Mengapa Murid PAUD/TK Dilarang Belajar Calistung?

Table of Contents
Mengapa Murid PAUD/TK Dilarang Belajar Calistung?
Di masyarakat terdapat tuntutan bahwa murid-murid usia dini harus diajarkan membaca, menulis dan berhitung (calistung). Tepatkah untuk memperoleh keterampilan dan kecerdasan literasi, mereka harus diajarkan calistung?

Sebenarnya murid usia dini yang terpenting adalah ditumbuhkan minat, kegemaran dan budaya literasinya. Mereka bisa belajar membaca, menulis dan berhitung dengan cara yang menyenangkan dan tidak dipaksa. Pandangan tentang murid usia dini harus bisa calistung dipicu oleh tuntutan saat memasuki sekolah dasar.

Secara formal, kurikulum PAUD/TK memang tidak mengajarkan adanya aktivitas calistung (membaca, menulis dan berhitung). Namun terdapat anggapan bahwa murid yang tidak bisa calistung maka akan menjumpai kesulitan ketika memasuki jenjang SD. Alasan yang dikemukakan, diantaranya adalah kompleksitas teks pelajaran di SD dan untuk memahaminya setiap murid dituntut bisa calistung.

Pada beberapa sekolah bahkan kemampuan calistung menjadi pra-syarat masuk sekolah dasar. Selain itu pembelajaran di sekolah dasar kelas awal hingga soal-soal ujian formatif maupun sumatif murid sekolah dasar didesain untuk murid yang sudah bisa membaca dan menulis.

Di masyarakat, kita dengan mudah menjumpai PAUD maupun TK yang mempromosikan kelebihan sekolahnya memiliki program baca tulis dan menggaransi ketika murid lulus bisa calistung, justru banyak diminati. Berawal dari pola pikir orangtua ini, seringkali guru hanya fokus mengembangkan potensi akademik (calistung) pada peserta didik, sehingga ada yang kecenderungan untuk mengabaikan berbagai potensi non akademiknya.

Para guru dengan tuntutan ini sering dihadapkan kepada dua pilihan. Memilih mengikuti selera pasar atau bertahan pada idealisme pembelajaran yang sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan murid (developmentally appropriate practice).

Mengikuti penumbuhan budaya keaksaraan sejak dari rumah. Belajar membaca dan menulis tidak memerlukan pelajaran privat khusus. Alih-alih melalui pembelajaran langsung dan formal, murid-murid mempelajari bahasa tulis melalui interaksi dengan orang dewasa dalam situasi keaksaraan, dengan menjelajah sendiri berbagai tulisan. murid melalui pengamatan terhadap orangtuanya, menggunakan bahasa tulis untuk berkomunikasi. Mereka ‘mempelajari’ bahasa tulis dengan cara alamiah seperti dalam mempelajari bahasa lisan (Pappas, 1995; 19 dalam Akhadiah, 1998; 35)

Lazim di masyarakat bahwa aktivitas belajar bagi murid-murid usia dini harus diterapkan secara formal dengan instruksi yang terstruktur dan terprogram. Apabila di pendidikan murid usia dini maupun taman murid-murid hanya melakukan aktivitas dengan bermain maka dipandang bahwa mereka tidak belajar, mereka tidak berliterasi. Apa tanggapan bapak ibu perihal ini?

Dunia murid usia dini (0-6 tahun atau 0-8 tahun) adalah dunia bermain. Cara belajar murid usia dini adalah dengan dan melalui bermain. Apa yang terbayang di benak kita dengan sebutan dan konsep aktivitas belajar? Belajar digambarkan sebagai kegiatan seorang siswa yang harus duduk manis di bangku, meletakkan tangannya di atas meja, harus menghadap lurus ke arah papan tulis, memegang buku teks pelajaran, diam seribu bahasa untuk benar-benar bisa mendengarkan apa yang disampaikan oleh bapak ibu guru di depan kelas. 

Padahal sebenarnya aktivitas murid adalah aktivitas bermain. Bermain tidak boleh dipisahkan dari dunia murid-murid. Bermain adalah kebutuhan murid-murid secara alamiah. Tanpa diminta, diperintah apalagi dipaksa, murid-murid pasti sangat suka bermain. Bermain adalah suatu kegiatan mengasyikkan yang pasti membuat lupa waktu dan murid-murid tenggelam dalam keasyikan tersebut (Roshonah, 2015; 35).

Literasi seharusnya memang berupa berbagai aktivitas yang menyenangkan dan mengasyikkan bagi murid-murid. Literasi dapat ditumbuh kembangkan dan dibudayakan melalui kegiatan bermain. Banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan bermain. murid-murid dapat mengembangkan berbagai aspek yang diperlukan untuk persiapan masa depan mereka.

Bermain dapat membantu perkembangan tubuh secara fisik, perkembangan emosional, sosial dan moral murid selain perkembangan kognitifnya. Dengan bermain, murid-murid tidak sekedar tumbuh dan berkembang literasi baca, tulis dan berhitungnya, bahkan kemampuan-kemampuan literasi yang lainnya.

Melalui bermain, murid-murid usia dini dapat memperoleh pengalaman pra-keaksaraan yang sangat kaya. Proses pengembangan bahasa murid-murid diperoleh dimulai dari bahasa lisan (spoken language) yang mereka dengarkan dan simak dalam keseharian. Mulai dari lingkungan yang paling dekat yaitu keluarga hingga orang-orang yang berada di sekitarnya dan di sekolah dasar.

Di dalam keluarga dapat dilakukan secara natural kegiatan yang penuh literasi dan diciptakan lingkungan literasi. Semuanya dilakukan dalam bentuk aktivitas bermain. Mulai bermain tebak-tebakan kata, mendengarkan cerita dan ikut terlibat dalam kegiatan bercerita, menggambar dan mewarnai gambar diiringi dengan memaknai gambar dengan mendengar komentar dari murid-murid, memanfaatkan kertas dan semacamnya dengan beragam alat tulis sederhana untuk melakukan kegiatan mencorat-coret, mengenali huruf-huruf dan kata-kata dalam bentuk mainan kartu dan sebagainya.

Lingkungan literasi dalam suasana yang menyenangkan dan mengasyikkan ini akan menjadi pondasi penting agar murid tumbuh minatnya, bergairah dalam membaca menulis dan berkembang kegemaran dan budaya bacanya. murid-murid harus dijauhkan dari aktivitas belajar yang memaksa dan dipaksakan. Dimana murid-murid cenderung digegas untuk bisa calistung misalnya dengan meminimalkan pengalaman pra-membaca yang menyenangkan.

Tampak di PAUD dan TK terdapat praktik-praktik belajar yang kurang memperdulikan kebutuhan murid untuk bermain dan pendekatan melalui bermain. Aktivitas membaca, menulis dan berhitung pun terkesan dipaksakan tanpa memperhatikan, apakah mereka suka atau tidak suka, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Di dalam ruang-ruang kelas SD, konsentrasi pada aktivitas belajar formal tidak jarang mengabaikan kesempatan murid didik untuk bermain guna menumbuhkembangkan dan meningkatkan kemampuan dan kecakapan literasinya melalui beraneka ragam kegiatannya.

Bagi siswa-siswi SMP dan SMA, belajar di sekolah seringkali menyita waktu yang mereka miliki untuk mengembangkan literasi dengan berbagai aktivitas yang menyenangkan dan mengasyikkan sesuai dengan hasrat, hobi dan bakat mereka. Sesungguhnya para siswa bisa mengembangkan literasinya melalui beragam kegiatan yang sangat variatif.

Dari kegiatan berpuisi, pidato, berdiskusi dengan topik-topik yang menarik perhatian remaja, bedah buku, membaca buku, bergantian dan saling membacakan buku, membuat dan mengisi majalah dinding, blog, dan web site, hingga cerpen, novel, esai populer dan menulis buku. Yang terpenting adalah bagaimana aktivitas literasi menjadi kegiatan yang mampu mewadahi mereka untuk mengaktualisasikan diri, menyalurkan kesenangan dan mengekspresikan gagasan positif, kreatif, dan inovatif remaja.

Post a Comment