatihan
4.      Simulasi
5.      Perbandingan masalah / fenomena
6.      Permainan interaktif
7.      Supervise
8.      Pembelajaran tak langsung
Realitas kehidupan anak memang dimulai dirumah itulah pula yang dikemukakan oleh ferguson (1991 : 389) bahwa dalam pendidikan multikultur (masyarakat yang berbudaya majemuk) untuk membangun semangat hidup kebersamaan dalam masyarakat demokrasi hanya mengharapkan hasil yang maksimal, terutama pada aspek partisipasi jika ada keterpaduan program disekolah dan di masyarakat. Leitcher (1979) menegaskan bahwa sesungguhnya keluarga memang pendidik. Karena itu keberadaan nya harus diperhitungkan pada konteks pendidikan. Kkeluarga dianggap lebih mampu untuk memperkenalkan kehidupan yang nyata , yang oleh oirstein dan Levine (1989) dipandang sebagai esensi endidikan melalui penyediaan kesempatan untuk mengalami kehidupan pada diri anak, sehingga ia mampu membentuk tatanan kehidupan baru dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam Pendidikan keluarga memiliki peran yang amat penting dalam menjalankan fungsi sosialisasi bagi anak – anak nya.Pendidikan multikultur dalam  membangun masyarakat demokratis merupakan konsep operasional dalam fungsi sosialisasi yang dialami masyarakat.
Salah satu keunggulan pendidikan dalam keluarga terletak pada fungsi afektif dan religious. Hampir semua keluarga menekankan konsep – konsep yang mendasari agama kepada pola perilaku kehidupan anak – anak mereka. Nilai –nilai dalam agama sangat mendukung dalam berkehidupan kebersamaan.  Keluarga menurut Soelaeman (1992 : 50) sangat intens mendorong anggotanya memainkan peran dalam suatu dialog, menurutnya para anggota keluarga yang hidup dalam suatu naungan keluarga itu mungkin berada dalam naungan dunia yang berbeda, sehingga dpat melahirkan berbagai penafsiran dan persepsi mengenai suatu peristiwa tertentu dalam suatu keluarga itu. Perbedaan yang kadang bersifat principal itu menyebabkan didalam keluarga membutuhkan terjadinya semacam “pencapaian”. Apa yang didapatkan dari lingkungan masyarakatnya direkam dan kemudian melatarbelakangi dialog nya dengan sesame anggota keluarganya. Keluarga juga disebut unit yang memilikinkeeratan dalam bekerjasam dan terdpat hubungan saling bergantung. Seorang anggota keluarga seringkali tak memiliki fungsintanpa dukungan yang lain.  Hubungan saling mendukung itulah yang memiliki nilai – nilai tertentu melaluininteraksi anggota keluarga.
Keluarga memang memiliki potensi untuk mewujudkan tujuan akhirnya situasi dan semangat hidup dalam kebersamaan. Kadarusmadi (1996) menegaskan hal ini dengan mengemukakan bahwa situasi yang terbina dalam pertemuan antara orang tua dan anak secara komunikatif, psikologis alam mencapai tujuan pendidikan, maka situasi seperti itu merupakan situasi yang baik bagi terbinanya suatu peristiwa pendidikan yang bermakna bagi anak. Dalam keluarga sebenarnya dikembangkan nilai – nilai yang berlaku dalam masyarakat.Paolucci, Hall, dan Axinn (1977 : 65 - 66) menyebutkan tiga tipe dasar yang berkembang dalam kehidupan keluarga, yang ternyata syarat akan nilai – nilai yang menjadi bahan baku bagi membangun hidup kebersamaan, yaitu :

1.      Nilai – nilai kepribadian (personal values)
2.      Nilai – nilai moral (moral values)
3.      Nilai – nilai sosial (sosial values)
Nilai – nilai moral mencakup nilai benar dan salah, nilai tanggung jawab terhadap kehidupan yang dilindungi oleh kebebasan dan hak – hak azasi manusia. Nilai – nilai itu diwujudkan dalam sikap kejujuran, saling ketergantungan, toleran, kedamaian kebebasan berpikir,memiliki rasa keterbukaan, integeritas, memiliki perhatian (peka) terhadap kesenjangan, dan konsistensi antara pemikiran yang ideal dan perbuatan nyata. Sedangkan nilai –nilai sosial mencakup nilai kerja sama, pengakuan / penghargaan, kebebasan, keadilan, kebaikan, kesamaan,persesuaian / kecocokan, penghargaan terhadap peranan mayoritas, rasa saling  membutuhkan, dan pengakuan terhadap harga diri dan martabat setiap orang.
Pembentukan nilai –nilai dalam keluarga merupakan proses pendidikan yang dialamidengan sendirinya atau yang biasa disebut secara “autonomous learning” bagi para anggotanya. Diakui bahwa dimensi pendidikan dalam keluarga begitu luas.
Sikap dan perilaku demokratis yang membangun semangat hidup dalam kebersamaan adalah salah satu nilai yang relevan dan amat penting yang berada didalamnya. Termasuk dalam proses pendidikan itu adalah perbedaan persepsi yang menurut Paolucci Hall, dan Axinn (1997:55) merupakan factor penting dalam belajar. Stimulus yang didapat seseorang menentukan besarnya kesempatan untuk mendapatkan variasi pengalaman orang itu serta membentuk persepsi yang sesuai dan sejalan dengan situasi yang baru. Intensifikasi hubungan dalam keluarga akan memberikan kesempatan yang lebih luas sebagai arena yang utama bagi para anggotanya untuk mengalami pendidikan seperti itu. Sementara itu sekolah merupakan arena utama yang lain, kekuatannya terletak pada ketersediaan sarana fisik, non fisik dan fasilitas yang dirancang secara sengaja dan terencana untuk melaksanakan program pendidikan.
Dalam perkembangan zaman seperti sekarang ini, keluarga tidak mungkin lagi memenuhi semua tuntutan dan kebutuhan aspirasi generasi muda, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan akan informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, secara hipotesis diakui bahwa semakin maju suatu masyarakat akan semakin penting peranan sekolah. Jelaslah bahwa keluarga pada dasarnya memiliki potensi untuk menjalankan peran pendidikan yang mampu mendukung terciptanya suasana hidup dengan semangat kebersamaan, terutama melalui proses sosialisasi bagi anak-anak. Dengan ungkapan yang lain, keluarga dan sekolah merupakan wahana yang seharusnya saling mendukung dalam pemdidikan demokrasi untuk membangun kehidupan dengan semangat kebersamaan tersebut.
Urgensi keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang pertama, dapat dirangkum setidak-tidaknya disebabkan oleh beberapa hal :
1.      Urutan pertama secara kronologis dari pendidikan anak yang ditempuh anak dalam hidupnya.
2.      Masa pendidikan yang lebih lama, karena setelah anak masuk sekolah dan masyarakat, keluarga tidak lepas tangan dan pendidikan dalam keluarga tetap berlangsung dengan porsi waktu yang lebih luas.
3.      Pendidikan keluarga dipandang lebih intensif dilihat dari sudut hubungan antara orang tua dengan anak secara kodrati.
Ditinjau dari sisi anak, diakui bahwa menurut kodratnya anak memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri, tetapi dengan bantuan atau interaksi dan komunikasinya dengan orang lain terutama jika interaksi itu berlangsung dengan orang tuanya, maka pengembangan diri itu akan berlangsung lebih baik (Kadarusmadi, 1996). Demikian pula ditinjau dari sudut pendidikan, anak baru akan menjadi manusia dan memahami dirinya setelah ia hidup bersama dan berinteraksi dengan orang lain, dan dengan kedua orangtuanya (Langeveld, 1980), disamping dinamika kepribadiannya secara internal dalam dirinya dan pengaruh interaksinya dengan lingkungan fisik dan budaya. Pendidikan budaya politik (civic culture) yang akan mendorong semangat hidup dalam kebersamaan dalam masyarakat demokrasi yang stabil sebagimana dikemukakan Almond dan Verba (1995) perlu dilakukan dalam pendidikan di sekolah.
Dari beberapa ungkapannya dapat ditangkap bahwa yang dimaksud dengan budaya politik merupakan salah satu aspek dari system politik yaitu pola sikap politik yang diperagakan oleh sejumlah besar individu yang memiliki kewenangan sebagai warga negara pada suatu negara, yang disebutnya sebagai kompetensi politik.
Pendidikan politik yang dapat mendorong kehidupan harmonis di tengah – tengah masyarakat yang majemuk, penting dilakukan, meskipun hal itu tidaklah mudah.
Menurut Wakhinuddin (2001) pembelajaran di kelas multietnik tidaklah mudah dilaksanakan, suatu keadaan sulit akan dijumpai manakala guru tidak mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam mengelola kelas multietnik. Proses pembelajaran tak berjalan lancar karena terhalang oleh pandangan relativisme budaya siswa maupun guru, yang pada akhirnya mengurangi kualitas pendidikan. Keadaan semacam ini sering dijumpai di Indonesia, dan menyulitkan terlaksananya pendidikan yang baik.  Untuk mengatasi kelemahan ini hendaklah ditemukan suatu strategi pengajaran multietnik. Kemajemukan suku merupakan salah satu ciri masyarakat Indonsia yang seringkali dibanggakan. Banyak yang belum menyadari bahwa kemajemukan tersebut juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemajemukan (pluralism) suku di Indonesia pada masa kini sudah berbeda gambarannya dengan kemajemukan suku masa lampau. Hubungan sosial di daerah pertemuan antarsuku tentunya lebih rumit karena adanya perbedaan budaya. Pendidikan kemajekukan (multi kultur) sebagai bagian dari pendidikan politik bangsa perlu dilakukan untuk
mengembangkan kompetensi siswa baik personal, sosial, maupun individual.
Indikator yang ditunjukkan dari kompetensi itu antara lain adalah:
1.      sadar akan pengaruh pemerintah terhadap dirinya,
2.      mengikuti dan menaruh perhatian pada proses politik,
3.      menyerap informasi politik,,
4.      memiliki pendapat tentang sejumlah masalah politik,
5.      terlibat dalam pembicaraan/wacana politik,
6.      leluasamembicarakan soal politik dengan siapapun,
7.      memandang dirinya mampu mempengaruhi pemerintah/memiliki kontrol tertentu terhadap elit politik dan keputusan politik,
8.      aktif menjadi anggota organisasi tertentu,
9.      menyatakan kepercayaan terhadap lingkungan sosialnya,
10.  memiliki kebanggaan nasional.
Pendidikan budaya politik dimaksud dalam tulisan ini dipertegas dengan sebutan membangun semangat hidup kebersamaan dalam masyarakat demokrasi, mengingat demokrasilah inti dari budaya politik sebagaimana tergambar pada bagian terdahulu. Dalam konteks pendidikan demokrasi seperti itu, maka setiap warga Negara yang demokratis konstitusional, diharapkan memahami konsep dan prinsip-prinsip demokrasi agar mampu berpartisipasi secara bermakna dalam kehidupan negara dan realitas kehidupan sosial.
Pemahaman minimal yang dibutuhkan antara lain adalah pemahaman tentang tujuan dan fungsi hak-hak konstitusional dan kemerdekaan, seperti kebebasan berekpresi, kebebasan beragama, perlindungan terhadap dakwaan yang tidak beralasan dan dari perampasan hak tanpa alasan, hak untuk mendapatkan keadilan, dan perlindungan dari bahaya tindak kejahatan (NAEP, 1983 dalam Patrick dan Hoge, 1991). Dengan demikian dapat dipahami bahwa prinsip-prinsip inilah yang secara minimal seyogianya menjadi bahan material bagi pendidikan demokrasi dalam masyarakat multi kultur untuk membangun semangat hidup dalam kebersamaan.
Apa yang diungkapkan Patrick dan Hoge yang disebutnya sebagai prinsip-prinsip demokrasi itu merupakan bahan minimal yang harus dipahami seorang warga negara untuk mampu memberikan partisipasinya dalam membangun masyarakat demokratis dalam kenyataan multikultur.
Kemampuan lain yang lebih lengkap masih banyak dibahas para ahli. Cogan (1997) menyebutkan lebih banyak lagi tentang kemampuan yang dituntut warga negara untuk berpartisipasi dalam membangun masyarakat multi kultur tersebut, terutama dalam menghadapi abad-21, meskipun tidak menyebutnya secara spesifik sebagai komponen pendidikan multikultur. Kemampuan itu, ialah:
1.      Kemampuan memahami dan mendekati masalah-masalah sebagai anggota masyarakat global.
2.      Kemampuan bekerja sama dengan yang lain dalam bentuk kooperatif yang bertanggung jawab dalam masyarakat.
3.      Kemampuan memahami, menerima, dan toleran terhadap budaya yang berbeda.
4.      Kapasitas berpikir secara kritis dan sistemik.
5.      Kemauan untuk menyelesaikan konflik dengan menghindari keberingasan.
6.      Kemauan untuk merubah gaya hidup dan kebiasaan konsumtif
7.      Memiliki sensitivitas untuk membela hak-hak azasi manusia (seperti hakhak perempuan, dan hak-hak kaum minoritas).
8.      Kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik pada tingkat lokal, nasional, dan internasional.

2.2. Seribu Satu Suku Bangsa
Bangsa Indonesia yang hidup menyebar pada ribuan pulau-pulau yang terangkai dalam satu gugusan memiliki corak identitas, pola tingkah laku, unsur-unsur budaya yang beragam berdasarkan daerah kebudayaan tertentu. Aneka ragam dan corak kebudayaan yang ada pada setiap daerah di Indonesia sekaligus mencerminkan pula aneka ragam suku bangsa. Mereka hidup dengan pola dan caranya sendiri-sendiri, sehingga dapat disaksikan dan dihayati sebagai suatu kesatuan yang padu dan harmonis.
Dalam sebuah masyarakat bangsa yang memiliki berbagai keragaman seharusnya dikembangkan model pendidikan yang mendukung eksistnsi keragaman tersebut. Dalam pendidikan seperti itu, Guru harus membina siswa agar bisa memiliki kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab sesama teman. Konsep sosialisasi pendidikan yang dapat diterapkan pada pendidikan diantaranya konsep proses sosial, yaitu suatu cara berhubungan antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Dari hubungan ini diharapkan mereka semakin kenal, semakin akrab, lebih mudah bergaul, lebih percaya pada pihak lain, dsb. Kesemuanya ini dapat dipahami sebagai adab manusia.
Proses sosialisasi dimulai dari interaksi social dengan perilaku imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati (Pidarta, 1997:147). Interaksi sosial akan terjadi apabila memenuhi dua syarat: kontak sosial dan komunikasi. Setiap masyarakat saling berinteraksi satu dengan lainnya, dan saling beradaptasi pada lingkungan secara totalitas. Lingkungan ini mencakup lembaga sosiopolitik masyarakat dan elemen organik lainnya. Dari hasil interaksi sosial diharapkan tidak ada strata social antaretnik, dan seharusnya ada pembentukan peradaban atau akultrasi antaretnik (Wakhinuddin, 2001). Suku bangsa dalam konsep sosiologis adalah identik dengan etnik, yang menurut Hasan dan Salladin (1999), adalah sekumpulan individu dalam masyarakat yang merasa sebagai satu kelompok karena kesamaan identitas, nilai-nilai sosial yang dijunjung bersama, pola tingkah laku yang sama, dan unsur-unsur budaya lainnya yang sama pula. Kesamaan itu membentuk komunitas yang hidup beragam di Indonesia.
Di Indonesia, suku bangsa dapat pula dikonsepsikan sebagai perpaduan etnik (seperti pengertian di atas) dan ras yang juga oleh Hasan dan Salladin (1999) diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki kesamaan dalam sejumlah unsur biologis, atau populasi yang memiliki kesamaan unsur-unsur fisikal yang khas yang disebabkan oleh keturunan (genetik).
Pada satu sisi, kebanggaan terhadap bentuk dan corak kebudayaan sendiri pada setiap etnis, diperlukan untuk tetap berupaya melestarikannya. Pada sisi yang lain, jika hal itu berlebihan dan pada batasbatas yang dapat menafikan corak dan bentuk budaya lain, maka hal itu dapat membahayakan. Oleh karena itu, kesadaran akan eksistensi budaya pada suku bangsa yang lain dan mengapresiasinya merupakan hal positif yang perlu dikembangkan. Yang unik di Indonesia ialah bahwa ribuan corak dan bentuk budaya yang melekat pada setiap suku bangsa tidak menyebabkan timbulnya etnosentrisme berlebihan yang membahayakan itu.
Sejarah Kebangsaan Indonesia menggambarkan kerukunan dan keharmonisan hidup dalam pelangi kebudayaan yang beribu corak dan bentuknya. Hampir tidak dijumpai dalam rangkaian peristiwa sejarah bangsa Indonesia, konflik antar suku bangsa yang berakibat perpecahan. Ribuan suku bangsa hidup dalam kebersamaan sepanjang sejarahnya. Hal ini mencerminkan keunikan yang khas dalam hidup masyarakat bangsa Indonesia. Keunikan dalam keberagaman, keragaman dalam kebersamaan, dan kebersamaan dalam keindahan pelangi kehidupan masyarakat bangsa Indonesia.
Aneka ragam Budaya, Tuhan menciptakan berbagai jenis makhluk yang hidup di muka bumi ini. Jika diklasifikasi, maka akan terdapat empat tingkatan kehidupan makhluk Allah SWT di dunia ini, yaitu:
1.      makhluk anorganis (benda) yang dipandang sebagai makhluk yang memiliki tingkat kehidupan paling rendah,
2.       makhluk tumbuh-tumbuhan, dipandang lebih tinggi, sebab tumbuhtumbuhan memiliki ciri-ciri kehidupan yang jelas, seperti berkembang, bernafas, membutuhkan makanan,
3.      Binatang, makhluk yang dianggap lebih tinggi setingkat dari tumbuh-tumbuhan. Di samping bernafas, dan berkembang, binatang juga memiliki instink, bahkan seringkali instink binatang lebih tajam dari makhluk lain.
4.      Manusia, sebagai makhluk Tuhan yang memiliki tingkat paling tinggi (Ditjen Dikdasmen, 1999).
Manusia disebut makhluk dengan kualitas kehidupan paling tinggi karena di samping memiliki ciri kehidupan yang sudah dimiliki tumbuhan-tumbuhan dan hewan, manusia memiliki banyak kelebihan yang lain yang tidak dimiliki dunia tumbuhan maupun hewan. Kelebihan-kelebihan itu di antaranya:
1.      Memiliki kemampuan berpikir,
2.      Memiliki kemampuan berfantasi, menghayati,
3.      Dengan itu semua maka manusia mampu merencanakan masa depan yang lebih baik bagi dirinya.
Manusia mampu mengembangkan kesenian, ilmu dan teknologi yang memungkinkan memiliki kehidupan  yang selalu meningkat ke arah yang lebih baik. Manusia dengan kemampuan akal pikirannya selalu ingin mengetahui, ingin mencari, mencoba, menyelidiki, menemukan hal-hal baru, berhubungan dengan kebutuhannya. Dengan panca inderanya, manusiapun mampu mengembangkan rasa keindahan, kehalusan budi, melahirkan karya-karya seni yang indah. Tegasnya, manusia adalah makhluk berkebudayaan.
 
Kekuatan Hubungan (KH) dalam bentuk saling ketergantungan akan meningkatkan adaptasi antar etnik, dan dapat menimbulkan peradaban baru. Peradaban itu adalah kebudayaan yang sudah maju. Pendidikan pada suatu tempat adalah bagian dari bagian komunitas masyarakat setempat. Pendidkan adalah proses membuat orang kemasukan budaya dan orang menjadi beradab. Ada anggapan bahwa pendidikan adalah kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial, dengan mendidik anak-anak agar tidak melakukan tindakan criminal. Karena itu, gerakan pendidikan progresif emnyerukan rekonstruksi masyarakat lewat pendidikan.
Rekonstruksi berarti reformasi budaya, dengan melalui pendidikan, reformasi (terutama reformasi pendidikan budi pekerti) dapat dijalankan, reformasi moralitas (agama), reformasi kebudayaan (keindonesiaan), reformasi nasionalisme (NKRI).
Setiap orang atau kelompok orang dalam suatu kawasan geografis tertentu yang disebut sebagai masyarakat, akan mendapatkan dan menguasai kebudayaan melaui proses belajar. Belajar bias terjadi dalam bentuk persinggungan dalam komunikasi dan interaksi antar angora kelompok dalam masyarakat, atau antar kelompok dalam masyarakat yang lebih luas, dalam suatu kawasan daerah kebudayaan tertentu (Wakhinuddin, 2001)
Daerah kebudayaan (culture area) adalah suatu wilayah geografis yang penduduknya terkelompok dalam unsur-unsur dan kompleks-kompleks kebudayaan tertentu yang sama (Hasan dan Salladin, 1996: 97). Proses persinggungan, komunikasi, dan interkasi antar pihak dalam daerah kebudayaan itu akan melahirkan bentuk dan sifat kebudayaan sendiri yang khas. Oleh karena itu, karakteristik suatu kelompok masyarakat akan ikut menentukan corak dan bentuk kebudayaan masyarakat tersebut.
Tak heran jika didapati bentuk kebudayaan yang khas masyarakat nelayan di daerah-daerah pesisir pantai dalam bentuk trait (unsur kebudayaan) yang khas pula seperti cara mereka membuat tempat tinggal, menu makanan dan lain sebagainya.
Demikian juga di daerah kebudayaan lain, seperti daerah pegunungan, dataran tinggi, daerah dekat hutan dan sebaginya. Itulah yang terjadi di Indonesia, sebuah negara dan bangsa yang terdiri dari ribuan daerah kebudayaan. Setiap daerah kebudayaan memiliki bentuk dan sifat kebudayaan sendiri-sendiri, dalam bentuk trait (unsur kebudayaan). Hamparan bentuk kebudayaan dengan aneka ragamnya itu menyebar di sepanjang barisan puluhan ribu pulau bagaikan untaian ratna mutu manikam. Lihat saja umpamanya, bagaimana masyarakat Aceh menarikan tari Seudati, masyarakat Minang memainkan tari piring, masyarakat Tapanuli dengan tari Tortornya, masyarakat Jambi dengan tari Mak Inangnya, masyarakat Sumatera Selatan dengan tarian Gending Sriwijaya, Jawa Barat dengan Jaipongnya, Jawa Tengah dengan Serimpinya, dan ribuan bentuk tarian lain yang berkembang dan tersebar di seantero Indonesia.
Keaneka ragaman bentu budaya itu belum lagi jika dilihat dari unsurnya yang lain, seperti rumah Gadang di Minangkabau, Batik Jambi, Tenun Songket dan kain Tapis dari Sumatera Selatan dan Lampung, Kerajinan Rotan dari Cirebon, ukiran Jepara tenun Ikat NTT dan lain sebagainya. Semuanya itu merupakan kekayaan khasanah kebudayaan bangsa Indonesia. Kekayaan budaya ini merupakan asset yang tak ternilai tinggi harganya.

Kebudayaan Daerah Sebagai Unsur Kebudayaan Nasional
Sampai saat ini masih sukar didapat data yang akurat yang dapat menunjukkan berapa jumlah sebenarnya suku bangsa di Indonesia. Pada umumnya, disebut dalam beberapa sumber dalam bentuk data perkiraan. Ada yang benyebut sebanyak 500 suku bangsa, seperti yang diidentifikasi oleh Malalatoa (dalam Poerwanto, 2000) tapi ada pula yang menyebut lebih dari itu.
Kesukaran mendapatkan data tersebut, menurut Poerwanto (2000; 124) disebabkan oleh ruang lingkup istilah dan konsep suku bangsa yang dapat mengembang atau menyempit, tergantung subyeknya. Ia memberi contoh di pulau Flores misalnya, terdapat empat suku bangsa yang berbeda bahasa dan adat istiadatnya.
Keempatnya adalah orang Manggarai,…., Ende-Lio dan Sikka. Jika mereka berada di luar Flores, maka mereka dipandang oleh suku bangsa lainnya sebagai satu suku bangsa, yaitu Flores. Kesulitan mengidentifikasi semua suku bangsa yang ada di Indonesia sama sulitnya dengan mengidentifikasi jumlah ragam budaya mereka. Tiga puluh empat provinsi yang ada di Indonesia sekarang ini (mungkin akan bertambah seiring dengan pengembangan wilayah), masing-masing memiliki lebih dari satu bahkan ada yang puluhan ragam budaya. Keragaman budaya itu terwujud dalam bentuk tarian-tarian, nyanyian, senjata adat, bahasa yng digunakan, tata cara perkawinan, dan lain-lainnya.
Pada dasarnya, budaya masyarakat Indonesia adalah budaya serumpun, yang apabila digali kesamaannya maka akan dapat membentuk budaya nasional. Maka budaya daerah pada dasarnya merupakan bagian dari budaya nasional tersebut.

2.3. Rukun dalam Kehidupan Beragama
Agama mengajarkan umatnya bagaimana hidup bahagia, antara lain melalui hidup yang rukun dalam masyarakat. Tetapi juga merupakan kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa sering kali terdapat pertengkaran antar kelompok dalam masyarakat berlatar belakang sentiment agama. Selain mengajarkan hal-hal yang sama seperti mengajarkan kebaikan, menghormati kelompok lain dan lain sebagainya, tetapi antar berbagai agama itu juga terdapat unsur-unsur yang berbeda. Maka  perbedaan antar masyarakat akibat perbedaan agama yang peluk adalah bentuk kenyataan. Perbedaan-perbedaan itu jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi menimbulkan konflik di antara kelompok. Sebaliknya, jika perbedaan-perbedaan itu dapat dikendalikan dengan baik, maka nilai-nilai agama dapat berpotensi mempersatukan berbagai kelompok dalam masyarakat. Dengan demikian, membina persatuan menghadap berbagai faktir keragaman dan perbedaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat harus dikelola dengan arif dan bijaksana. Sebagian factor penting itu ialah factor kerukunan dan factor beragama.
Menurut Koentjaraningrat (dalam Poerwanto, 2000) terdapat empat masalah pokok yang dihadapi dalam mempersatukan bangsa Indonesia, yaitu: (1) mempersatukan aneka-warna bangsa, (2) hubungan antar beragama, (3) hubungan mayoritas minoritas, dan (4) integrasi kebudayaan di Irian Jaya dan Timor-Timur dengan kebudayaan Indonesia.
Kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia haruslah dipahami dari berbagai sisi. Pada satu sisi kemajemukan merupakan kekayaan keragaman yang membanggakan, tapi pada sisi yang lain kemajemukan juga berpotensi konflik. Faktor yang cukup dominan dalam kemajemukan yang berperan memunculkan konflik adalah kehidupan yang diwarnai dengan sentiment agama. Karena itu, berbagai factor kemajemukan dalam kehidupan beragama hendaknya dikelola secara baik agar potensi konflik dapat dikendalikan, dan potensi persatuan dapat ditumbuhkan. Menggali nilai-nilai keagamaan sebanyak mungkin dan meminimalkan potensi konflik sebisa mungkin. Jadikan agama sebagai sumber inspirasi bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa.

2.4. Hamparan Zamrud Khatulistiwa
Indonesia Zamrud Khatulistiwa mempunyai makna, bahwa Indonesia yang terletak di khatulistiwa mempunyai pesona keindahan yang luar biasa. Hamparan itu dimulai dari Sabang sampai Merauke. Keindahan itu menyangkut keindahan dalam arti luas, keindahan dalam estetika, dan keindahan dalam arti terbatas.
Keindahan dalam arti uas menurut Plato adalah perwatakan dan hukum yang indah. Sedangkan Aristoteles merumuskan keindahan adalah suatu yang baik dan menyenangkan.
Orang Yunani menyebut “Symetria” artinya seni arsitektur dan harmonia.  Keindahan Indonesia menyangkut pengertian secara keseluruhan yakni seni, moral, dan intelektual yang mampu mewujudkan sejumlah kualitas pokok dalam kesatuan atau uniti, keseimbangan, dan perbedaaan. Keindahan alam berupa  gunung-gunung, laut, pantai, gua-gua, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan dan lainnya. Keindahan estetika menyangkut pengalaman estetik seseorang dalam hubungannya dengan suatu yang diserapnya.
Keindahan dalam arti terbatas mempunyai arti yang lebih disempitkan melalui penglihatan, yakni keindahan bentuk dan warna. Keindahan seni menyangkut berbagai macam seni tari, seni lukis, seni suara, dan kreativitas lainnya. Keindahan seni sering terpadu dengan keindahan alam, misalnya kesenian Bali, Jawa, Melayu, Banjar, Bugis dan sebagainbya. Keindahan  moral menyangkut nilai-nilai baik ekstrinsik maupun intrinsik.
Keindahan intelektual menyangkut pandangan hidup, filsafat, kejiwaan, dan sebagainya. Dalam pandangan hidup terdiri atsa cita-cita, kebijakan dan sikap hidup.
Keindahan nusantara adalah keindahan panorama alamnya, keindahan budayanya, keindahan moral dalam budayanya, keindahan secara keseluruhan itu bersumber dan berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila yang sudah mengurat akar dan mendarah daging. Dalam hal ini disebut keindahan psikis.
Keindahan bumi Idonesia masih ditambah lagi dengan kesuburan Indonesia. Koes Plus mengatakan Tongkat kayu Jadi Tanaman. Berbagai flora dan fauna melengkapi Indonesia dengan keindahan yang hakiki. Namun sumber daya alam itu belum secara maksimal dieksplorasi karena keterbatsan sumber daya manusia atau etos kerja warganya. Keindahan alam yang lain juga letak wilayah indonesia dalam silang dunia, diantara dua lautan mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan kejiwaan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia masih sebatas memuji-muiji keelokan wilayah negaranya.
Penerapan konsep-konsep geolitik Indonesia belum mampu mengatasi  permasalahan bangsa. Oleh karena itu, Indonesia tidak mau  diibaratkan ayam mati dalam lumbung padi. Kalau hal itu terjadi maka hanya suatu penyebabnya tidak lain adalah faktor ketololan saja. Berbagai contoh dapat dikemukakan misalnya banyak masyarakat menderita busung lapar padahal dilingkungannya adalah tanah yang subur. Oleh karena itu, ungkapan Indonesia ibarat Zamrud khatulistiwa tidak hanya dalam kata-kata puji tetapi lebih dari itu.

2.5. Pelangi Bahasa Nusantara
Pada tahun 1884, Brands dalam bukunya bijidrage  toot de Vergelijikende Klankleer der Westersche Afdeling van de Maleisch Polynesische taalfmilie, mengatakan bahwa bangsa Indosenia pada zaman dahulu berbahsa satu. Alasannya bahwa perbandingan sekalian bahsa yang ada pada zaman sekarang masih dipakai oleh bangsa yang menmpati pulau itu.
Pada tahun 1889, II. Kern menruskan penelitian Brandes menjelaskan bahwa tahun asal bangsa itu adalah Tjempa: yakni Annam sekarang. Ketika bangsa Indonesia masih berkumoul di tanah Tjampa, wilayah nusantara masih ditempati oleh bangsa yanfg berkulit hitam berambut keriting dan sekarang masih banyak di Papua dan Austrtalia.
Pada suatu masa kira-kira tahun 1500 SM Tjempa terdesak oleh bangsa lain dari Asia Tengah maka bangsa Indonesia turun ke Kamboja, Formosa, Philipina. Adapun yang berada di Phlipina terus menyebar ke Minahasa dan pulau kecil di sekitarnya. Setelah mereka menempati pulau dan hidup terpisah lambat laun bahsa merekapun menjadi berlain pula menjadikan bangsa Aceh dengan bahsa dan tulisan Aceh, Bangsa Batak dengan bahsa dan tulisan Batak. Namun setelah bangsa Idonesia tersebar luas pulau tadi berkembang sesuai daerah masing-masing.
Hal ini wajar karena hubungan dan transportasi dan komunikasi diantara meraka dapat dikatakan belum diperlukan juga. Semenjak itulah terbentuk bangsa lain : Dayak, Minangkabau, Banjar, Batak, Melayu, Sunda, Jawa dan Papua. Sejarah agak jelas setelah ditemkan prasati Kutai yang berbahsa sanskertadan tulisan Pallawa.sejak itulah prasasti-prasasti dengan bahasa Sanskerta dan tulisan Pallawa bertebaran di bumi Nusantara antaralain dalam prasasti Tjiaruteum, Tugu, Dakawu, dan lainnya. Dalam perkembangan prasasti berikutnya  mulai banyak bahasa daerah misalnya prasasti Sriwijaya, Jawa Timur (Kalegen), dan  sebagainya. Perihal perluasan bahasa-bahasa tersebut, Dr. Schmidt dalam  bukunya Die Spracehfamilien und Sprachenkreise Der Erde and terbitan 1996 mengatakan bahwa bahasa Austris (selatan) bercabang menjadi dua perluasan yaitu bahasa Austro Asia dan Austro Nesia. Bahasa Austroasia menurunkan bahasa Semang, Skai, Palaun, Mon, Khmer, dan sebagainya. Bahasa Austronesia meliputi Indonesia dan Oceania.Perluasan Indonesia menurunkan bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Madura, Tagalok di kawasan barat, sedangkan bahasa Solor, Roti, Timor, Flores, Kupang, dan Papua di kawasan timur. Sedangkan perluasan Oceania menurunkan bahasa Melanesia dan Polynesia. Kontak bahasa Indonesia dan bahasa India yang secara intensif mulai abad ke-4 Masehi, memberi warna khusus dalam perkembangan Bahasa maupun tulisan di Indonesia (Nusantara). Tulisan (huruf) dari India yang terkenal dengan tulis Pallawa dan Pranagiri yang ditunjang dengan Bahasa Sanskerta maupun Prakerta lambat laun secara bertahap mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan budaya daerah masing-masing. Sehingga tercipta huruf (alphabet) masing-masing tulisan local. Oleh karena itu tercipta huruf Jawa, Lampung, Batak, Banjar, Kerinci, dan lain-lain. Hal ini juga terjadi pada bahasa lisan dalam penggunaan prasasti maupun bahasa pergaulan sekarang ini dengan ditandai masuknya berbagai kosa kata dari hubungan antardaerah maupun hubungan antarbangsa di dunia. Karena hubungan bangsa Indonesia dengan India sangat erat, maka bahasabahasa India juga banyak masuk dalam perbendaharaan bahasa-bahasa Nusantara, terutama di Jawa. Di India, sejak lama berkembang bahasa Sanskerta, Hindi, Benggali, Bihari, Orya, Sindhi, Gujarat, dan sebagainya. Sedangkan bahasa Dravida mempunyai bagian-bagian antara lain bahasa Telugu, Tamil, Malayalam, Kanadi, Brahui, dan sebagainya. Dalam hal ini bahasa Tamil, Sansekerta, banyak pengaruh di Indonesia. Dalam bentuk huruf (carakan), pertumbuhan tulisan-tulisan di nusantara dapat diklasifikasikan yang masingmasing banyak kemiripannya antara lain tipe Holle, Kellian, van Hin Lopen, dan Pitono. Dari keempat wikan bahasa itu dapat diklasifikasikan menjadi tipe Kulai, Canggal, Pereng, Holle, Kellian, Bali, Jawa, dan Dewanagari. Dari masing-masing tipe carakan itu, banyak sekali kemiripan bentuknya. Demikianlah pelangi bahasa Nusantara. Keindahan pelangi bahasa Nusantara, mudah-mudahan dapat dilestarikan sesuai dengan pasal 36 dan pasal 32 ayat 2, yaitu:
Ø  Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia.
Ø  Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya Nasional.
Perlu juga diingat bahwa dengan Bahasa kita berbudaya, dengan bahasa kita bernegara, dan dengan bahasa kita satu dan bersatu.


2.6. Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Persatuan dan kesatuan atau integrase dapat diartikan sebagai proses penyatuan kelompok-kelompok yang berbeda secara sosial dan cultural ke dalam satu kesatuan yang bersifat teritori dengan perwujudan suatu identitas diri (nasional). Namun pengertian persatuan dan kesatuan menitik beratkan kepada  masalah perilaku yaitu “perilaku integrative”. Perilaku integrative adalah manakala kemampuan anggotaanggota suatu masyarakat untuk mengorganisasikan diri mereka dalam usaha untuk menciptakan tujuan bersama (Greetz, 1973). Sebenarnya masalah integrasi atau integrasi nasional sudah merupakan pengalaman bangsa dengan pahit getirnya bahkan harus dilalui dengan lembaran hutan sejarah bangsa. Pengalaman bangsa dalam mewujudkan integrasi nasional dapat dibagi ke dalam beberapa periode antara lain: periode 1908-1928, periode 1928-1945, periode1945-1959, periode 1959-1985, dan periode 1985 sampai sekarang. Pada tanggal 28 Mei 1908 berdiri organisasi yang disebut Budi Utomo. Lama kelamaan organisasi yang bersifat netral itu bermuatan politik yakni mewujudkan persatuan dan kesatuan karena persamaan nasib. Tidak lama berdirilah Sarekat islam, PNI, dan di berbagai daerah berdiri yong Jawa, yong Batak, yong Selebes, yong Ambon, dan sebagainya. Pada tahun 1918 Hindia Belanda membuka sebuah lembaga kenegaraan yang disebut Volkstraad. Lembaga ini dimaksudkan sebagai lembaga yang memberi peluang kepada tokoh-tokoh masyarakat di dalamnya. Pada waktu menjelang Volkstraad terjadilah polemik tentang nasionalisme antara Cipto Mangunkusumo dengan Sutatmo Suryokusumo. Sutatmo berasumsi bahwa nasionalisme Jawa paling sesuai untuk dikembangkan oleh bangsa Hindia (Indonesia), sedangkan menurut Cipto, nasionalisme yang dikembangkan adalah nasionalisme Hindia yang bercirikan kemaritiman dan kemajemukan. Polemik tanpa ujung itu punya produk Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yaitu pengakuan satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa nasional bahasaIndonesia. Pada periode 1928-1945 adalah tahap kesadaran persatuan dan kesatuan mencapai puncak tertinggi. Berbagai manifestasi dari persatuan dan kesatuan bangsa diketengahkan dan didemonstrasikan. Oleh karena itu, jiwa kebangsaan dan kenasionalan itu diwujudkan pada 31 Desember 1930 yaitu dengan terbentuknya Indonesia Muda yang merupakan wadah dari semua pergerakan di Nusantara. Selanjutnya tahun 1938 terjadi polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Ali Syahbana dengan Purbocaroko/Sanusi Pane antara konsep Barat dan konsep Timur. Pada masa penjajahan Jepang, proses pembentukan persatuan dan kesatuan berjalan terus dan titik klimaknya pada peristiwa Rengas Dengklok.
Di pihak lain kita mengenal perjuangan BPUPKI dan PPKI. Di sinilah muncul istilah golongan tua dan golongan muda. Momentum integrasi juga terwujud adanya perubahan Piagam Jakarta atau yang terkenal perubahan 7 kata. Hal ini adalah pencerminan jiwa besar dan integrasi bangsa yang ditunjukkan oleh umat Islam.
Pada periode 1945-1959 adalah momentum Proklamasi dan pertahanan kemerdekaan. Kita mengenal momentum Linggarjati, Renville, dan Room Royen. Kita mengenal konferensi Malino oleh Van Mook yang hasilnya adalah berdirinya negara boneka. Negara RI diserang dari berbagai penjuru. Iklim politik pada waktu itu tidak menunjang yaitu situasi ekonomi yang buruk dan tugas menyelesaikan UUD baru sebagai pengganti UUDS. Negara menghadapi disintegrasi. Maka dalam keadaan terpaksa Bung Karno mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1969 dan kembali ke UUD 1945. Inilah momentum bangsa Indonesia menemukan kembali jalan integrasi nasional.
Pada periode 1959-1985, kita kenal dengan periode demokrasi terpimpin,  berbagai partai politik mengembangkan ideologi sekulernya. Untuk mewujudkan rujuk nasional maka dibentuk NASAKOM dalam wadah Front Nasional. Konsep inilah yang menyebabkan disintegrasi nasional dan muncullah pemberontakan G30 S/PKI. Suatu momentum bersejarah yang merupakan pondasi integrasi bangsa adalah diberlakukannya 5 Undangundang dalam bidang politik yang berasas dari pengembangan nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Dalam perkembangan asas sentralisasi akan bergeser kepada asas desentralisasi dan deskonsentrasi.
Periode 1985 sampai sekarang adalah periode yang ditandai dengan era globalisasi yang berakar dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Asumsi dasar bangsa Indonesia memandang globalisasi harus dengan kedua belah mara, artinya  mengambil yang positif dan membuang yang negatif. Maka perlu kewaspadaan nasional. Antara globalisasi, reformasi nasional, dan ketahanan nasional harus merupakan garis lurus.
Pemahaman sebagai penunjang adalah Wawasan Nusantara yang merupakan perwujudan dalam suatu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya dan Hankam. Berkaitan dengan kondisi geografis maka komunikasi nasional harus dipelihara dengan baik, kesenjangan nasional harus teratasi, dan pengelolaan kondisi kemajemukan bangsa yang terhindar dari unsur “saraisme”.
3.1. Kesimpulan
Dalam Pendidikan, keluarga memiliki peran yang amat besar dalam menjalankan fungsi sosialisasi bagi anggotanya. Keunggulan pendidikan multi kultur untuk membangun semangat kebersamaan mendapat dukungan yang kuat dari suasana hidup keluarga. Hal itu terjadi mengingat dalam keluarga sedikitnya berkembang tiga tipe dasar nilai-nilai, yang merupakan bahan baku bagi membangun hidup kebersamaan, yaitu: (1) nilai-nilai kepribadian (personal values), (2) nilai-nilai moral (moral values), dan (3) nilai-nilai sosial (sosial values).
Nilai hidup kebersamaan itu penting mengingat bangsa Indonesia hidup menyebar pada ribuan pulau. Gugusan pulau itu terangkai dalam satu gugusan yang memiliki corak identitas, pola tingkah laku, unsur-unsur budaya yang beragam berdasarkan daerah kebudayaan tertentu. Aneka ragam dan corak itu mencakup kebudayaan, adat istiadat, dan bahasan yang ada pada setiap daerah di Indonesia sekaligus mencerminkan pula aneka ragam suku bangsa. Mereka hidup dengan pola dan caranya sendiri-sendiri, sehingga dapat disaksikan dan dihayati sebagai suatu kesatuan yang padu dan harmonis.
Keragaman tersebut harus dikembangkan secara dinamis untuk memupuk persatuan dan kesatuan bangsa, yaitu proses penyatuan kelompok-kelompok yang berbeda secara sosial dan cultural ke dalam satu kesatuan yang bersifat teritori dengan perwujudan suatu identitas diri (nasional). Persatuan dan kesatuan itu juga menitik beratkan kepada “perilaku integrative”, yaitu kemampuan anggotaanggota suatu masyarakat untuk mengorganisasikan diri mereka dalam usaha untuk menciptakan tujuan bersama.
 
DAFTAR PUSTAKA
Tanpa Nama. Tanpa Tahun. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar. Banjarmasin: UNLAM

Post a Comment