Makalah Karakter Dan Cara Belajar Anak Sd

Table of Contents


karakter dan cara belajar anak sd

A. KARAKTER ANAK SD

1.    Perkembangan Fisik- Motorik
Seiring dengan pertumbuhan fisiknya yang beranjak matang, maka perkembangan motorik anak sudah dapat terkoordinasi dengan baik. Dia menggerakkan anggota badannya dengan tujuan yang jelas, seperti menggerakkan tangan untuk menulis, menggambar, mengambil makanan, melempar bola dan sebagainya; dan menggerakkan kaki untuk menendang bola, lari mengejar bola pada saat main kucing-kucingan, dan sebagainya.
Fase atau usia sekolah dasar (7-12 tahun) ditandai dengan gerak atau aktivitas motorik yang lincah. Oleh karena itu, usia ini merupakan masa ideal untuk belajar keterampilan yang berkaitan dengan motorik, baik halus maupun kasar, dapat dijelaskan sebagai berikut :
Motorik Halus
Motorik Kasar
1.      Menulis
2.      Menggambar atau melukis
3.      Mengetik (komputer)
4.      Merupa (seperti membuat kerajinan dari tanah liat)
5.      Menjahit
6.      Membuat kerajinan dari kertas
1.      Baris berbaris
2.      Seni bela diri (seperti pencak silat, dan karate)
3.      Senam
4.      Berenang
5.      Atletik
6.      Main sepak bola, dan sebagainya.
Tabel 1. Perkembangan Motorik Anak

Sesuai dengan perkembangan fisik atau motorik anak yang sudah siap untuk menerima pelajaran keterampilan, maka sekolah perlu memfasilitasi perkembangan motorik anak itu secara fungsional. Upaya-upaya sekolah untuk memfasilitasi perkembangan motorik secara fungsional tersebut, di antaranya sebagai berikut.
1.    Sekolah merancang pelajaran keterampilan yang bermanfaat bagi perkembangan atau kehidupan anak.
2.    Sekolah memberikan pelajaran senam atau olahraga kepada para siswa, yang jenisnya disesuaikan dengan usia siswa.
3.    Sekolah perlu merekrut (mengangkat) guru-guru yang memiliki keahlian dalam bidang-bidang tersebut di atas.
4.    Sekolah menyediakan sarana untuk keberlangsungan penyelenggaraan pelajaran tersebut.
2.    Perkembangan Intelektual
Pada usia sekolah dasar, anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual, atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual atau kemampuan kognitif (seperti membaca, menulis, dan menghitung atau CALISTUNG).
Pada usia SD/MI daya pikir anak sudah berkembang ke arah berpikir konkrit dan rasional. Dilihat dari aspek perkembangan kognitif, menurut Piaget masa ini berada pada tahap operasi konkrit, yang ditandai dengan kemampuan sebagai berikut :
1.    Mengklasifikasikan (mengelompokkan) benda-benda berdasar ciri yang sama.
2.    Menyusun atau mengasosiasikan (menghubungkan atau menghitung) angka-angka atau bilagan.
3.    Memecahkan masalah (problem solving) yang sederhana.
Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadi dasar diberikannya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola pikir atau daya nalarnya. Kepada anak sudah dapat diberikan dasar-dasar keilmuan, seperti membaca, menulis, dan berhitung (CALISTUNG). Di samping itu, anak juga sudah dapat diberikan dasar-dasar pengetahuan yang terkait dengan kehidupan manusia, hewan, lingkungan alam, lingkungan sosial budaya, dan agama.
3.    Perkembangan Bahasa
Pada usia sekolah dasar merupakan masa berkembang pesatnya kemampuan mengenal dan menguasai perbendaharaan kata (vocabulary). Pada awal masa ini, anak sudah menguasai sekitar 2.500 kata, dan pada masa akhir (kira-kira usia 11-12 tahun) anak telah dapat menguasai sekitar 5.000 kata (Abin Syamsudin M, 2001; dan Nana Syaodih S., 1990).
Dengan dikuasainya keterampilan membaca dan berkomunikasi dengan orang lain, anak sudah gemar membaca atau mendengar cerita yang bersifat kritis. Pada masa ini tingkat berpikir anak sudah lebih maju, dia banyak menanyakan waktu dan soal-akibat. Oleh karena itu, kata tanya yang digunakannya pun yang semula hanya “apa”, sekarang sudah diikuti dengan pertanyaan “di mana”, “dari mana”, “ke mana”, dan “mengapa”.
4.    Perkembangan Emosi
Pada usia sekolah (khususnya di kelas-kelas tinggi), anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima, atau tidak disenangi oleh orang lain. Oleh karena itu, dia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Kemampuan mengontrol emosi diperolehnya melalui peniruan dan latihan (pembiasaan).
Gambaran tentang karakteristik emosi anak itu dapat dilihat pada tabel berikut.
Karakteristik Emosi yang Stabil (Sehat)
Karakteristik Emosi yang Tidak Stabil (Tidak Sehat)
1.      Menunjukkan wajah yang ceria
2.      Mau bergaul dengan teman secara baik
3.      Bergairah dalam belajar
4.      Dapat berkonsentrasi dalam belajar
5.      Bersikap respek (menghargai) terhadap diri sendiri dan orang lain
1.      Menunjukkan wajah yang murung
2.      Mudah tersinggung
3.      Tidak mau bergaul dengan orang lain
4.      Suka marah-marah
5.      Suka mengganggu teman
6.      Tidak percaya diri
Tabel 2. Karakteristik Emosi Anak

5.    Perkembangan Sosial
Maksud perkembangan sosial ini adalah pencapaian kematangan dalam hubungan atau interaksi sosial. Perkembangan sosial pada anak usia SD/MI ditandai dengan adanya perluasan hubungan, di samping dengan para anggota keluarga, juga dengan teman sebaya (peer group), sehingga ruang gerak hubungan sosialnya bertambah luas.
Pada usia ini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri dari sikap berpusat kepada diri sendiri (egosentris) kepada sikap bekerja sama (kooperatif) atau sosiosentris (mau memerhatikan kepentingan orang lain). Anak mulai berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman sebaya, dan bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok (gang), dan merasa tidak senang apabila tidak diterima oleh kelompoknya.
6.    Perkembangan Kesadaran Beragama
Pada masa ini kesadaran beragama anak ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.    Sikap keagamaan anak masih bersifat reseptif namun sudah disertai dengan pengertian.
2.    Pandangan dan paham ketuhanan diperolehnya secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman kepada indikator-indikator alam semesta sebagai manifestasi dari keagungan-Nya.
3.    Penghayatan secara rohaniah semakin mendalam, pelaksanaan kegiatan ritual diterimanya sebagai keharusan moral.
Kepercayaan anak kepada Tuhan pada usia ini, bukanlah keyakinan hasil pemikiran, akan tetapi merupakan sikap emosi yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwa akan kasih sayang dan perlindungan.
Sampai kira-kira usia 10 tahun, ingatan anak masih bersifat mekanis, sehingga kesadaran beragamanya hanya merupakan hasil sosialisasi orang tua, guru, dan lingkungannya. Oleh karena itu, pengalaman ibadahnya masih bersifat peniruan, belum dilandasi kesadarannya. Pada usia 10 tahun ke atas, semakin bertambah kesadaran anak akan fungsi agama baginya, yaitu berfungsi moral dan sosial. Anak mulai dapat menerima bahwa nilai-nilai agama lebih tinggi dari nilai-nilai pribadi atau nilai-nilai keluarga. Dia mulai mengerti bahwa agama bukan kepercayaan pribadi atau keluarga, tetapi kepercayaan masyarakat.
Periode usia sekolah dasar merupakan masa pembentukan nilai-nilai agama sebagai kelanjutan nilai-nilai sebelumnya. Kualitas keagamaan anak akan sangat diengaruhi oleh proses pembentukan atau pendidikan yang diterimanya.
7.    Hubungan antara Aspek Perkembangan Siswa dengan Pembelajaran
1.    Hubungan Perkembangan Intelektual dengan Pembelajaran
Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadi dasar diberikannya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola pikir atau daya nalarnya. Kepada siswa sudah dapat diberikan dasar-dasar keilmuan seperti membaca, menulis, dan berhitung. Di samping itu, kepada anak diberikan juga pengetahuan-pengetahuan tentang manusia, hewan, lingkungan alam sekitarnya, dan sebagainya. Kepada siswa baik sekali dilatih kebiasaan menghafal, seperti berhitung (pertambahan dan perkalian), syair (puisi), konsep-konsep atau istilah-istilah yang berkaitan dengan mata pelajaran. Untuk mengembangkan daya nalarnya juga, adalah dengan melatih siswa untuk mengungkapkan pendapat, gagasan, atau penilaiannya terhadap berbagai hal, baik yang dialaminya maupun peristiwa yang terjadi di lingkungannya.
Untuk mengembangkan kemampuan intelektual atau kemampuan berpikir siswa, baik sekali apabila guru merujuk kepada pendapat Jones et.al (1990, dalam Ediasri Toto Atmodiwirjo, 2008: 52-53) yaitu tentang “core thinking skills”, yaitu:
a.    Mengasah ketajaman panca indra untuk menerima masukan informasi dari luar (information gathering).
b.    Mengarahkan persepsi dan perhatian (focusing) untuk menjaring informasi.
c.    Mengevaluasi, melakukan penilaian (evaluation).
d.   Mengabstraksi, restrukturisasi, membuat ringkasan (integrating).
e.    Menyimpulkan, menduga, elaborasi (generating).
f.     Mengidentifikasi ciri penting (analyzing).
g.    Mengurutkan, membedakan, mengelompokkan (organizing).
h.    Mengingat (remembering).
2.    Hubungan Perkembangan Bahasa dengan Pembelajaran
Terdapat dua faktor penting yang memengaruhi perkembangan bahasa, yaitu:
a.    Proses jadi matang, dengan perkataan lain anak itu menjadi matang (organ-organ suara/bicara sudah berfungsi) untuk berkata-kata.
b.    Proses belajar, yang berarti bahwa anak yang telah matang untuk berbicara dapat mempelajari bahasa orang lain dengan jalan mengimitasi atau meniru ucapan atau kata-kata yang didengarnya.
Kedua proses ini berlangsung sejak masa bayi dan kanak-kanak, sehingga pada usia anak memasuki sekolah dasar, ia sudah sampai pada tingkat dapat membuat kalimat yang lebih sempurna; dapat membuat kalimat majemuk; dan dapat menyusun dan mengajukan pertanyaan.
Di sekolah diberikan pelajaran bahasa yang dengan sengaja menambah perbendaharaan kata-katanya, mengejar dan menyusun struktur kalimat, peribahasa, kesusasteraan, dan keterampilan mengarang. Oleh karena itu, diharapkan peserta didik dapat menguasai dan mempergunakannya sebagai alat untuk:
a.    Berkomunikasi dengan orang lain.
b.    Menyatakan isi hatinya (perasaannya).
c.    Memahami keterangan (informasi) yang diterimanya.
d.   Berpikir (menyatakan pendapat atau gagasan).
e.    Mengembangkan kepribadiannya.
3.    Hubungan Perkembangan Sosial dengan Pembelajaran
Berkat diperolehnya perkembangan sosial, anak dapat menyesuaikan perkembangan dirinya dengan kelompok teman sebaya ataupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dapat difasilitasi atau dimaknai dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik, maupun tugas yang membutuhkan pikiran.
Tugas-tugas kelompok ini harus memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk menunjukkan prestasinya, tetapi juga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Dengan melaksanakan tugas kelompok, peserta didik dapat belajar tentang sikap dan kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati, bertenggang rasa, dan bertanggung jawab.
4.    Hubungan Perkembangan Emosi dengan Pembelajaran
Emosi merupakan faktor dominan yang memengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar. Emosi positif seperti perasaan senang, bergairah, bersemangat atau rasa ingin tahu yang tinggi akan memengaruhi individu unntuk mengonsentrasikan dirinya terhadap aktivitas belajar. Sebaliknya, apabila yang menyertai proses belajar itu emosi yang negatif, seperti perasaan tidak senang, kecewa, tidak bergairah, maka proses belajar tersebut akan mengalami hambatan.
Mengingat hal tersebut, maka guru seyogyanya mempunyai kepedulian untuk menciptakan situasi belajar yang menyenangkan atau kondusif bagi terciptanya proses belajar siswa secara efektif. Upaya itu seperti mengembangkan iklim kelas yang bebas dari ketegangan, memperlakukan siswa sebagai individu yang mempunyai harga diri, memberikan nilai secara adil dan objektif, menghargai hasil karya peserta didik, mempunyai kepedulian untuk membantu memecahkan masalah yang dialami peserta didik.
5.    Hubungan Perkembangan Keagamaan dengan Pembelajaran
Periode usia sekolah dasar merupakan masa pembentukan nilai-nilai agama sebagai kelanjutan dari periode sebelumnya. Dalam kaitannya dengan hal ini, pendidikan agama di sekolah dasar mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, pendidikan agama (pengajaran, pembiasaan, dan penanaman nilai-nilai keagamaan) di sekolah dasar harus menjadi perhatian semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di SD/MI, dalam hal ini bukan hanya guru agama, akan tetapi kepala sekolah dan guru-guru lain. Senada dengan paparan tersebut, Zakiah Darajat (1986:58) mengemukakan bahwa pendidikan agama di sekolah dasar merupakan dasar bagi pembinaan sikap dan jiwa agama pada anak.
Dalam kaitannya dengan pemberian materi agama kepada anak, di samping mengembangakan pemahaman, juga memberikan latihan atau pembiasaan keagamaan yang menyangkut ibadah dan akhlak. Materi yang diberikan merupakan pengembangan, perluasan, dan pendalaman dari materi-materi yang telah diberikan sebelumnya (di TK/RA). Seperti materi shalat, pada waktu TK/RA, hanya mengenal bacaan dan gerakannya, sekarang perlu diajarkan kepada mereka tentang apa arti bacaan shalat tersebut. Selain itu, anak juga perlu dibiasakan melaksanakan ibadah sosial, yaitu menyangkut akhlak terhadap sesama manusia, seperti hormat kepada orang tua, guru dan orang lain; memberikan bantuan kepada orang yang memerlukan pertolongan; menyayangi fakir-miskin; memelihara kebersihan dan kesehatan; bersikap jujur (tidak berdusta); dan bersikap amanah (bertanggung jawab).
Kepada anak SD/MI perlu diperkenalkan juga hukum-hukum agama:
1.    Halal-haram, yang menyangkut makanan minuman, dan perbuatan. Contoh makanan dan minuman yang haram, yaitu babi, bangkai, dan minuman keras; dan contoh perbuatan haram, seperti mencuri, tawuran, dan durhaka kepada orang tua.
2.    Wajib-sunnah, yang menyangkut ibadah, seperti berwudu, shalat, shaum, zakat, haji, membaca Al-Qur’an dan berdoa.
6.    Hubungan Perkembangan Fisik (Motorik) dengan Pembelajaran
Perkembangan fisik yang normal (tidak cacat) merupakan salah satu faktor penentu kelancaran proses belajar, baik dalam bidang pengetahuan, maupun keterampilan. Oleh karena itu, kematangan perkembangan motorik sangat menunjang keberhasilan belajar peserta didik. Pada masa usia sekolah dasar, kematangan perkembangan motorik ini pada umumnya telah dicapainya, oleh karena itu mereka sudah siap menerima pelajaran keterampilan.
Untuk memfasilitasi perkembangan motorik atau keterampilan ini, maka sekolah perlu menyiapkan guru khusus untuk mengajar olahraga atau kesenian, berikut sarana dan prasarananya.

B.  CARA BELAJAR ANAK SD
1.    Hakikat Belajar dan Pembelajaran
a.    Pengertian
Menurut Kolb (1984: 38) dalam Malcolm Tight (2000: 24), belajar adalah proses penegetahuan dikreasi melalui transformasi pengalaman. Belajar adalah kebutuhan dalam kehidupan manusia, sama pentingnya seperti bekerja, dan berteman. Seperti dikemukakan oleh David Kolb (1986), “belajar adalah cara adaptasi utama manusia, jika kita tidak belajar maka tidak bisa survive (bertahan hidup), dan kita tentu saja tidak akan berhasil baik.
Secara sederhana Anthony Robbins,  mendefinisikan belajar sebagai proses menciptakan hubungan sesuatu (pengetahuan) yang sudah ada dipahami dan sesuatu (pengtahuan) yang baru. Jadi dalam makna belajar, disini bukan berangkat dari sesuatu yang benar-benar (nol), tetapi merupakan keterkaitan dari dua pengetahuan yang sudah ada dengan pengetahuan baru (Trianto, 2009: 15).
Pandangan Anthony Robbins senada dengan apa yang dikemukakan oleh Jerome Brunner dalam (Romberg and Kaput, 1999), bahwa belajar adalah suatu proses aktif dimana sisiwa membangun (mengkonstruk) pengetahuan baru berdasarkan pada pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimilikinya.
Definisi belajar secara lengkap dikemukakan oleh Slavin (2000: 141), yang mendefinisikan belajar sebagai:
Belajar bisa diartikan sebagai sebuah perubahan dalam diri seseorang yang disebabkan oleh pengalaman. Namun perubahan-perubahan yang disebabkan oleh perkembangan fisik (seperti tumbuh semakin tinggi) bukanlah contoh belajar. Bagitupun karakteristik-karakteristik seseorang yang diperoleh sejak lahir.
Sementara menurut Jarvis (1990: 196) dalam Malcolm Tight (2000: 25) bahwa belajar adalah: 1. Ada tidaknya perubahan perilaku permanen sebagai hasil dari pengalaman; 2. Perubahan relatif sering terjadi yang merupakan hasil dari praktik pembelajaran; 3. Proses dimana pengetahuan digali melalui transformasi pengetahuan; 4. Proses transformasi pengalaman yang menghasilkan pengetahuan, skill, dan attitude, dan 5. Mengingat informasi.
Belajar secara umum diartikan sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman, dan bukan karena pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karakteristik seseorang sejak lahir.
Proses belajar terjadi melalui banyak cara baik disengaja maupun tidak disengaja dan berlangsung sepanjang waktu dan menuju suatu perubahan pada diri pembelajar. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan perilaku tetap berupa pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan kebiasaan baru yang diperoleh individu. Sedangkan pengalaman interaksi antara individu dengan lingkungan sebagai sumber belajarnya. Jadi belajar disini diartikan sebagai proses perubahan perilaku tetap dari belum tahu menjadi tahu, dari tidak paham menjadi paham, dari kurang terampil menjadi lebih terampil, dan dari kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru, serta bermanfaat bagi lingkungan maupun individu itu sendiri.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka dapatlah kita simpulkan bahwa pada dasarnya belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan: 1. Adanya perubahan tingkah laku pada diri seseorang, 2. Perubahan tersebut bersifat permanen, perubahan tingkah laku tersebut karena adanya suatu pengalaman sebagai akibat dari interaksi antara individu dengan lingkungan.


Bagaimana cara guru menerapkan konsep belajar ini dalam realisasi pembelajaran kelas.
Tahap 1
Pengalaman Konkrit



Tahap 4                                                                        Tahap 2
Percobaan Aktif                                                          Pengamatan Reflektif






Tahap 3
Penyusunan Teori

Gambar 1.  Siklus pembelajaran yang dikembangkan oleh Kolb

Anna Poedjati (2007: 74), mengatakan bahwa mengajar merupakan bagian dari proses pendidikan, sedangkan makna pendidikan sendiri telah tercantum dalam UU Sisdiknas. Dalam teori psikologis pendidikan, untuk memaknai mengajar terdapat dua aliran: Pertama, aliran yang berpandangan bahwa mengajar merupakan seni, bahwa dalam mengajar melibatkan intuisi, kreativitas, inspirasi dan bakat. Kedua, aliran berpandangan bahwa mengajar itu adalah ilmu. Dengan dasar pandangan ini  dikemukakan, bahwa mengajar merupakan pemilihan dan aplikasi aturan-aturan yang tepat atau sesuai untuk situasi kelas tertentu (Anna Poedjiadi, 2007: 75).



Mengajar

Seni                                                                             Ilmu


Mengajar sebagai penyelesaian                       Mengajar sebagai aplikasi
masalah secara intuisi                     hukum-hukum, prinsip, dan teori

Gambar 2 Dua pandangan tentang dimensi mengajar

Lepas dari permasalahan dimensi mengajar, unsur terpenting dalam mengajar ialah merangsang serta mengarahkan sisiwa belajar. Mengajar pada hakikatnya tidak lebih dari sekedar menolong para sisiwa untuk memperoleh pengetahan, keterampilan, sikap, serta ide dan paresiasi yang menjurus pada perubahan tingkah laku dan pertumbuhan sisiwa (Subiyanto, 1988: 30).
Sekarang apa pula yang dimaksud dengan Pembelajaran dan Pengajaran? Dari sudut bahasa istilah pengajaran berasal dari Bahasa Inggris ‘teaching’, sedangkan pembelajaran dari Bahasa Inggris ‘learning’. Secara konteks istilah pengajaran lebih difokuskan pada pengajar (teacher), sedangkan istilah pembelajaran difokuskan pada orang yang belajar (learning, student).
Anna Poedjiadi (2007: 75), memaknai pembelajaran sebagai proses interaksi yang dilakukan oleh guru dan siswa, baik di dalam maupun di luar kelas dengan menggunakan berbagai sumber belajar sebagai bahan kajian. Pembelajaran juga sebagai preskripsi yang menguraikan bagaimana sesuatu hendaknya diajarkan sehingga mudah dijangkau dan bermanfaat bagi peserta didik.
Maka istilah pembelajaran merupakan suatu proses untuk mengembangkan potensi peserta didik agar berinteraksi antar sesama individu sebagai warga negara yang baik termasuk serta mampu mengelola lingkungan alam secara baik. Dengan demikian pembelajaran ditinjau dari peserta didik memiliki makna yang luas karena merupakan proses humanisasi, sivilisasi, dan pemberdayaan individu yang belajar.
Berdasarkan gambaran tersebut, maka pembelajaran pada dasarnya merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks, yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan. Pembelajaran secara sederhana dapat diartikan sebagai produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup (Trianto, 2009: 17). Dalam makna yang lebih kompleks pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan (Trianto, 2009: 17). Dari makna ini jelas bahwa pembelajaran merupakan interaksi dua arah dari seorang guru dan peserta didik, dimana antara keduanya terjadi komunikasi  (transfer) yang intens dan terarah menuju pada suatu target yang telah diterapkan sebelumnya.
Dalam konteks ini kemudian diperlukan kurikulum atau pengetahuan apa yang diinginkan siswa dan bagaimana cara yang efektif untuk mendapatkannya. Bagaimana alur  proses pembelajaran tersebut ditunjukkan berikut.

  • Pengembangan 
  • Pengalaman 
  • Kurikulum
  • Strategi, dan
  • Metodologi pembelajaran

b. Sasaran Kegiatan Pembelajaran

Setiap proses pembelajaran (kegiatan belajar mengajar) mempunyai sasaran atau tujuan. Tujuan itu bertahap dan berjenjang, mulai dari yang sangat operasional dan konkrit yakni tujuan pembelajaran khusus, tujuan pembelajaran umum, tujuan kurikuler, tujuan nasional, sampai pada tujuan yang bersifat universal. Persepsi guru atau persepsi anak didik mengenai sasaran akhir kegiatan belajar mengajar akan mempengaruhi persepsi mereka terhadap sasaran antar sasaran kegiatan. Sasaran itu harus diterjemahkan kedalam ciri-ciri perilaku kepribadian yang didambakan.

Secara khusus dalam proses belajar guru berperan sebagai pengajar, pembimbing, perantara, sekolah dengan masyarakat, administrator dan lainnya. Untuk itu wajar jika guru memahami dengan segenap aspek pribadi anak didik seperti: 1. Kecerdasan dan bakat khusus, 2. Prestasi sejak permulaan sekolah, 3. Perkembangan jasmani dan kesehatan, 4. Kecenderungan emosi dan karakternya, 5. Sikap dan minat belajar, 6. Cita-cita, 7. Kebiasaan belajar dan bekerja, 8. Hobi dan penggunaan waktu senggang, 9. Hubungan social di rumah, 10. Latar belakang keluarga, 11. Lingkungan tempat tinggal, 12. Sifat-sifat khusus dan kesulitan belajar anak didik. Usaha untuk memahami anak didik ini bisa dilakukan melalui evaluasi. Selain itu guru mempunyai keharusan melaporkan perkembangan hasil belajar para siswa kepada kepala sekolah, orang tua, serta instansi yang terkait

c. Efektivitas Pembelajaran

Dewasa ini yang kita lihat bahwa sebagian besar pola pembelajaran masih bersifat transmitif, pengajar mentransfer dan memberikan konsep-konsep secara langsung pada peserta didik. Dalam pandangan ini, siswa secara pasif “menyerap” struktur pengetahuan yang diberikan guru atau yang terdapat dalam buku pelajaran. Pembelajaran hanya sekedar penyampaian fakta, konsep, prinsip dan keterampilan kepada siswa (Clecement & Battista, 2001). Senada dengan itu Soedjadi (2000) menyatakan bahwa dalam kurikulum sekolah di Indonesia terutama pada mata pelajaran eksak (matematika, fisika, kimia) dan dalam pengajarannya selama ini terpatri kebiasaan dengan urutan sajian pembelajaran sebagai berikut: (1) diajarkan teori/teorema/definisi, (2) diberikan contoh-contoh dan (3) diberikan latihan soal-soal.

Pandangan konstruktivisme memberikan perbedaan yang tajam dan kontras terhadap pandangan tersebut. Prinsip-prinsip dasar pandangan konstruktivis menurut Suparno (1997) adalah sebagai berikut:
  1. Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal maupun secara sosial
  2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa menalar
  3. Siswa aktif mengkonstruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah
  4. Guru berperan sebagai fasilitator menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi pengetahuan siswa berjalan mulus.


Sistem pembelajaran dalam pandangan konstruktivis menurut Hudojo (1998) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) siswa terlibat aktif dalam belajarnya. Siswa belajar materi (pengetahuan) secara bermakna dengan bekerja dan berpikir, dan (b) informasi baru harus dikaitkan dengan informasi sebelumnya sehingga menyatu dengan skemata yang dimiliki siswa

Implikasi ciri-ciri pembelajaran dalam pandangan konstruktivis adalah penyediaan lingkungan belajar yang konstruktif. Lingkungan belajar yang konstruktif menurut Hudojo (1998) adalah lingkungan yang belajar yang (1) menyediakan pengalaman belajar yang mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sehingga belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan, (2) menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, (3) mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkret, (4) mengintegrasikan pembelajaran yang memungkinkan terjadinya interaksi dan kerja sama antara siswa, (5) memanfaatkan berbagai media agar pembelajaran lebih menarik, dan (6) melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika lebih menarik dan siswa mau belajar.

Pentingnya interaksi sosial dalam proses belajar ini dikemukakan oleh Vygotsky dalam (Ackerman, 1996) ia berpendapat bahwa belajar adalah proses sosial konstruksi yang dihubungkan oleh bahasa dan interaksi sosial. Persfektif ini memandang bahwa membahasakan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya menginterpretasikan kehidupan sehari-hari dalam matematika adalah sesuatu yang sangat penting. Pandanga ini mengharuskan seorang pengajar untuk mampu mengadaptasikan metode pembelajaran  yang memungkinkan siswa saling berdiskusi ‘sharing’ pemahaman dan membentuk struktur pengetahuan baru dari interaksi yang berpola dan berkelanjutan, pandangan ini kita kenal dengan “social constructivism”. Pemahaman dan kesadaran ini yang lantas melahirkan beberapa kajian yang mendalam, bagaimana seharusnya proses belajar mengajar itu seharusnya diorkestrasikan ? Permasalahan tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari faktor efektivitas dalam pembelajaran itu sendiri.

Keefektivan pembelajaran adalah hasil guna yang diperoleh setelah pelaksanaan proses belajar mengajar (Sadiman, 1987 dalam Irfa’I, 2002: 102). Menurut Tim Pembina Mata Kuliah Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya (1998) dalam Lince (2001: 42), bahwa efesisensi dan keefektivan mengajar dalam proses interaksi belajar yang baik adalah segala daya upaya guru untuk membantu para siswa agar bisa belajar dengan baik. Untuk mengetahui keefektivan mengajar, dalam memberikan tes, sebab hasil tes dapat dipakai untuk mengevaluasi sebagai aspek proses pengajaran.

Suatu pembelajaran dikatakan efektif apabila memenuhi persyaratan utama keefektivan pengajaran, yaitu:
(1) Presentasi waktu belajar siswa yang tinggi dicurahkan terhadap KBM;
(2) Rata-rata perilaku melaksanakan tugas yang tinggi di antara siswa;
(3) Ketetapan antara kandungan materi ajaran dalam kemampuan siswa (orientasi keberhasilan belajar) diutamakan; dan
(4) Mengembangkan suasana belajar yang akrab dan positif, mengembangkan struktur kelas yang mendukung butir (2), tanpa mengabaikan butir (4) (Soemosasmito, 1998:199).

Guru yang efektif adalah guru yang menemukan cara dan selalu berusaha agar anak didiknya terlibat secara tepat dalam suatu mata pelajaran dengan presentasi waktu belajar akademis yang tinggi dan pelajaran berjalan tanpa mengunakan teknik yang memaksa, negatif atau hukuman (Soemosasmito, 1998: 199). Selain itu, guru yang efektif adalah orang-orang yang dapat menjalin hubungan simpatik dengan para siswa, menciptakan lingkungan kelas yang mengasuh, penuh perhatian, memiliki suatu rasa cinta belajar, menguasai sepenuhnya bidang studi mereka dan dapat memotivasi siswa untuk bekerja tidak sekedar mencapai suatu prestasi namun juga menjadi anggota masyarakat yang pengasih (Kardi dan Nur, 2000: 5).

Sikap diri seperti dikatakan Roseshine dan Frust (1971) dalam Soemosasmito (1998: 199), dapat diidentifikasi 5 variabel proses guru yang memperlihatkan keteguhan hubungan dengan pencapaian tujuan yaitu: (1) kejelasan dalam penyajian; (2) kegairahan dalam mengajar; (3) ragam kegiatan; (4) perilaku siswa akan melaksanakan tugas dan kecekatannya; dan (5) kandungan bahan pengajaran yang diliput siswa.

Salah satu strategi yang membantu siswa belajar dari teks tertulis dan sumber-sumber informasi yang lain adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan, sehingga siswa haru berhenti dari waktu ke waktu untuk menilai pemahaman mereka sendiri terhadap teks atau apa yang diucapkan gurunya (Pressley dkk., 1990; Rickard, 1997; Crooks, 1998 dalam Nur dkk., 1998: 53).

d. Pembelajaran Bermakna (meaningfull learning)

Belajar bermakna (meaningfull learning) merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa mengajar ditandai oleh terjadinya hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau situasi baru  dengan komponen-komponen yang relevan di dalam struktur kognitif siswa. Proses belajar tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan. Dengan demikian, agar terjadi belajar bermakna maka guru harus selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dan membantu memadukannya seacara harmonis konsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan.

Dengan kata lain, belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami langsung apa yang dipelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak indera daripada mendengarkan orang/guru menjelaskan.

2. Karakter Belajar Anak Usia SD/MI

Peranan guru sangat penting untuk menciptakan situasi belajar sesuai dengan teori Piaget. Beberapa implikasi teori Piaget dalam pembelajaran, menurut Slavin (dalam Nur, 1998: 27), sebagai berikut:
  1. Memfokuskan pada proses berfikir anak, tidak sekedar pada produknya. Disamping itu dalam menganalisis kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sampai pada jawaban tersebut.
  2. Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam inisiatif-diri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran.
  3. Penerimaan perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan. Bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya pada kecepatan yang berbeda. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya khusus untuk lebih menata kegiatan-kegitan untuk individu-individu dan kelompok-kelompok kecil anak-anak daripada kelompok klasikal. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas tidak menyajikan pengetahuan jadi, melainkan anak didorong untuk menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi dengan lingkungannya. Oleh karena itu, guru dituntut untuk mempersiapkan beraneka ragam kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung.


Dari implikasi teori Piaget di atas, jelaslah guru harus mampu menciptakan keadaan pebelajar yang mampu untuk belajar sendiri. Artinya guru tidak sepenuhnya mengajarkan suatu bahan ajar kepada pebelajar, tetapi guru dapat membangun pebelajar yang mampu belajar dan terlibat aktif dalam belajar.

Sebagaimana yang telah dikemukakan Piaget (1950) di awal, bahwa setiap anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya (teori perkembangan kognitif). Menurutnya, setiap anak memiliki stuktur kognitif yang disebut schemata yaitu sistem konsep yang ada dalam pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada dalam lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui proses asimilasi (menghubungkan objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran) dan akomodasi (proses memanfaatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk menafsirkan objek). Kedua proses tersebut jika berlangsung terus menerus akan membuat pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara seperti itu secara bertahap anak dapat membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku belajar anak sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek dari dalam dirinya dan lingkungannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan karena memang proses belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak dengan lingkungannya.

Anak usia sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkret. Pada rentang usia tersebut anak mulai menunjukkan perilaku belajar sebagai berikut: (1) Mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak, (2) Mulai berfikir secara operasional, (3) Mempergunakan cara berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda, (4) Membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab akibat, dan (5) Memahami konsep substans, volume zat cair, panjang, lebar, luas, dan berat.

Memperhatikan tahapan perkembangan berpikir tersebut, kecenderungan belajar anak usia sekolah dasar memiliki tiga ciri, yaitu:

a. Konkret
Konkret mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkret yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan diotak atik, dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan lingkungan akan mengasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan bernilai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya, keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan.

b. Integratif
Pada tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu kebutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu, hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal umum ke bagian demi bagian.

c. Hierarkis
Pada tahapan usia sekolah dasar, cara anak berkembang secara bertahap mulai dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu diperhatikan mengenai urutan logis, keterkaitan antar materi, dan cakupan keluasan serta kedalaman materi.

3.    Gaya belajar anak SD/MI

Di beberapa sekolah dasar dan sekolah lanjutan di Amerika, para guru menyadari bahwa setiap orang mempunyai cara yang optimal dalam mempelajari informasi baru. Mereka memahami bahwa beberapa murid perlu diajarkan cara-cara yang lain dari metode mengajar standar. Jika murid-murid ini diajarkan dengan metode standar, kemungkinan kecil mereka dapat memahami apa yang diberikan. Mengetahui gaya belajar yang berbeda ini telah membantu para guru di mana pun untuk dapat mendeteksi semua atau hampir semua murid hanya dengan menyampaikan informasi dengan gaya yang berbeda-beda.

Rita Dunn, seorang pelopor di bidang gaya belajar, telah menemukan banyak variable yang mempengaruhi cara belajar orang. Ini mencakup faktor-faktor fisik, emosional, sosiologis, dan lingkungan. Sebagian orang, misalnya, dapat belajar paling baik dengan cahaya yang terang, sedang sebagian yang lain dengan pencahayaan yang suram. Ada orang yang belajar paling baik secara berkelompok, sedang yang lain lagi memilih adanya figure otoriter seperti orang tua atau guru, yang lain lagi merasa bahwa bekerja sendirilah yang paling efektif bagi mereka. Sebagian orang memerlukan musik sebagai latar belakang, sedang yang lain tidak dapat berkonsentrasi kecuali dalam ruangan sepi. Ada orang-orang yang memerlukan lingkungan kerja yang teratur dan rapi, tetapi yang lain lagi lebih suka menggelar segala sesuatunya supaya semua dapat terlihat.

Dengan bekerja secara bebas, para peneliti berbagai gaya belajar, yang berkisar dari psikologi hingga pelatihan manajemen, telah mendapatkan penemuan-penemuan yang saling memperkuat dengan konsistensi yang mengagumkan.

Michael Grinder, pengarang Righting the Education Conveyor Belt, telah mengajarkan gaya-gaya belajar dan mengajar kepada banyak instruktur. Ia mencatat bahwa dalam setiap kelompok yang terdiri dari tiga puluh murid, sekitar dua puluh dua orang mampu belajar secara cukup efektif dengan cara visual, auditorial, dan kinestetik sehingga mereka tidak membutuhkan perhatian khusus. Dari sisa delapan orang, sekitar enam orang memilih satu modalitas belajar dengan sangat menonjol melebihi dua modalitas lainnya. Sehingga, setiap saat mereka harus selalu berusaha keras untuk memahami perintah, kecuali jika perhatian khusus diberikan kepada mereka dengan menghadirkan cara yang mereka pilih. Bagi orang-orang ini, mengatahui cara belajar terbaik mereka bisa berarti perbedaan antara keberhasilan dan kegagalan. Dua orang murid lainnya mempunyai kesulitan belajar karena sebab-sebab eksternal.
1.    Orang-orang visual
·      Rapi dan teratur
·      Berbicara dengan cepat
·      Perencana dan pengatur jangka panjang yang baik
·      Teliti terhadap detail
·      Mementingkan penampilan, baik dalam hal pakaian maupun prestasi
·      Pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka
·      Mengingat apa yang dilihat, daripada yang didengar
·      Mengingat dengan asosiasi visual
·      Biasanya tidak terganggu oleh keributan
·      Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jka ditulis, dan sering minta bantuan orang untuk mengulangnya
·      Pembaca cepat dan tekun
·      Lebih suka membaca daripada dibacakan
·      Membutuhkan pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang suatu masalah atau proyek
·      Mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di telepon dan  dalam rapat
·      Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain
·      Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat ya atau tidak
·      Lebih suka melakukan demonstrasi daripada berpidato
·      Lebih suka seni daripada musik
·      Sering kali mengetahui apa yang harus dikatan, tetapi tidak pandai memilih kata-kata
·      Kadang-kadang kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin memperhatikan.

2.    Orang-orang auditorial
·      Berbicara kepada diri sendiri saat bekerja
·      Mudah terganggu oleh keributan
·      Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca
·      Senang membaca dengan keras dan mendengarkan
·      Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dn warna suara
·      Merasa kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita
·      Berbicara dalam irama yang terpola
·      Biasanya pembicara yang fasih
·      Lebih suka musik daripada seni
·      Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat
·      Suka berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar
·      Mempunyai masalah-masalah dengan pekerjaan yang melibatkan visualisasi, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain
·      Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya
·      Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik.
3.    Orang-orang kinestetik
·      Berbicara dengan perlahan
·      Menanggapi perhatian fisik
·      Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka
·      Berdiri dekat ketika berbicara dengan orang
·      Selalu berorientas pada fisik dan banyak bergerak
·      Mempunyai perkembangan awal otot-otot besar
·      Belajar melalui memanipulasi dan praktik
·      Menghafal dengan cara berjalan dan melihat
·      Menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca
·      Banyak menggunakan isyarat tubuh
·      Tidak dapat duduk diam untuk waktu lama
·      Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang telah pernah berada di tempat itu
·      Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi
·      Menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot mereka mencerminkan aksi dengan gerakan utuh saat membaca
·      Kemungkinan tulisannya jelek
·      Ingin melakukan segala sesuatu
·      Menyukai permainan yang menyibukkan.

DAFTAR PUSTAKA
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2008. Quantum Learnig: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.
Sanjaya, Wina. 2013. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Trianto. 2009. Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik Bagi Anak Usia Dini. Jakarta: PT Prestasi Pustaka Raya.
L.N., Syamsu Yusuf dan Nani M. Sugandhi. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 

1 comment

Jika ada yang ditanyakan, bisa menggunakan fitur Contact Us
Comment Author Avatar
June 3, 2021 at 9:15 AM Delete
This comment has been removed by the author.