Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan Dalam Bermasyarakat Berbangsa Dan Bernegara

Table of Contents
Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan Dalam Bermasyarakat  Berbangsa Dan Bernegara

Daftar bacaan:
  • Pengertian Paradigma

  • Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan

  • Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan IPTEK

  • Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan POLEKSOSBUD HANKAM  

  • Pancasila sebagai Paradigma Reformasi

  • Gerakan Reformasi

  • Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum

  • Pancasila sebagai Nilai Perubahan Hukum

  • Dasar Yuridis Reformasi Hukum

  • Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Pelaksanaan Hukum

  • Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik

  • Susunan Keanggotaan MPR

  • Susunan Keanggotaan DPR

  • Reformasi Partai Politik 

  • Pancasila sebagai Reformasi Ekonomi

  • Aktualisasi Pancasila

  • Tridharma Perguruan Tinggi

  • Budaya Akademik

  • Kampus sebagai Moral force Pengembangan Hukum  dan HAM


2. 1 Pengertian Paradigma

Paradigma berasal Menurut KBBI, paradigma berarti seperangkat unsur bahasa yang sebgian bersifat konstan (tetap) dan yang sebagian berubah-ubah, juga bisa diartikan gagasan sistem pemikiran. Paradigma juga dapat diartikan sebagai sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, metode metode, prinsip-prinsip atau cara memecahkan masalah yang di anut oleh masyarakat pada masa tertentu dan sumber asa serta arah dari tujuan suatu perkembangan, perubahan serta proses dalam suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan, reformasi maupun dalam pendidikan. Inti sari pengertian paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga merupakan suatu sumber hukum-hukum, metode, srta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehigga sangat menentukan sifat, ciri atau karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi, dapat disingkat bahwa paradigma artinya kerangka berpikir atau model dalam ilmu pengetahuan.

2. 2 Pancasila sebagai paradigma pembangunan

Pembangunan dalam bahasa Inggrisnya development dapat diartikan pertumbuhan, perluasan/ekspansi yang bertalian dengan keadaan yang harus digali dan yang harus dibangun agar dicapai kemajuan dimasa yang akan datang. Untuk mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara bangsa indonesia melaksanakan pembangunan nasional. Hal ini sebagai perwujudan praksis dalam meningkatkan harkat dan martabatnya.

Pembangunan tidak hanya bersifat kuantitatif tetapi juga bersifat kualitatif, artinya tidak hanya mencakup bidang materiil namun juga mencakup bidang spritual. Jadi, yang dibangun adalah manusia seutuhnya.

Kata pembangunan mengandung pemahaman akan adanya penalaran dan pandangan yang logis, dinamis, dan optimis, sehingga di dalam pembangunan terjadi proses perubahan yang terus menerus menuju kemajuan dan perbaikan ke arah tujuan yang di cita-citakan.

Pembangunan atau perubahan yang diinginkan oleh bagsa indonesia adalah perubahan atau pembangunan yang mengarah keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara kemajuan lahir  dan batin, jasmani dan rohani, dunia dan akhirat.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembangunan adalah kegiatan dan usaha terencana manusia yang terus menerus dan berkesinambungan untuk mewujudkan hidup yang lebih baik, dan harapan hari ini lebih baik dari kemarin, dan besok harus lebih baik dari hari ini.

Secara filosofis hakikat kedudukan pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai sila-sila pancasila

Pancasila sebagai paradigma pembangunan berarti kegiatan atau usaha terencana manusia dan bangsa Indonesia yang terus-menerus dan berkesinambungan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik berdasarkan kerangka berpikir manusia sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa.

Pembangunan berasal dari kerangka berpikir Pancasila bertujuan mewujudkan tujuan nasional sebagaimana tertulis di dalam alenia 4 Pembukaan UUD 1945, yaitu:
  1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
  2. Memajukan kesejahteraan umum.
  3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.
  4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Oleh karena itu, paradigma pembangunan harus berdasarkan pancasila sehingga terwujud masyarakat yang adil dan makmur serta maju, tetapi tetap berkpribadian Indonesia.

  1. Dalam melaksanakan pembangunan berdasarkan paradigma Pancasila tentu membutuhkan modal. Modal pembangunan bangsa Indonesia tertuang kedalam delapan modal dasar pembangunan, yaitu: Kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia.
  2. Kedudukan geografis yang terletak pada posisi silang dunia.
  3. Sumber kekayaan alam yang berlimpah (SDA).
  4. Jumlah penduduk yang sangat besar (SDM).
  5. Modal rohanih dan mental.
  6. TNI atau Polri.
  7. Modal budaya bangsa yang berkembang sepanjang sejarah
  8. Potensi efektif bangsa.
Modal dasar pembangunan tersebut bagi bangsa Indonesia memungkinkan tercapainya hasil pembangunan yang hebat dan bermutu tinggi, seperti yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia

2. 3 Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Iptek

Dalam upaya manusia mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabatnya maka manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreatifitas rohani manusia. Unsur jiwa (rohani) manusia meliputi aspek akal, rasa, dan kehendak. Akal merupakan potensi rohaniah manusia dalam hubungan dengan intelektualitas, rasa bidang estetis, dan kehendak dalam bidang moraal (etika).

Atas dasar kreatifitaas akalnya manusia mengembangkan iptek dalam rangka untuk mengolah kekayaan alam yang disediakan oleh Tuhan yang Maha Esa. Oleh kareena itu tujuan yang essensial dari iptek adalah demi kesejahteraan umat manusia, sehingga Iptek pada hakikatnya tidak bebas nilai namun terikat oleh nilai.  Dalam masalah ini Pancasila telah memberikan dasar nilai-nilai bagi pengembangan Iptek demi kesejahteraan hidup manusia. Pengembangan Iptek sebagai hasil budaya mausia harus didasarkan pada moral Ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pancasila yang sila-silanya merupakan suatu kesatuan yang sistematis haruslah menjadi sistem etika dalam pengembangan Iptek.

Sila Ketuhanan yang Maha Esa, mengkomplementasikan ilmu pengetahuan, mencipta, perimbangan antara rasional dan irrasional, antara akal rasa dan kehendak. Berdasarkan sila ini Iptek tidak hanya memikirkan apa yang ditemukan, dibuktikan, dan diciptakan tetapi juga  dipertimbangkan maksudnya dan akibatnya apakah merugikan manusia dan sekitarnya. Pengolahan diimbangi dengan melestarikan. Sil ini menempatkan manusia di alam semesta bukan sebagai pusatnya melainkan sebagai bagian yang sistematik dari alam yang diolahnya (T. Jacob, 1986

Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, memberikan dasar-dasar moralitas bahwa manuia dalam mengembangkan Iptek haruslah bersifat beadab. Iptek adalah sebagai hasil budaya manusia yang beradab dan bermoral. Oleh karena itu pengembangan Iptek harus didasarkan pada hakikiat tujuan demi kesejahteraan umat manusia. Iptek bukan untuk kesombongan, kecongkakan dan keserakahan umat manusia namun harus di abdikan demi peningkatan harkat dan martabat manusia

Sila Persatuan Indonesia, mengkomplementasikan universalia dan internasionalisme (kemanusiaan) dalam sila-sila yang lain. Pengembangan Iptek diarahkan demii kesejahteraan umat manusia termasuk  di dalamnya kesejahteraan bangsa Indonesia.  Pengembangan Iptek hendaknya dapat  mengembangkan rasa nasionalisme, kebesaran bangsa serta keluhuran bangsa sebagai bagian dari umat manusia di dunia

Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mendasari pengembangan Iptek secara demokratis. Artinya setiap ilmuan haruslah memiliki kebebassan untuk mengembangkan Iptek. Selain itu dalam pengembangan Iptek setiap ilmuan juga harus  menghormati dan menghargai kebebasan orang lain dan harus memiliki sikap yang terbuka artinya terbuka untuk dikritik, dikaji ulang maupun dibandingkan dengan penemuan teori lainnya.

Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengkomplementasikan pengembangan Iptek haruslah menjaga keseimbangan  keadilan dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat bangsa dan negara serta manusia dengan alam lingkungannya (T. Jacob, 1986)

Kesimpulannya bahwa pada hakikatnya sila-sila Pancasila harus merupakan sumber nilai, kerangka pikir serta basis moralitas bagi pengembangan Iptek.

2. 4 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan POLEKSOSBUD HANKAM

Pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu realisasi praksis untuk mencapai tujuan seluruh warga harus mendasarkan pada hakikat manusia sebagai subjek pelaksana sekaligus tujuan pembangunan. Hakikat manusia adalah 'Monopluralis' artinya meliputi berbagai unsur yaitu rohani-jasmani, individu-makhluk sosial, serta manusia sebagai pribadi-makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu hakikat manusia merupakan sumber nilai bagi pengembangan POLEKSOSBUD HANKAM. Hal inilah yang sering diungkapkan dalam pelaksanaan pembangunan hakikatnya membangun manusia secara lengkap, secara utuh meliputi seluruh unsur hakikat manusia monopluralis, atau dengan lain perkataan membangun martabat manusia.

a. Pancasila sebagai Paradigma Pegembangan Bidang Politik

Pembangunan dan pengembangan bidang politik harus mendasarkan pada dasar ontologis manusia, ini didasarkan pasa kenyataan objektif bahwa manusia sebagai subjek negara. Oleh karena itu kehidupan politik dalam negara harus benar-benar untuk merealisasikan tujuan demi harkat dan martabat manusia.
Dalam sistem politik negara harus mendasarkan pada:

1) Tuntutan hak dasar kemanusiaan.
Sebagai perwujudan hak atas martabat kemanusian sehingga sistem politik negara harus mampu menciptakan sistem yang menjamin atas hak-hak tersebut. Dalam istilah ilmu hukum dan kenegaraan disebut hak asasi manusia.

2) Kekuasaan yang bersumber dari rakyat, sebagai penjelmaan hakikat    manusia sebagai individu-makhluk social.
Kekuasaan negara harus mendasarkan pada asal mula dari rakyat untuk rakyat. Maka rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu, kekuasaan negara harus berdasarkan kekuasaan rakyat bukan kekuasaan perseorangan atau kelompok.

a. Dasar-dasar moralitas politik negara yang tertuang dalam sila-sila Pancasila.
Dalam sila-sila Pancasila tersusun atas urutan yang sistematis. Dalam politik negara harus mendasarkan pada kerakyatan (sila IV), adapun pengembangan dan aktualisasi politik berturut-turut moral Ketuhanan (sila I), moral kemanusiaan (sila II), moral persatuan, yaitu ikatan moralitas sebagai suatu bangsa (sila III), serta demi tercapainnya keadilan dalam hidup bersama (sila V).

Oleh karena itu dalam politik negara termasuk para elit politik dan penyelenggara negara untuk memegang budi pekerti kemanusiaan serta memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

Pengembangan politik negara terutama dalam proses reformasi dewasa ini harus mendasarkan pada moralitas sebagaimana tertuang dalam sila-sila Pancasila, sehingga praktek-praktek politik yang menghalalkan segala cara dengan memfitnah, memprovokasi, menghasut rakyat yang tidak berdosa untuk dapat segera diakhir.

b. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi

Dalam dunia ilmu ekonomi boleh dikatakan jarang ditemukan pakar ekonomi yang mendasarkan pemikiran pengembangan ekonomi atas dasar moralitas kemanusiaan dan Ketuhanan. Sehingga lazimnya pengembangan ekonomi mengarah pada persaingan bebas, dan akhirnya yang kuatlah yang menang. Hal ini sebagai implikasi dari perkembangan ilmu ekonomi pada akhir abad ke-18 menumbuhkan ekonomi kapitalis. Atas dasar kenyataan objektif inilah maka di Eropa pada awal abad ke-19 muncullah pemikiran sebagai reaksi atas perkembangan ekonomi tersebut yaitu sosialisme komunisme yang memperjuangkan nasib kaum proletar yang ditindas oleh kaum kapitalis. Oleh karena itu kiranya menjadi sangat penting bahkan mendesak untuk dikembangkan sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas humanistik, ekonomi yang berkemanusiaan.

Atas dasar kenyataan tersebut maka Mubyarto kemudian mengembangkan ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi yang humanistik yang mendasarkan pada tujuan demi kesejahteraan rakyat secara luas. Pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan saja melainkan demi kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh bangsa. Maka sistem ekonomi Indonesia mendasarkan atas kekeluargaan seluruh bangsa.

Pengembangan ekonomi tidak bisa dpisahkan dengan nilai-nilai moral kemanusiaan (Mubyarto, 1999). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa tujuan ekonomi itu sendiri adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia, agar manusia menjadi lebih sejahtera. Oleh karena itu ekonomi harus mendasarkan pada kemanusiaan yaitu demi kesejahteraan kemanusiaan, ekonomi untuk kesejahteraan manusia sehingga kita harus menghindarkan diri dari pengembangan ekonomi yang hanya mendasarkan pada persaingan bebas, monopoli dan lainnya yang menimbulkan penderitaan pada manusia, menimbulkan penindasan atas manusia satu dengan lain.

c. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Budaya 

Dalam proses reformasi dewasa ini sering kita saksikan gejolak masyarakat yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Tidak mengherankan jika di berbagai wilayah Indonesia saat ini terjadi berbagai macam gejolak yang sangat memprihatinkan antara lain amuk massa yag cenderung anarkis, bentrok antara kelompok masyarakat satu dengan lainnya yang muaranya adalah pada masalah politik.

Perbenturan kepentingan politik demi kekuasaan sehingga masyarakat sebagai elemen infrastruktur politik yang melakukan aksi sebagai akibat akumulasi persoalan-persoalan politik. Anehnya suatu aksi yang tidak beradab, tidak manusiawi, dam tidak human tersebut senantiasa mendapat afirmasi politis dari kalangan elit sebagai tokohnya. Demikian pula meningkatnya fanatisme etnis di berbagai daerah mengakibatkan lumpuhnya keberadaban masyarakat. Ini menjadi tugas yang maha berat bagi bangsa Indonesia pada pasca reformasi dewasa ini untuk mengembangkan aspek sosial budaya dengan berdasarkan nilai-nilai Pancasila, yang secara lebih terinci berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, nilai Ketuhanan, serta nilai keberadaban.

Dalam prinsip etika Pancasila mendasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Terdapat rumusan dalam sila kedua Pancasila yaitu "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Dalam rangka pengembangan sosial budaya, Pancasila merupakan sumber normatif bagi peningkatan humanisasi dalam bidang sosial budaya. Sebagai kerangka kesadaran Pancasila dapat merupakan dorongan untuk (1) universalisasi, yaitu melepaskan simbol-simbol dari keterkaitan struktur, dan (2) transendentalisasi, yaitu meningkatnya derajat kemerdekaan, manusia, dan kebebasan spiritual (Koentowijoyo, 1986). Dengan demikian maka proses humanisasi universal akan dehumanisasi serta aktualisasi nilai hanya demi kepentingan kelompok sosial tertentu sehingga menciptakan sistem sosial budaya yang beradab.

d. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hankam

Negara pada hakikatnya adalah merupakan suatu masyarakat hukum. Demi tegaknya hak-hak warga negara maka diperlukan peraturan perundang-undangan negara, baik dalam rangka mengatur ketertiban warga maupun dalam rangka melindungi hak-hak warganya. Oleh karena itu negara bertujuan melindungi segenap wilayah negara dan bangsanya. Atas dasar demikian maka keamanan merupakan syarat mutlak tercapainya kesejahteraan warga negara. Adapun demi tegaknya integritas seluruh masyarakat mengara diperlukan suatu pertahan negara. Untuk itu diperlukan aparat keamanan negara dan aparat penegak hukum Negara.

Oleh karena Pancasila sebagai dasar dan mendasarkan diri pada hakikat nilai kemanusiaan monopluralis maka pertahan dan keamanan negara harus dikembalikan pada tercapainya harkat dan martabat manusia sebagai pendukung pokok negara. Dasar-dasar kemanusiaan yang beradab merupakan basis moralitas pertahanan dan keamanan negara. Dengan demikian pertahan dan keamanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi terjaminnya harkat dan martabat manusia, terutama secara rinci terjaminnya hak-hak asasi manusia. Pertahan dan keamanan bukanlah untuk kekuasaan sebab kalau demikian sudah dapat dipastikan akan melanggar hak asasi manusia.

Demikian pula pertahan dan keamanan negara bukanlah hanya untuk sekelompok warga ataupun kelompok politik tertentu, sehingga berakibat negara menjadi totaliter dan otoriter. Oleh karena itu pertahan dan keamanan negara harus dikembangkan berdasarkan berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pertahanan dan keamanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa (sila I dan II). Pertahanan dan keamanan negara haruslah mendasarkan pada tujuan demi kepentingan warga dalam seluruh warga sebagai warga negara (sila III). Pertahanan dan keamanan harus mampu menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat, serta kebebasan kemanusiaan (sila IV), dan akhirnya pertahanan dan keamanan haruslah diperuntukkan demi terwujudnya keadilan dalam hidup bermasyarakat (terwujudnya suatu keadilan sosial) agar benar-benar negara meletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai suatu negara hukum dan bukannya suatu negara yang berdasarkan atas kekuasaan.

e. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Kehidupan Beragama

Pada proses reformasi dewasa ini di beberapa wilayah negara Indonesia terjadi konflik sosial yang bersumber pada masalah SARA, terutama bersumber pada masalah agama. Hal ini menunjukkan kemunduran bangsa Indonesia ke arah kehidupan beragama yang tidak berkemanusiaan dan menunjukkan betapa semakin melemahnya toleransi kehidupan beragama yang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pancasila telah memberikan dasar-dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama di negara Indonesia tercinta ini. Manusia adalah sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, oleh karena itu manusia wajib untuk beribadah kepada Tuhan yang Maha Esa dalam wilayah negara di mana mereka hidup. Namun demikian Tuhan menghendaki untuk hidup saling menghormati, karena Tuhan menciptakan umat manusia dari laki-laki dan perempuan ini yang kemudian berbangsa-bangsa, bergolong-golong, berkelompok-kelompok baik sosial, politik, budaya, maupun etnis tidak lain untuk saling hidup damai yang berkemanusiaan.

Negara mengaskan dalam Pokok Pikiran Ke IV bahwa "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab". Hal ini berarti bahwa kehidupan dalam negara mendasarkan pada nilai-nilai ketuhanan. Setiap agama memiliki dasar-dasar ajaran sesuai dengan keyakinan masing-masing maka dalam pergaulan hidup negara kehidupan beragama hubungan antarpemeluk agama didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan yang beradab hal ini berdasarkan pada nilai bahwa semua pemeluk agama adalah sebagai bagian dari umat manusia di dunia.

Oleh karena itu kehidupan beragama dalam negara Indonesia dewasa ini harus dikembangkan ke arah terciptanya kehidupan bersama yang penuh toleransi, saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab.

2.5 Pancasila sebagai Paradigma Reformasi

Bangsa indonesia ingin mengadakan suatu perubahan, yaitu menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara demi terwujudnya masyarakat madani yang sejahtera,bermartabat, menghargai hak asasi manusia,dan masyarakat yang demokratis yang bermoral religius serta masyarakat yang bermoral kemanusiaan dan beradab.

Berbagai gerakan muncul disertai dengan akibat tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan banyak menelan banyak korban jiwa dari anak - anak bangsa sebagai rakyat kecil yang tidak berdosa dan mendambakan perdamaian ketentraman serta kesejahteraan. Tragedi yang sangat memilukan itu antara lain peristiwa Amuk Masa di Jakarta, Tangerang, Solo, Jawa Timur, Kalimantan, serta daerah-daerah lainnya. Bahkan tragedi pembersihan etnis ala Rezim Serbia di Balkan terjadi di berbagai daerah antara lain di Dili, Kupang, Ambon, Kalimantan Barat, serta beberapa daerah lainnya.

Rakyat benar-benar menjerit bahkan banyak yang kondisi kehidupan sehari-harinya sangat memprihatinkan karena kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.

Reformasi adalah menata kehidupan bangsa dan negara dalam suatu sistem negara di bawah nilai-nilai pancasila, bukan menghancurkan dan membubarkan bangsa dan negara Indonesia.

Bahkan pada hakikatnya reformasi itu sendiri adalah mengembalikan tatanan kenegaraan ke arah sumber nilai yang merupakan platform kehidupan bersama bangsa indonesia. Oleh karena itu proses reformasi walaupun dalam lingkup pengertian reformasi total harus memiliki platform dan sumber nilai yang jelas yang merupakan arah, tujuan,serta cita - cita yaitu nilai - nilai yang terkandung dalam pancasila.

Nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan adalah ada secara objektif dan melekat pada bangsa Indonesia yang merupakan pandangan dalam kehidupan bangsa sehari-hari. Oleh karena itu bilamana bangsa indonesia meletakkan sumber nilai, dasar filosofi serta sumber norma kepada nilai - nilai tersebut bukan lah suatu keputusan yang bersifat politis saja melainkan suatu keharusan yang bersumber dari kenyataan hidup pada bangsa indonesia sendiri sehingga dengan lain perkataan bersumber pada kenyataan objektif pada bangsa indonesia sendiri.

Reformasi dengan melakukan perubahan dalam berbagai bidang yang sering diteriakan dengan jargon reformasi total tidak mungkin melakukan perubahan terhadap sumbernya itu sendiri. Reformasi itu harus memili tujuan, dasar, cita-cita serta platform yang jelas dan bagi bangsa indonesia Nilai-nilai pancasila itulah yang merupakan paradigma Reformasi Total tersebut.

2.6  Gerakan Reformasi

Pelaksanaan GBHN 1998 pada PJP II Pelita ke tujuh ini bangsa indonesia menghadapi bencana hebat, yaitu dampak krisis ekonomi Asia terutama Asia tenggara sehingga menyebabkan stabilitas politik menjadi goyah.

Terlebih lagi merajalelanya praktel Korupsi, Kolusi dan Nepotisme pada hampir seluruh instansi serta lembaga pemerintahan.

Sistem politik dikembangkan ke arai sistem Birokratik Otoritarian dan suatu sistem Korporatik (Nasikum, 1998: 5). Sistem ini ditandai dengan konsentrasi kekuasaan dan partisipasi di dalam pembuatan keputusan - keputusan nasional yang berada hampir seluruhnya pada tangan penguasa negara, kelompok militer, kelompok cerdik cendikiawan dan kelompok wiraswastawan oligopilstik dan bekerjasama dengan masyarakat bisnis internasional. Keadaan yang demikian membawa ekonomi rakyat menjadi tidak tersentuh dan semakin parah.

Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendikiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menurut adanya 'Reformasi' di segala bidang politik, ekonomi, dan hokum.

Awal keberhasilan gerakan Reformasi tersebut ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian disusul dengan dilantik nya Wakil Presiden Prof.Dr.B.J. Habibie menggantikan kedudukan Presiden. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan mengantarkan rakyat indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh, terutama pengubahan 5 paket UU.

Dengan demikian reformasi harus diikuti juga dengan reformasi hukum bersama aparat penegaknya serta reformasi pada berbagai instansi pemerintahan. Yang lebih mendasar lagi reformasi dilakukan pada kelembagaan tertinggi dan tertinggi negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui pemilu secepatnya dan diawali dengan pengubahan:

  1. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR, dan DPRD (UU No.16/1969 jis. UU No. 5/1975 dan UU No. 2/1985).
  2. UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975, jo.UU No.3/1985).
  3. UU tentang Pemilihan Umum (UU no. 16/1969 jis UU No. 4/1975, UU No. 2/1980, dan UU No. 1/1985).

Reformasi terhadap UU Politik tersebut di atas harus benar-benar dapat mewujudkan iklim politik yang demokratis sesuai dengan kehendak Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (Mardjono, 1998 : 57).

a.    Gerakan Reformasi dan Gerakan Ideologi Pancasila.

Makna serta pengertian “Reformasi” saat dewasa ini banyak disalahartikan sehingga gerakan masyarakat yang melakukan perubahan yang mengatasnamakan gerakan reformasi juga tidak sesuai dengan pengertian reformasi itu sendiri. Hal ini terbukti dengan maraknya gerakan masyarakat dengan mengatasnamakan gerakan reformasi, melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan makna reformasi itu sendiri, misalnya pemaksaan kehendak dengan menduduki kantor suatu instansi atau lembaga baik negeri maupun swata, memaksa untuk mengganti pejabat dalam suatu instansi, melakukan pengrusakan bahkan yang paling memprihatinkan adalah melakukan pengarahan massa dengan merusak dan membakar toko-toko, pusat-pusat kegiatan ekonomi, kantor instansi pemerintah, fasilitas umum, kantor pos, kantor bank disertai dengan penjarahan dan penganiayaan. Oleh karena itu makna reformasi itu harus benar-benar diletakkan dalam pengertian yang sebenarnya sehingga agenda proses reformasi itu benar-benar sesuai tujuannya.

Makna Reformasi’ secara etimologis berasal dari kata ‘reformation’ dengan akar kata ‘reform’ yang artinya “make or become better by removing or putting right what is bad or wrong”(Oxford Advanced Learner’s Diftionary Current English, 1980, dalam Wibisono, 1998 : 1). Secara harfiah reformasi memiliki arti suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat (Riswanda, 1998).

Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan. Misalnya pada masa orde baru, asas kekeluargaan menjadi nepotisme, kolusi, dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat UUD 1945.
  2. Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan ideologis) tertentu,  dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Jadi, reformasi pada prinsipnya suatu gerakan untuk mengembalikan kepada dasar nilai-nilai sebagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Tanpa landasan ideologi yang jelas maka gerakan reformasi akan mengarah kepada anarkisme, disintergrasi bangsa dan akhirnya jatuh pada suatu kehancuran bangsa dan negara Indonesia, sebagaimana yang telah terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia.
  3. Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada suatu kerangka struktural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformasi. Reformasi pada prinsipnya gerakan untuk mengadakan suatu perubahan untuk  mengembalikan pada suatu tatanan struktural yang ada karena adanya suatu penyimpangan. Maka reformasi akan mengembalikan pada dasar serta sistem negara demokrasi, bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat (2). Reformasi harus mengembalikan dan melakukan perubahan ke arah sistem negara hukum dalam arti yangsebenarnya sebagaimana yang terkandung dalam penjelasan UUD 1945, yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, peradilan yang bebas dari penguasa, serta legalitas dalam arti hukum. Oleh karena itu reformasi sendiri harus berdasarkan pada kerangka hukum yang jelas. Selain itu reformasi harus diarahkan pada suatu perubahan ke arah transparansi dalam setiap kebijaaksanaan dalam penyelenggaraan negara karena hal itu sebagai manifestasi bahwa rakyatlah sebagai asal mula kekuasaan negara dan untuk rakyatlah segala aspek kegiatan Negara.
  4. Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan kondisi serta keadaan yang lebih baik. Perubahan yang dilakukan dalam reforamsi harus mengarah pada suatu kondisi kehidupan rakyat yang lebih baik dalam segala aspek antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan keagamaan. Dengan kata lain, reformasi harus dilakukan ke arah peningkatan harkat dan martabat rakyat Indonesia sebagai manusia.
  5. Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etika sebagai manusia yang Berketuhanan Yang Maha Esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa

 

b. Pancasila sebagai Dasar Cita-cita Reformasi

Pancasila sebagai dasar filasafat negara Indonesia, sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dalam perjalanan sejarah, nampaknya tidak diletakkan dalam kedudukan dan fungsi sebenarnya. Pada masa orde lama pelaksanaan dalam negara secara jelas menyimpang bahkan bertentangan misalnya, Manipol Usdek dan Nasakom yang bertentangan dengan Pancasila. Presiden seumur hidup serta praktek-praktek kekuasaan diktator.

Masa Orba Pancasila digunakan sebagai alat legitimasi politik oleh penguasa sehingga kedudukan Pancasila sebagai sumber nilai dikaburkan dengan praktek kebijaksanaan pelaksana penguasa negara. Misalnya setiap kebijaksanaan penguasa negara senantiasa berlindung di balik ideologi Pancasila, sehingga setiap tindakan dan kebijaksanaan penguasa  negara senatiasa dilegitimasi oleh ideologi Pancasila.Sehingga konsekuensinya setiap warga negara yang tidak mendukung kebijaksanaan tersebut dianggap bertentangan dengan Pancasila.  Asas kekeluargaan sebagaiman terkandung dalam nilai Pancasila disalahgunakan menjadi praktek nepotisme, sehingga merajalela kolusi dan korupsi.

Oleh karena itulah maka gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam kerangka perspektif Pancasila sebagai landasan cita-cita dan ideologi, (Hamengkubuwono X, 1998 : 8) sebab tanpa adanya suatu dasar nilai yang jelas maka suatu reformasi akan mengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme,brutalisme pada akhirnya menuju pada kehancuran bangsa dan negara Indonesia. Maka reformasi dalam perspektif Pancasila pada hakikatnya harus berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adapun secara rinci sebagai berikut:
  1. Reformasi yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti bahwa suatu gerakan ke arah perubahan harus mengarah pada suatu kondisi yang lebih baik bagi kehidupan manusia sebagai makhluk Tuhan. Karena hakikatnya manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa adalah bersifat dinamis, sehingga selalu melakukan suatu perubahan ke arah suatu kehidupan yang lebih baik. Maka reformasi harus berlandaskan moral religius dan hasil reformasi harus meningkatkan kehidupan keagamaan. Oleh karena itu reformasi yang dijiwai nilai-nilai religius tidak membenarkan pengrusakan, penganiayaan, merugikan orang lain serta bentuk-bentuk kekerasan lainnya.
  2. Reformasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berarati bahwa reformasi harus dilakukan dengan dasar-dasar nilai-nilai martabat manusia yang beradab. Oleh karena itu reformasi harus dilandasi oleh moral kemanuasiaan yang luhur, yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan bahkan reformasi  menargetkan ke arah penataan kembali suatu kehidupan negara yang menghargai harkat dan martabat manusia, yang secara kongkrit menghargai hak-hak asasi manusia. Reformasi menentang segala praktek eksploitasi, penindasan oleh manusia terhadap manusia lain, oleh golongan satu terhadap golongan lain, bahkan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Untuk bangsa yang majemuk seperti bangsa Indonesia maka semangat reformasi yang berdasar kemanusiaan menentang praktek-praktek  yang mengarah pada diskriminasi dan dominasi sosial, baik alasan perbedaan suku, ras, asal-usul maupun agama. Reformasi yang dijiwai nilai-nilai kemanusiaan tidak membenarkan perilaku yang biadap seperti membakar, menganiaya, menjarah, memperkosa, dan bentuk-bentuk kebrutalan lainnya yang mengarah pada praktek anrkisme. Sekaligus reformasi yang berkemanusiaan harus memberantas sampai tuntas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang telah sedemikian mengakar pada kehidupan kenegaraan pemerintah Orba (lihat Hamengkubuwono X, 1998 : 8).
  3. Semangat reformasi harus berdasarkan pada nilai persatuan sehingga reformasi harus menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia. Reformasi harus menghindarkan diri dari praktek-praktek yang mengarah pada disintegrasi bangsa, upaya sparatisme baik atas dasar kedaerahan, suku maupun agama. Reformasi memiliki makna menata kembali kehidupan bangsa dalam bernegara, sehingga reformasi justru harus mengarah pada lebih kuatnya persatuan dan kesatuan bangsa. Demikian juga reformasi harus senantiasa dijiwai asas kebersamaan sebagai suatu bangsa Indonesia.
  4. Semangat dan jiwa reformasi harus berakar pada asas kerakyatan sebab justru permasalahan dasar gerakan reformasi adalah pada prinsip kerakyatan. Penataan kembali secara menyeluruh dalam segala aspek pelaksanaan pemerintahan negara harus meletakkan kerakyatan sebagai paradigmanya. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan negara dan sekaligus sebagai tujuan kekuasaan negara, dalam pengertian inilah maka reformasi harus mengembalikan pada tatanan pemerintahan negara yang benar-benar bersifat demokratis, artinya rakyatlah sebagai pemegang kekuasaan negara. Maka semangat reformasi menentang segala bentuk penyimpangan demokratis seperti kediktatoran baik secara langsung maupun tidak langsung, feodalisme maupun totaliterianisme. Asas kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan menghendaki terwujudnya masyarakat demokratis. Kecenderungan munculnya diktator mayoritas melalui aksi massa, harus diarahkan pada asas kebersamaan hidup rakyat agar tidak mengarah pada anarkisme. Oleh karena itu penataan kembali mekanisme demokrasi seperti pemilihan anggota DPR, MPR, pelaksanaan Pemilu beserta perangkat perundang-undangan-nya pada hakikatnya untuk mengembalikan tatanan negara pada asas demokrasi yang bersumber pada kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila keempat Pancasila.
  5. Visi dasar reformasi harus jelas, yaitu demi terwujudnya Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan penataan kembali dalam berbagai bidang kehidupan negara harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu terwujudnya tujuan bersama sebagaimana negara hukum yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Oleh karena itu hendaklah disadari bahwa gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan penataan kembali, pada hakikatnya bukan hanya bertujuan demi perubahan itu sendiri, namun perubahan dan penataan demi kehidupan bersama yang berkeadilan. Perlindungan terhadap hak asasi, peradilan yang benar-benar bebas dari kekuasaan, serta legalitas dalam arti hukum harus benar-benar dapat terwujudkan. Sehingga rakyat benar-benar menikmati hak serta kewajibannya berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Oleh karena itu reformasi hukum baik yang menyangkut materi hukum terutama aparat pelaksana dan penegak hukum adalah merupakan target reformasi yang mendesak untuk terciptanya suatu keadilan dalam kehidupan rakyat.  
Dalam persfektif Pancasila gerakan reformasi sebagai suatu upaya untuk menata ulang dengan melakukan perubahan-perubahan sebagai realisasi kedinamisan dan keterbukaan Pancasila dalam kebijaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sebagai suatu ideologi yang bersifat terbuka dan dinamis Pancasila harus mampu mengantisipasi perkembangan zaman terutama perkembangan dinamika aspirasi rakyat.

Nilai-nilai Pancasila adalah ada pada filsafat hidup bangsa Indonesia, dan sebagai bangsa maka akan senantiasa memiliki perkembangan aspirasi sesuai dengan tuntunan zaman. Oleh karena itu Pancasila sebagai sumber nilai memiiiki sifat ‘reformatif’ artinya memiliki aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu menyesuaikan dengan dinamika aspirasi rakyat, dalam mengantisipasi perkembangan zaman, yaitu dengan jalan menata kembali kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat, akan tetapi nilai-nilai esensialnya bersifat tetap yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan.

2.7 Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum

Dalam era reformasi akhir-akhir ini seruan dan tuntutan rakyat terhadap pembaharuan hukum sudah merupakan suatu keharusan karena proses reformasi yang melakukan penataan kembali tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan perundang-undangan. Agenda yang lebih kongkrit yang diperjuangkan oleh para reformis yang paling mendesak adalah reformasi bidang hukum. Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat rutuhnya kekuasaan Orde Baru, salah satu subsistem yang mengalami kerusakan parah selama orde baru adalah bidang hukun. Produk hukum baik materi maupun penegakannya dirasakn semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan serta keadilan. Subsistem hukum nampaknya tidak mampu menjadi pelindung bagi kepentingan masyarakat dan yang berlaku hanya bersifat imperative bagi penyelenggara pemerintahan.

Oleh karena kerusakan atas subsistem hukum yang sangat menentukan dalam berbagai bidang misalnya politik, ekonomi dan bidang lainnya maka banga Indonesia ingin melakukan suatu reformasi, menata kembali subsistem yang mengalami kerusakan tersebut. Namun demikian hendaklah dipahami bahwa dalam melakukan reformasi tidak mungki dilakukan secara spekulatif saja melainkan harus memiliki dasar, landasan serta sumber nilai yang jelas, dan dalam masalah ini nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila yang merupakan dasar cita-cita reformasi.

2.8 Pancasila sebagai Nilai Perubahan Hukum

Dalam Negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang merupakan sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata Negara disebut staatsfundamentalnorm. Dalam Negara Indonesia staatsfundamentalnorm  tersebu intinya tidak lain adalah Pancasila. Maka pancasila merupakan cita-cita hukum, kerangka berfikir, sumbe nilai serta sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka pancasila berfungsi sebagai paradigm hukum terutama dalam kaitannya dengan berbagaimacam upaya perubahan hukum, atau pancasila harus meupakan paradigm dalam suatu pembaharuan hukum. Materi-materi dalam suatu produk hukum atau perubahan hukum dapat senantiasa berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan Iptek serta perkembangan aspirasi masyarakat namun sumber nilai ( yaitu nilai-nilai pancasila ) harus senantiasa tetap. Hal ini mengingat kenyataan bahwa hukum itu tidak berada pada suatu yang vacuum.

Oleh karena itu agar hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat maka hukum harus senantiasa diperbaharui agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat yang dilayaninya dan dalam pembaharuan hukum yang terus-menerus tersebut pancasila harus tetap sebagai kerangka berpikir, sumber norma atau sumber nilai-nilainya.

Sebagai paradigma dalam pembaharuan tatanan hukum pancasila itu dapat dipandang sebagai cita-cita hukum yang berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm dalam Negara Indonesia. Sebagai cita-cita hukum pancasla dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif. Dengan fungsi regulatifnya pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar yang diberikan oleh pancasila maka ukum akan kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum itu sendiri. Demikian juga dengan fungsi regulatifnya pancasila menentukan apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang adil ataukah tidak adil. Sebagai staatsfundamentalnorm pancasila merupakan pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran) dari tertib hukum di Indonesia termasuk UUD 1945. Dalam pengertian inilah menurut istilah ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segla peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Sumber hukum meliputi dua macam pengertian, yaitu:
  1. sumber formal hokum, sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan permen, perda.
  2. sumber material hokum, suatu sumber hukum yang menentukan materi atau isi suatu hokum.
Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai religius, nilai hukum kodrat, nilai hukum moral pada hakikatnya merupakan suatu sumber material hukum positif di Indonesia. Dengan demikian pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan perundang-undangan Indonesi yang tersusun secara hierarkhis.

Dalam susunan yang hierarkhis ini pancasila menjamin keserasian atau tiadanya kontradiksi antara berbagai peraturan perundang-undangan baik secara vertikal maupun horisontal. Ini mengandung konsekuensi jikalau terjadi ketidakserasian atau pertentangan suatu norma hukum dangan norma hukum lainnya yang secara hierarkhis lebih tinggi apalagi dengan pancasila sebagai sumbernya.

Selain sumber nilai yang terkandung dalam pancasila reformasi dan pembaharuan hukum juga hrus berumber pada kenyataan empiris yang ada dalam wujud aspirasi-aspirasi yang dikehendakinya. Menurut Johan Galtung suatu prubahan serta pengembangan secara ilmiyah harus mempertimbangkan tiga unsur:
  1. nilai
  2. teori (noma)
  3. fakta atau realitas empiris.            
Oleh karena itu dalam reformasi hukum dewasa ini selain pancasila sebagai paradigma pembaharuan hukum yang merupakan sumber norma dan sumber nilai, terdapat sumber pokok yang justru tidak kalah pentingnya yaitu kenyataan empiris yang ada dalam masyarakat. Oleh karena masyarakat bersifat dinamis baik menyangkut aspirasinya, kemajuan peradaban serta, kemajuan iptek maka perubahan dan pembaharuan hukum harus mampu mengakomodasinya dalam norma-norma hukum dengan sendirinya.

Selama hal tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai hakiki yan terkandung dalam sila-sila pacasila. Dengan demikian maka upaya untuk reformasi hukum atau benar-benar mampu mngantarkan manusia ketingkat harkat dan martabat yang lebih tinggi sbagai makhluk yang berbudaya dan beradap.

2.9  Dasar Yuridis Reformasi Hukum

Dalam reformsi hukum dewasa ini bermunculan bermunculan bebrbagai pendapat yang pada taraf tertentu nampak hanya luapan emosional dan meninggalkan aspek konsepsional. Jikalau halnya demikian maka kita kembali menjdi bangsa yang tidak beradab,bangsa yang  tidak berbudaya masyakat yang tanpa hukum yang menurut hobbes disebut ‘’homo homini lupus’’  manusia akan menjadi  serigala dan hukum yang berlaku adalah hukum rimba oleh karena itu reformasi hukum harus konsepsional dan konstitusional,sehingga reformasi  hukum memiliki landasn dan tujuan yang jelas.

Dalam upaya  reformasi hukum dewasa ini telah banyak dilontarkan Berbagai macam pendapat tentang aspek apa saja yang dapat dilakukan dalam perubahan hukum di indonesia, bahkan telah banyak usulan untuk perlunya amendemen atau kalau perlu perubahan secara terhadap pasal-pasal UUD 1945. Namun hendaklah dipahami secara objektif bahwa bila mana terjadi suatu amandemen atau bahkan perubahan terhadap seluruh pasal UUD 1945, maka hal itu tidak akan menyangkut perubahan terhadap pembukaan UUD 1945, karena berkedudukan sebagai pokok kaidah negara yang funda mental, merupakan sumber hukum positif, memuat pancasila sebagai dasar filsafat negara serta terlekat pada kelangsungan hidup negara proklamasi 17 Agustus 1945. Oleh karena itu perubahan terhadap pembukaan UUD 1945 adalah suatu revolusi dan sama halnya dengan menghilangkan eksistensi bangsa dan negara bangsa Indonesia.

Berbagai macam produk peraturan perundang-undang yang telah dihasilkan dalam reformasi ukum antara lain, undang-undang politik tahun 1999, yaitu UU. No.2 tahun 1999 tentang partai politik, UU.No.3 tahun 1999 tentang pemilihan umum, dan UU. No.4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan  MPR, DPR dan DPRD :undang-undang pokok pers sehingga menghasilkan pers yang bebas dan demokrasi; undang-undang otonomi daerah, yaitu meliputi UU.No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU. No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keungan antara pemerintah pusat  dan daerah, dan UU  No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.

Pada tingkatan ketetapan MPR telah dilakukan reformasi hukum pada bulan  november 1998 yang menghasilkan berbagai ketetapan antara lain tap No. VIII/1998 tentang pencabutan referendum, karena menghanbat demokrasi, Tap No. IX /MPR/1998 tentang GBHN yang tidak mungkin dilaksanakan karena krisis ekonomi serta politik, Tap No X/MPR/1998 tentang negara yang bebas dari KKN,Tap No. XIII/MPR/1998 tentang masa jabatan presiden,Tap No. XIV/MPR/1998 tentang pemilihan umum tahun 1999, Tap No. XV/MPR1998 tentang otonomi daerah dan perimbangan keungan  pusat dan daerah, Tap No. XVI/MPR/1998 tentqng demokrasi ekonomi ,Tap. No. XVII/MPR/1998 tentang hak asasi peraturan perundang-undangan lainnya.

2.10 Pancasila sebagai Paradigma Reformasi pelaksanaan Hukum

Dalam suatu negara betapapun baiknya suatu paraturan peraturan perundang-undangan namun tidak disertai dengan jaminan pelaksanaan hukum yang baik niscaya reformasi hukum akan menjadi sia-sia belaka.integritas dan moralitas para aparat penegak hukum dengan sendirinya harus memiliki landasan nilai-nilai serta norma yang bersumber  landasan filosofis negara , dan bagi bangsa indonesia adalah dasar filsafat negara pancasila.

Dalam era reformasi pelaksanaan hukum harus didasarkan pada suatu nilai sebagai operanasionalnya. Negara pada hakikatnya secara formal (sebagai negara hukum foemal)  harus melindungi hak-hak warganya terutama hak kodratsebagai suatu hak asasi yang merupakan karunia dari tuhan yang maha esa ( sila I dan II ). Oleh karena itu pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia adalah sebagai pengingkaran terhadap dasar felosofis negara , misalnya pembungkaman demokrasi , penculikan pembatasan berpendafat,berserikat, berunjuk rasa dan lain sebagainya dengan tanggung jawab atas kepentingan bersama.Negara adalah dari, oleh dan untuk rakyat.Rakyat adalah asal mula kekuasaan negara. Maka dalam pelaksanaan hukum harus mengembalikan negara pada supremasi hukum yang didasarkan atas kekuasaan yang berada pada rakyat bukannya pada kekuasaan perseorangan atau kelompok.

Pelaksanaan hukum pada masa reformasi ini harus benar-benar dapat mewujutkan negara demokratis dengan suatu supremasi hukum. Artinya pelaksanaan hukum harus mampu mewujudkan jaminan atas terwujudnya keadilan (sila V), dalam suatu negara yaitu keseimbangan antara hak dan wajib bagi setiap warga negara tidak memandang pangkat, jabatan ,golongan,etinsitas, maupun agama. Jaminan atas terwujudnya kedilan bagi setiap warga negaradalam hidup bersama  dalam suatu negara yang meliputi seluruh unsur keadilan baik keadilan distributif, keadilan komonikatif, serta keadilan legal.konsekuensinya  dalam pelaksanaan hukum aparat  penegak hukum terutama pihak kejaksaan adlah sebagai ujung tombaknya sehingga harus benar-benar bersih dari praktek KKN.

2.11 Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Politik

Landasan aksiologi(sumber nilai) bagi system poli tik Indonesia adalah sebagai mana terkandung dalam deklarasi bangsa Indonesia yaitu pembukaan UUD 1945 Alenia IV yang berbunyi “……… maka di susunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu kedalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan yang maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradap, Persatuaan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Jikalau dikaitkan dengan makna alenia ll tentang cita-cita Negara dan kemerdekaan yaitu demokrasi (bebas,bersatu,berdaulat,adil) dan (makmur) kemakmuran, dasar politik ini menunjukkan kepada kita bahwa bentuk dan bangunan kehidupan masyarakat yang bersatu (sila lll), demokrasi (sila lV), berkeadilan dan berkemakmuran (sila V) serta Negara yang memiliki dasar-dasar moral ketuhanan dan kemanusiaan.

Nilai demokrasi politik tersebut secara normatif terjabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945 yaitu pasal 1 ayat (2) menyatakan:

“Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Pasal 2 ayat (2) menyatakan:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetepkan dengan undang-undang.
Pasal 5 ayat (1) menyatakan:
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakiulan Rakyat.”
Pasal 6 ayat (2) menyatakan:
“Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak.”
Rangkaian keempat pasal tersebut terkesan sangat unik, karena berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga tertinggi Negara untuk menjalankan kedaulatan rakyat, serta berdasarkan Pasal 6 ayat (2) berkuasa memilih presiden. Akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) susunan dan kedudukannya justru di atur dengan undang-undang yang ditetapkan oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini dipahami berdasarkan semangat dari UUD 1945 yang merupakan esensi pasal-pasal itu.
  • Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam Negara.
  • Kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  • Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dank arena nya harus tunduk dan bertanggung jawab.
  • Produk hokum apapun yang dihasilkan oleh Presiden, baik sendiri maupun bersama-sama lembaga lain.

Prinsip-prinsip demokrasi bilamana kita kembali kepada nilai esensial yang terkandung dalam Pancasila maka kedaulatan tertimggi Negara adalah ditangan rakyat. Rakyat merupakan asal mula kekuasaan Negara. Oleh karena itu paradigm ini harus merupakan dasar pijak dalam reformasi politik.

a. Reformasi atas Sistem Politik

Sistem mekanisme demokrasi tersebut tertuang dalam Undang-undang Politik yang berlaku selama Orde Baru yaitu:
  1. UU tentang Susunan dan Kedaulatan MPR, DPR, dan DPRD (UU No.16/1969 jis UU No. 5/1975 dan UU No. 2/198.
  2. UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975, jo. UU No.3/1985.
  3. UU tentang Pemilihan Umum (UU No. 15/1965 jis UU No.4/1975. UU No.2/1980, dan UU No. 1/1985).
Oleh karena itu untuk melakukan reformasi atas sistem politik harus juga melalui reformasi pada Undang-undang yang mengatur sistem politik tersebut, dengan tetap mendasarkan pada paradigma nilai-nilai kerakyatan sebagaimana terkandung dalam Pancasila.

2.12 Susunan Keanggotaan MPR

Target yang sangat vital dalam proses reformasi dewasa ini adalah menyangkut penjabaran sistem kekuasaan rakyat dalam sistem politik Indonesia. MPR tidak mungkin dilakukan hanya dengan sekedar copot dan diganti dengan orang lain yang dianggap aspiratif tanpa melalui dasar-dasar aturan normatif dan konstitusional. Oleh karena itu untuk melakukan perubahan terhadap susunan keanggotaan MPR, DPR maka terlebih dahulu harus melakukan reformasi terhadap peraturan perundangan yang merupakan dasar acuan penyusunan keanggotaan MPR, DPR.

Undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD pada masa orde baru terutama dalam UU No.2/1985 sebagai beriku
  1. Susunan keanggotaan MPR terdiri atas keseluruhan anggota DPR, ditambah dengan anggota utusan daerah dan utusan golongan “sebagai kelompok yang lain” dalam jumlah yang sama.
  2. Utusan golongan diangkat oleh presiden, sedangkan utusan daerah ditetapkan oleh DPRD Tingkat 1 didalamnya termasuk Gubernur/Kepala Daerah Tingkat 1.
  3. Susunan keanggotaan DPR dan DPRD Tingkat 1 dan Tingkat ll tidak seluruhnya dipilih oleh rakyat melalui pemilu.
  4. Kata “ditambah” seperti termasuk dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 secara matematis menunjukkan perbandingan jumlah anggota MPR Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang notaben di angkat dan skedar sebagai tambahan akan lebih besar dibandingkan jumlah anggota DPR dan fraksi ABRI yang juga tidak dipilih melalui pemilu.
Berdasarkan kenyataan susunan keanggotaan MPR, DPR, dan DPRD tersebut diatas maka rakyat bertekad melakukan reformasi dengan mengubah sistem politik tersebut melalui Sidang Istimewa MPR tahun 1998. Undang-undang No.4 Tahun 1999 yang mengatur tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Perubahan yang telah dilakukan antara lain pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa jumlah anggota MPR sebanyak 700 orang. Anggota DPR hasil PEmilu sebanyak 500 orang. Utusan Daerah sebanyak 135 orang, yitu 5 orang dari setiap Daerah Tingkat 1. Utusan golongan sebanyak 65 orang. Kemudian perubahan yang mendasar adalah pada pasal 2 ayat (3) yaitu Utusan daerah dipilih oleh DPR, dan sebagaimana diketahui bahwa DPR adalah merupakan hasil Pemilu jadi bersifat demikratis. Adapun jumlah wakil dari masing-masing golonglan ditetapkan oleh DPR Pasal 2 ayat (5).

2.13 Susunan Keanggotaan DPR

Perubahan atas isi keanggotaan DPR tertuang dalam Undang-undang No. 4 Pasal 11 sebagai berikut:
  1. Pasal 4 ayat 2 menyatakan keanggotaan DPR terdiri atas:
  • Anggota partai politik hasil pemilu
  • Anggota ABRI yang diangkat.
Pasal 11 ayat (3) menjelaskan
  • Anggota partai politik hasil Pemilu sebanyak 462 orang.
  • Anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38 orang.
Berdasarkan pertimbangan dan hasil musyawarah saat ini masih perlu partisipasi ABRI dalam sistem demokrasi demi persatuan dan kesatuan bangsa.

a. Susunan Keanggotaan DPRD Tingkat 1

Tertuang dalam Undang-undang Politik No. 4 Tahun 1999 sebgai berikut:
Pasal 18 ayat (1) bahwa pengisian anggota DPRD 1 dilakukan melalui Pemilu dan pengangkatan.
Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa DPRD 1 terdiri atas:
  1. Anggota partai politik hasil Pemilihan Umum.
  2. Anggota ABRI yang diangkat.
Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa jumlah DPRD 1 ditetepkan sekurang-kurangnya 45 orang dan sebanyak-banyaknya 100 orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.

b. Susunan Keanggotaan DPRD ll

Reformasi atas susunan keanggotaan DPRD ll tertuang dalam Undang-undang Politik No. 4 Tahun 1999 sebagai berikut.
Pasal 25 ayat (1) menyatakan: pengisian anggota DPRD ll dilakukan berdasarkan hasil Pemilihan Umum dan pengangkatan.
Pasal 25 ayat (2) menyatakan, DPRD ll terdiri atas:
  1. Anggota partai politik hasil Pemilihan Umum
  2. Anggota ABRI yang diangkat.
Pasal 25 ayat (3) menyatakan bahwa jumlah anggota DPRD ll ditetapkan sekurang-kurangnya 20 orang dan sebanyak-banyaknya 45 orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.

Demikianlah perubahan atas Undang-undang tentang Susunan Keanggotaan MPR, DPR, dan DPRD agar benar-benar mencerminkan nilai Kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila Keempat pancasila yang merupakan Paradigma Demokrasi.

2.14     Reformasi Partai Politik

Demi terwujudnya supra struktur politik yang benar-benar demokratis dan spiratif maka sangat penting untuk dilakukan penataan kembali infra struktur politik, terutama tentang partai politik. Pada masa orde baru ketentuan tentang partai politik diatur dalam Undang-undang Politik yaitu UU No.3 Tahun 1975,jo. UU No.3 Tahun 1985, tentang Partai Politik dan Golongan Karya.

Dalam Undang-undang tersebut ditentukan bahwa partai politik dan golongan karya hanya meliputi tiga macam yaitu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Pancasila (PDI).

Demikian juga pada masa orde baru keberadaan tidak infrastruktur politik tersebut masih diseragamkan dengan asas tunggal Pancasila, sehingga secara politis kehidupan yang demikian ini akan mematikan proses demokratisasi dalam kehidupan Negara. Penentuan asas tunggal pancasila berarti tidak mencerminkan hakikat nilai Pancasila itu sendiri yang “majemuk tunggal”, yang disimbulkan dalam lambang Negara yaitu “Bhineka Tunggal Ika”, yang maknanya beraneka ragam akan tetapi satu kesatuan juga. Dengan ketentuan asas tunggal maka nilai Pancasila direduksi sebagai alat penguasa orde baru.

Adapun ketentuan yang mengatur tentang Partai Politik diatur dalam Undang-undang No.2 Tahun 1999, tentang Partai Politik yang lebih demokratis dan memberikan kebebasan serta keleluasaan untuk menyalurkan aspirasinya. Dalam Undang-undang No.2 Tahun 1999 tersebut ditantukan :

Syarat-syarat pembentukan Partai Politik termasuk dalam Pasal 2 Undang-undang No.2 Tahun 1999 sebagai berikut.

Ayat (1) Sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dapat membentuk Partai Politik.

Ayat (2) Partai Politik sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat :
  1. Mencantumkan Pancasila sebagai dasar Negara dari Negara kesatuan Republik Indonesia dalam anggaran dasar partai.
  2. Asas atau ciri, aspirasi, dan program partai Politik tidak bertentangan dengan  Pancasila.
  3. Keanggotaan Partai Politik bersifat terbuka untuk setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah mempunyai hak pilih.
  4. Partai Politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang Negara asing, bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia Sang Merah Putih, bendera Negara asing gambar perorangan dan nama serta lambang partai lain yang telah ada.

Atas ketentuan UU tersebut maka bermunculah Partai Politik di era reformasi ini mencapai 144 partai politik. Namun dalam kenyataannya yang memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan umum hanya 48 partai politik. Partai-partai politik itulah yang ikut dalam pemilu tahun 1999, yang berdasarkan hasil sidang istimewa MPR dipercepat yaitu tanggal 7 juni 1999. Selain itu tidak kalah pentingnya pelaksanaan pemilu juga dilakukan perubahan dan diatur dalam Undang-undang No.3 Tahun 1999 tentang pemilihan umum.

Pemilihan umum sebagaimana termuat dalam Undang-undang tersebut adalah bersifat, jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang benar-benar domokratis maka penyelenggara pemilu tersebut berdasarkan ketentuan Undang-undang  No.3 Tahun 1999, BAB III pasal 8, dijelaskan bahwa penyelenggara pemilihan umum dilakukan oleh komisi pemilihan umum (KPU) yang bebas dan mandiri, yang terdiri atas unsur partai-partai politik peserta pemilihan umum dan unsur pemerintah yang bertanggung jawab kepada Presiden.

Reformasi atas Kehidupan Politik

Para pendiri Negara serta penggali nilai-nilai pancasila menentukan pancasila sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta memformalkan UUD 1945 sebagai Undang-undang dasar Negara dimaksudkan untuk mewujudkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana terkandung dalam nilai kerakyatan sila IV pancasila.

Reformasi kehidupan politik juga dilakukan dengan meletakkan cita-cita kehidupan kenegaraan dan kebangsaan dalam suatu kesatuan waktu yaitu nilai masa lalu, masa kini dan kehidupan masa yang akan datang. Atas dasar inilah maka pertimbangan realistik sebagai unsurbyang sangat penting yaitu dinamika kehidupan masyarakat, aspirasi serta tuntutan masyarakat yang senantiasa berkembang untuk menjamin tumbuh berkembangnya demokrasi di Negara Indonesia, karena faktor penting demokrasi dalam suatu Negara adalah partisipasi dari seluruh warganya. Dengan sendirinya kesemuanya ini harus diletakkan dalam kerangka nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri sebagai filsafat hidupnya yaitu nilai-nilai Pancasila.

2.15 Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi

Tidak terwujudnya perlembagaan proses politik yang demokratis, mengakibatkan hubungan prbadi merupakan mekanisme utama dalam hubungan sosial, politik, dan ekonomi dalam suatu negara. Kelemahan atas sistem hubungan kelembagaan demokratis tersebut memberikan peluang bagi tumbuh berkembangnya hubungan antara penguasa politik dan pengusaha, bahkan antara birokrat dengan penguasa (Sanit, 1999:85). Terlebih lagi karena lemahnya sistem kontrol kelembagaan berkembang pula penguasa sekaligus sebagai pengusaha, yang didasarkan atas birokrasi dan wibawa keluarga pengusaha.

Kondisi yang demikian ini jelas tidak mendasarkan atas nilai – nilai Pancasila yang meletakkan kemakmuran pada paradigma demi kesejahteraan seluruh bangsa. Bangsa sebagai unsur pokok serta subjek dalam negara yang merupakan penjelmaan sifat kodrat manusia individu makhluk sosial, adalah sebagai satu keluarga bangsa. Oleh karena itu perubahan dan pengembangan ekonomi harus diletakkan pada peningkatan harkat martabat serta kesejahteraan seluruh bangsa sebagai satu negara. Sistem ekonomi yang berbasis pada kesejahteraan rakyat menurut Moh.Hatta, merupakan pilar (soko guru) ekonomi Indonesia.

Sistem ekonomi Indonesia pada masa orde baru bersifat “birokratik otoritarian” yang ditandai dengan pemusatan kekuasaan dan partisipasi dalam membuat keputusan – keputusan nasional hampir sepenuhnya berada di tangan penguasa bekerja sama dengan kelompok militer dan kaum teknokrat. Adapun kelompok pengusaha oligopolistik didukung oleh pemerintah bekerjasama dengan masyarakat bisnis internasional, dan terlebih lagi kuatnya pengaruh otoritas kekuasaan keluarga pejabat negara termasuk Presiden (Wiliam Liddle, 1995:74)

Kebijaksanaan ekonomi yang selama ini diterapkan yang hanya mendasakan pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan bersama seluruh bangsa, dalam kenyataannya hanya menyentuh kesejahteraan sekelompok kecil orang bahkan penguasa. Pada era ekonomi global dewasa ini dalam kenyataannya tidak mampu bertahan. Krisis ekonomi yang terjadi di dunia dan melanda Indonesia mengakibatkan ekonomi Indonesia terpuruk, sehingga kepailitan yang diderita oleh para pengusaha harus ditanggung oleh rakyat.

Dalam kenyataannya sektor ekonomi yang justru mampu bertahan pada masa krisis dewasa ini adalah ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi yang berbasis pada usaha rakyat. Oleh karena itu subsidi yang luar biasa banyaknya pada masa orde baru hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang yaitu sekelompok konglomerat, sedankan bilamana mengalami mengalami kebangkrutan seperti saat ini rakyatlah yang banyak dirugikan. Oleh karena itu rekapitalisasi pengusaha pada masa krisis dewasa ini sama halnya dengan rakyat banyak membantu pengusaha yang sedang terpuruk.

Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang berbasis pada ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai – nilai Pancasila yang mengutamakan kesejahteraan seluruh bangsa adalah sebagai berikut : (1) Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu dilakukan dengan program “social safety net” yang populer dengan program Jaringan Pengamanan Sosial (JPS). Sementara untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, maka pemerintah harus secara konsisten menghapuskan KKN, serta mengadili bagi oknum pemerintah pada masa orde baru yang melakukan pelanggaran. Hal ini akan memberikan kepercayaan dan kepastian usaha. (2) Program rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Upaya ini dilakukan dengan menciptakan kondisi kepastian usaha, yaitu dengan diwujudkannya perlindungan hokum serta Undang – Undang persaingan yang sehat. Untuk itu pembenahan dan penyehatan dalam sektor perbankan menjadi prioritas utama, karena perbankan merupakan jantung perekonomian. (3) Transformasi struktur, yaitu guna memperkuat ekonomi rakyat maka perlu diciptakan sistem untuk mendorong percepatan perubahan struktural (structural transformation).

Transformasi sruktural  ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi subsistem ke ekonomi pasar, dari ketergantungan kepada kemandirian, dari orientasi dalam negeri ke orientasi ekspor (Nopirin, 1999:4). Dengan sendirinya intervensi birokrat pemerintahan yang ikut dalam proses ekonomi melalui monopoli demi kepentingan pribadi harus segera diakhiri. Dengan system ekonomi yang mendasarkan nilai pada upaya terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka peningkatan kesejahteraan akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat, sehingga dapat mengurangi kesenjangan ekonomi.

2.16 Aktualisasi Pancasila

Pancasila sebagai dasar filsafat negara, pandangan hidup bangsa serta ideology bangsa dan negara, bukanlah hanya merupakan rangkaian kata – kata yang indah namun harus diwujudkan dan di aktualisasikan dalam berbagai bidang dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu aktualisasi objektif dan subjektif. Aktualisasi Pancasila yang objektif  yaitu aktualisasi Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan yang meliputi kelembagaan negara antara lain legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Selain itu juga meliputi bidang – bidang aktualisasi lainnya seperti politik, ekonomi, hokum terutama dalam penjabaran ke dalam undang – undang, Garis – Garis Besar Haluan Negara, hankam, pendidikan maupun bidang kenegaraan lainnya. Adapun aktualisasi Pancasila yang subjektif adalah aktualisasi Pancasila pada setiap individu terutama dalam aspek moral dalam kaitannya dengan hidup negara dan masyarakat. Aktualisasi yang subjektif tersebut tidak terkecuali baik warga negara biasa, aparat penyelenggara negara, penguasa negara, terutama kalangan elit politik dalam kegiatan politik perlu mawas diri agar memiliki moral Ketuhanan dan Kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam Pancasila.

2.17 Tridharma Perguruan Tinggi

Pendidikan tinggi sebagai institusi dalam masyarakat bukanlah merupakan menara gading yang jauh dari kepentingan masyarakat, melainkan senantiasa mengemban dan mengabdi kepada masyarakat. Maka menurut PP. No.60 Th. 1999, bahwa perguruan tinggi memiliki tiga tugas pokok yang disebut Tridharma Perguruan Tinggi, yang meliputi : (1) pendidikan tinggi, (2) penelitian, dan (3) pengadian kepada masyarakat.

a. Pendidikan Tinggi

Sebagai suatu lembaga pendidikan tinggi memiliki tugas sebagai dharma yang pertama yaitu melaksanakan pendidikan untuk menyiapkan, membentuk dan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Maka tugas pendidikan tinggi adalah (1) meyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian. (2) mengembangkan dan menyebar luaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional (Penjl. Pasal 3 ayat 2, jo. Pasal 2 ayat 1 PP.60 Th. 1999). (lihat Suhadi, 1995 : 212). Sebagai bangsa yang memiliki pandangan hidup Pancasila intelektual produk perguruan tinggi berupaya untuk mewujudkan sumber daya intelektual yang bermoral Ketuhanan dan kemanusiaan. Oleh karena itu intinya bahwa pendidikan tinggi haruslah menghasilkan ilmuwan, intelektual serta pakar yang bermoral Ketuhanan yang mengabdi pada kemanusiaan.

b. Penelitian

Inovasi yang bersifat vital di perguruan tinggi adalah penelitian ilmiah. Penelitian inilah yang merupakan misi perguruan tinggi dan merupakan dharma kedua dari Tridharma Perguruan Tinggi. Yang dimaksud penelitian adalah suatu kegiatan telaah yang taat kaidah, bersifat objektif dalam upaya untuk menemukan kebenaran dan atau menyelesaikan masalah dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian (Pasal 3 ayat 3 PP. 60 Th. 1999)

Sebagaimana nilai yang terkandung dalam Pancasila bahwa intelektual yang melakukan penelitian haruslah bermoral Ketuhanan dan kemanusiaan. Seorang peneliti haruslah bmoral dan mengabdikan diri kepada nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini lebih mempertegas bahwa seorang ilmuwan, peneliti tidak bersifat bebas nilai melainkan senantiasa berpegang dan mengemban nilai kemanusiaan yang didasari nilai Ketuhanan.

Dasar-dasar nilai yang terkandung dalam Pancasila inilah yang menjiwai moral peneliti sehingga suatu penelitian harus bersifat objektif dan ilmiah. Seorang peneliti harus berpegangan pada moral kejujuran yang bersumber pada Ketuhanan dan kemanusiaan. Suatu hasil penelitian tidak boleh karena motivasi uang, kekuasaan, ambisi, atau bahkan kepentingan primodial tertentu. Selain itu asas kemanfaatan penelitian haruslah demi kesejahteraan umat manusia, sehingga dengan demikian suatu kegiatan penelitian harus diperhitungkan kemanfaatannya bagi masyarakat luas serta peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan.

c. Pengabdian kepada Masyarakat

Perguruan tinggi sebagai lembaga masyarakat, senantiasa mengembangkan kegiatannya demi kepintangan masyarakat. Oleh karena itu pengabdian kepada masyarakat merupakan dharma ketiga dari Tridharma Perguruan Tinggi, Berdasarkan penjelasan Pasal 3 ayat (1) PP. 60 Th. 1999, bahwa yang dimaksud dengan pengabdian kepada masyarakat adalah suatu kegiatan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat.Realisasi dharma ketiga dari tridharma perguruan tinggi tersebut dengan sendirinya disesuaikan dengan cirri khas, bersifat serta berkarakteristik bidang ilmu bidang ilmu yang dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Aktualisasi pengabdian kepada masyarakat ini pada hakikatnya merupakan suatu aktualisasi pengembangan ilmu pengetahuan demi kesejahteraan umat manusia. Dalam pengertian inilah maka aktualisasi kegiatan pengabdian kepada masyarakat, sebenarnya merupakan suatu aktualisasi kegiatan masyarakat ilmiah perguruan tinggi yang dijiwai oleh nilai-nilai Ketuhanan dan kemanusiaan, sebagaimana terkandung dalam Pancasila.

2.18 Budaya Akademik

Perguran Tinggi sebagai suatu institusi dalam masyarakat memiliki cirri khas tersendiri di samping lapisan-lapisan masyarakat lainnya. Warga dari suatu perguruan tinggi adalah insan-insan yang memiliki wawasan dan integritas ilmiah. Oleh karena itu masyarakat akademik harus senantiasa mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan esensi pokok dari aktivitas perguruan tinggi.

Terdapat sejumlah ciri masyarakat ilmiah sebagai budaya akademik sebagai berikut:
  • kritis
  • kreatif
  • objektif
  • analitis
  • konstruktif
  • dinamis
  • dialogis
  • menerima kritik
  • menghargai prestasi ilmiah atau akademik
  • bebas dari prasanka
  • menghargai waktu
  • memiliki dan menjunjung tinggi tradisi ilmiaberorientasi ke masa depan
  • kesejawatan/ kemitraan.

Ciri-ciri masyarakat ilmiah inilah yang harus dikembangkan dan merupakan budaya dari suatu masyarakat akademik.

2.19 Kampus sebagai Moral force Pengembangan Hukum dan HAM

Masyarakat kampus sebagai masyarakat ilmiah harus benar-benar mengamalkan budaya akademik, terutama untuk tidak terjebak pada politik praktis dalam arti terjebak pada legitimasi kepentingan penguasa. Hal ini bukan berarti masyarakat kampus tidak boleh berpolitik, melainkan masyarakat kampus harus benar-benar berpegang pada komitmen moral yaitu pada suatu tradisi kebenaran objektif. Masyarakat kampus harus terhindari dari kiprah tarik-menarik kekuasaan dalam pertentangan politik.

Masyarakat kampus wajib senantiasa bertanggung jawab secara moral atas kebenaran objektif, tanggung jawab terhadap masyarakat bangsa dan negara, serta mengabdi kepada kesejahteraan kemanusiaan. Oleh karena itu sikap masyarakat kampus tidak boleh tercemar oleh kepentingan-kepentingan politik penguasa sehingga benar-benar luhur dan mulia. Oleh karena itu dasar pijak kebenaran masyarakat kampus adalah kebenaran yang bersumber pada hati nurani serta sikap moral yang luhur yang bersumber pada Ketuhanan dan kemanusiaan.

a. Kampus sebagai Sumber Pengembangan Hukum

Dalam rangka bangsa Indonesia melaksanakan reformasi dewasa ini suatu agenda yang sangat mendesak untuk diwujudkan adalah reformasi dalam bidang hukum dan peraturan perundang-undangan. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, oleh karena itu dalam rangka melakukan penataan negara untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis maka harus mengakkan supremasi hukum. Agenda reformasi yang pokok untuk segera direalisasikan adalah melakukan reformasi dalam bidang hukum. Konsekuensinya dalam mewujudkan suatu tatanan hukum yang demokratis, maka harus dilakukan pengembangan hukum positif.

Sesuai dengan tertib hukum Indonesia dalam rangka pengembangan hukum harus sesuai dengan tertib hukum Indonesia. Berdasarkan tertib hukum Indonesia maka dalam pengembangan hukum positif di Indonesia, maka dasar filsafat negara merupakan sumber materi dan sumber nilai bagi pengembangan hukum, hal ini berdasarkan Tap. No. XX/MPRS/1966, dan juga Tap No. III/MPR/2000. Namun perlu disadari bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum dasar nasional, adalah sumber materi dan nilai bagi penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam penyusunan hukum positif di Indonesia nilai Pancasila sebagai sumber materi, konsekuensinya hukum di Indonesia harus ersumber pada nilai-nilai hukum Tuhan (sila I), nilai yang terkandung pada harkat, martabat dan kemanusiaan seperti jaminan hak dasar (hak asasi) manusia (sila II), nilai nasionalisme Indonesia (sila III), nilai demokrasi yang bertumpu pada rakyat sebagai asal mula kekuasaan negara (sila IV), dan nilai keadilan dalam kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan (sila V).

Selain itu tidak kalah pentingnya dalam penyusunan dan pengembangan hukum aspirasi dan realitas kehidupan masyarakan dan rakyat adalah merupakan sumber materi dalam penyusunan dan pengembangan hokum

b. Kampus sebagai Kekuatan Moral Pengembangan Hak Asasi Manusia

Sebagaimana dibahas di muka bahwa dalam refoermasi dewasa ini bangsa Indonesia telah mewujudkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia yaitu UU Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999. Sebagaimana terkandung dalam Konsiderans, bahwa yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah, seperangkat hak yang melekat  pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati dijinjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Disamping hak asasi manusia, UU No.39 Tahun 1999 tersebut juga menentukan Kewajiban Dasar Manusia, yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.

Dalam penegakkan hak manusia tersebut mahasiswa sebagai kekuatan moral harus bersifat objektif, dan benar-benar berdasarkan kebenaran moral demi harkat dan martabat manusia, bukan karena kepentingan politik terutama kepentingan kekuatan politik dan kospirasi kekuatan internasional yang ingin menghancurkan negara Indonesia. Perlu  disadari bahwa dalam menegakkan  hak asasi tersebut, pelanggaran hak asasi dapat dilakukan oleh seseorang, kelompok orang termasuk aparat negara, penguasa negara baik disengaja maupu tidak disengaja (UU No. 39 Tahun 1999). Dewasa ini kita lihat dalam menegakkan hak asasi sering kurang adil misalnya kasus pelanggaran beberapa orang saja di Timtim,  banyak kekuatan yang mendesak untuk mengusut dan menyeret bangsa sendiri ke Mahkamah Internasional. Namun ratusan ribu rakyat kita seperti korban krusuhan Sambas, Sampit, Poso dan yang lainnya tidak ada kelompok yang memperjuangkannya. Padahal mereka sangat menderita karena diinjak-injak hak asasinya.

Terima Kasih atas kunjungan anda, jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberikan komentar atas postingan ini...

3 comments

Jika ada yang ditanyakan, bisa menggunakan fitur Contact Us
Comment Author Avatar
September 12, 2017 at 6:39 PM Delete
Referensi nya dari mana ya boss?
Comment Author Avatar
September 13, 2017 at 4:33 PM Delete
kaelan.2010.pendidikan pancasila.paradigma:yogyakarta