Mengapa Meninggalkan Kurikulum 2013?
Banyak keluhan tentang kurikulum 2013, sejumlah orang mengeluhkan tentang beban belajar murid kita yang terlalu berat karena tuntutan kurikulum. Tapi ketika diajak bicara tentang kurikulum 2013, tiba-tiba hening. Atau terdapat pendapat basi yang diulang-ulang sejak awal, "kurikulumnya sudah bagus kok, gurunya saja yang gak kompoten".
Mau nunggu berapa banyak lagi anak-anak Indonesia menderita belajar sampai kita berani bicara blak-blakan tentang kurikulum 2013
Mengapa meninggalkan kurikulum 2013?
Alasan 1 : Miskonsepsi Kompetensi
Kompetensi adalah kesatuan antara sikap, pengetahuan, dan keterampilan seseorang melakukan suatu kinerja tertentu. Pada kurikulum 2013 kompetensi diturunkan menjadi 3 komponen berbeda yaitu sikap, pengetahuan dan keterampilan. Akibatnya, guru menderita mengajar dan murid menderita belajar karena proses penilaian yang rumit dan menghabiskan energi akibat pembedaan penilaian sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Alasan 2: Tuntutan Terlalu Tinggi
Tujuan pembelajaran esensial yang sesuai tahap perkembangan anak: relevan, realistis tapi menantang. Tujuan pembelajaran yang terlalu tinggi pada kurikulum 2013 tidak sesuai tahap perkembangan anak sehingga menjadi tidak relevan dan tidak realistis. Akibatnta, guru menderita mengajar karena dituntut menuntaskan konten sehingga terjebak pada cara mengajar satu arah. Tidak ada ruang kreativitas bagi guru. Sedangkan murid menderita belajar karena dituntut mempelajari banyak konten sehingga hanya belajar hafalan dan tidak mendapatkan pemahaman yang utuh.
Alasan 3: Batasan Waktu Terlalu Kaku
Satuan pendidikan dan guru dapat melakukan penyesuaian durasi dan kecepatan pembelajaran sesuai kebutuhan murid dan konteks lokal. Pada kurikulum 2013 pengaturan durasi pembelajaran setiap tujuan pembelajaran dikunci dalam satuan minggu, tidak bisa disesuaikan oleh guru dan satuan pendidikan sehingga guru menderita mengajar. Meski tahu muridnya belum paham tapi terpaksa melanjutkan pembelajaran selanjutnya. Murid menderita belajar karena belum menguasai pemahaman dasar dipaksa mempelajari pengetahuan yang lebih kompleks.
Bukti Riset
Selama pandemi, satuan pendidikan bisa memilih kurikulum 2013, kurikulum darurat atau kurikulum mandiri. Kedua pilihan lain adalah kurikulum 2013 yang disederhanakan. Darurat disederhanakan oleh pemerintah, sedangkan mandiri disederhanakan oleh satuan pendidikan. Seberapa banyak penyederhanaan kurikulum darurat?
Mana yang lebih tinggi capaian kompetensi literasi dan numerasinya, murid yang diajar kurikulum 2013 yang lebih lengkap atau murid yang kurikulum darurat yang lebih sedikit materinya? ini bukti riset yang dilakukan Puslitjak Kemendikbudristek dan INOVASI.
Ada banyak pendapat tentang kurikulum. Tapi apapun pendapatnya, penting kita ingat siapa praktisi pembelajaran dan lebih penting lagi, ingat siapa yang akan merasakan dampak kurikulum. Tiga alasan dan satu bukti riset dipilih berdasarkan perkembangan itu. Guru dan orang tua sebagai praktisi pembelajaran dan anak yang merasakan dampak kurikulum.
Bila bukti risetnya adalah data terbaru, namun 3 alasan itu adalah sesuatu yang telah dialami dan dirasakan oleh guru dan orangtua sejak lama, bahkan sejak awal kurikulum 2013.
Lebih jauh lagi, pilihan kurikulum kondisi khusus lebih efektif mendorong pemulihan pembelajaran, menyelamatkan anak-anak kita dari learning loss akibat pandemi COVID-19.
Sudah waktunya pendidikan diputuskan berdasarkan hasil riset, sudah terlau lama pendidikan diputuskan berdasarkan hasil rapat. Tanpa kajian, apalagi riset empires. Contoh? Empat kompetensi guru dan kurikulum 2013. Berselimut dibalik kata-kata indah yang melenakan.
Bila pendidikan hanya mengandalkan hasil rapat, hapus mata kuliah riset, ganti menjadi mata kuliah rapat.
Dikutip dari Catatan Bukik seorang pemikir #MerdekaBelajar
Post a Comment