Makalah Hakikat Kesulitan Belajar
Table of Contents
A. Landasan Pemikiran Diagnosis dan Pemecahan Kesulitan Belajar
Dalam dunia pendidikan, istilah “diagnosis” merupakan istilah yang relatif baru. Walaupun dalam dunia kedokteran sudah lama dikenal dan bukan istilah asing lagi. Dalam kegiatan diagnosis, seorang dokter mengadakan wawancara, mengukur dan memeriksa denyut jantung, tekanan darah dan sebagainya kepada pasiennya. Kemudian seorang dokter memberikan saran-saran, nasehat-nasehat, menyuntik obat, memberi resep kepada pasien agar obat diminum. Ini merupakan langkah tindak lanjut sebagai usaha penyembuh.
Ilustrasi
tersebut di atas sesuai dengan pendapat W.J.S. Poerwadarminto yang mengatakan,
bahwa diagnosis berarti penentuan sesuatu penyakit dengan menilik atau
memeriksa gejalanya. Istilah ini biasanya digunakan dalam ilmu kedokteran
(W.J.S. Poerwadarminto: 1982). Dalam dunia pendidikan arti “diagnosis” tidak
banyak mengalami perubahan, yaitu diartikan sebagai usaha-usaha untuk
mendeteksi, meneliti sebab-sebab, jenis-jenis, sifat-sifat dari kesulitan
belajar seorang murid.
Dengan
demikian semua kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk menemukan kesulitan
belajar termasuk kegiatan diagnosis. Adapun landasan pemikiran perlunya
diagnosis dan pemecahan kesulitan belajar bagi murid-murid sebagai berikut:
- Setiap murid hendaknya mendapat kesempatan dan pelayanan untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan, kecerdasan, bakat dan minatnya.
- Adanya perbedaan-perbedaan kemampuan, kecerdasan, bakat, minat dan latar belakang fisik serta sosial masing-masing murid, maka kemajuan belajar murid dalam satu kelas mungkin tidak sama. Ada murid yang cepat, biasa dan ada yang lambat
- Sistem pengajaran di sekolah seharusnya memberikan kesempatan kepada murid untuk maju sesuai dengan kemampuan sendiri. Pada waktu diadakan evaluasi akan nampak adanya sejumlah murid yang belum berhasil mencapai sekitar 25-20% dari murid dalam satu kelas dapat tergolong “murid mengalami kesulitan belajar”, dan perlu mendapat layanan remedial. Untuk pelayanan tersebut, guru perlu memperhatikan murid yang prestasi yang dituntut untuk tingkat kemampuan kelas tertentu.
- Untuk menghadapi hal-hal tersebut di atas, para guru dan konselor perlu diperlengkapi dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam hubungannya dengan pengidentifikasian kesulitan belajar, sebab-sebabnya dan pelayanan remedialnya (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan, 1997).
Dari
hasil studi tentang hubungan antara ciri-ciri kepribadian dengan prestasi
belajar menyatakan bahwa murid yang tergolong pencapaian rendah (under achiever) menunjukkan ciri-ciri
sebagai berikut.
- Lebih banyak mengalami kecemasan dan kurang mampu mengontrol diri terhadap kecemasan.
- Kurang mampu menyesuaikan diri dan kurang kepercayaan diri.
- Kurang mampu mengikuti otoritas.
- Kurang mampu dalam penerimaan sosial.
- Lebih banyak mengalami konflik ketergantungan.
- Kegiatannya kurang berorientasi pada akademik dan sosial (Rosyidan, 1998).
Mereka
yang mengalami kesulitan belajar tidak hanya
dibantu dalam memperoleh keterampilan belajar, tetapi dibantu dalam
memahami dirinya, serta mengarahkannya agar terdapat perkembangan yang harmonis
dan optimal. Mereka memerlukan bantuan untuk meningkatkan perasaan kebahagiaan
dirinya serta mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap lingkungannya (Hadi
Pranoto, Mengutip Mortensen, D.G. & A.M. Schmuller, 1996).
B. Pengertian Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris learning disability. Terjemahan tersebut sesungguhnya kurang tepat karena learning artinya belajar dan disability artinya ketidakmampuan; sehingga terjemahan yang benar seharusnya adalah ketidakmampuan belajar. Istilah kesulitan belajar digunakan dalam buku ini karena dirasakan lebih optimistik.
Kesulitan
belajar merupakan suatu konsep multidisipliner yang digunakan di lapangan ilmu
pendidikan, psikologi, maupun ilmu kedokteran. Pada tahun 1963 Samuel A. Kirk
untuk pertama kali menyarankan penyatuan nama-nama gangguan anak seperti
disfungsi otak minimal (minimal brain
dysfunction), gangguan neurologis (neurological
disorders), disleksia (dyslexia),
afasia perkembangan (developmental
aphasia) menjadi satu nama, kesulitan belajar (learning disabilities) (Takeshi Fujishima et al., 1992: 26). Konsep
tersebut telah diadopsi secara luas dan pendekatan edukatif terhadap kesulitan
belajar telah berkembang secara cepat, terutama di negara-negara yang sudah
maju.
Definisi
kesulitan belajar pertama kali dikemukakan oleh United States Office of Education (USOE) pada tahun 1997 dikenal
dengan Public Law (PL) 94-142, yang
hampir identik dengan definisi yang dikemukakan oleh The National Advisory Committee on Handicapped Children pada tahun
1967. Definisi tersebut seperti dikutip oleh Hallahan, Kauffman, dan Lloyd
(1985: 14) seperti berikut ini.
Kesulitan belajar
khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar
yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan
tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengar, berpikir,
berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut mencakup
kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan
afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki
problema belajar yang penyebab utamanya
berasal dari adanya hambatan dalam
penglihatan, pendengaran, atau motorik,
hambatan karena tunagrahita, karena gangguan emosional, atau karena
kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.
Meskipun
definisi USOE merupakan definisi resmi yang digunakan oleh pemerintah Amerika
Serikat, tetapi banyak kritik yang diarahkan pada definisi tersebut karena
berbagai alasan. Lovitt (1989: 6) mengemukakan lima macam kritik, yaitu:
- berkenaan dengan penggunaan istilah “anak”
- proses psikologis dasar
- pemisahan mengeja dari ekspresi pikiran dan perasaan secara tertulis,
- adanya berbagai kondisi yang digabungkan menjadi satu, dan
- pernyataan bahwa kesulitan belajar dapat terjadi bersamaan dengan kondisi-kondisi lain.
Jika
kajian tentang kesulitan belajar juga mencakup orang dewasa maka perlu
dihindari penggunaan istilah “anak”. Penggunaan ungkapan “proses psikologis
dasar” (basic psychological process)
dapat mengundang timbulnya perdebatan luas yang tidak ada gunanya di banding
kesulitan belajar. Memasukkan mengeja sebagai kategori yang terpisah adalah
tidak pada tempatnya karena mengeja merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari ekspresi pikiran dan perasaan secara tertulis. Definisi tersebut juga menjadi kurang bermutu
karena adanya sederetan kondisi, yang memasukkan gangguan perseptual, luka pada
otak, disfungsi otak minimal, disleksia, dan afasia perkembangan. Definisi
tersebut juga telah mengundang timbulnya kesalahpahaman yang luas karena
kesulitan belajar dapat terjadi bersamaan dengan kondisi-kondisi penghambat
lain atau tanpa adanya kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.
Sebagai
konsekuensi dari adanya berbagai kritik terhadap definisi PL 94-142 tersebut
maka The National Joint Committee for
Learning Disabilities (NJCLD) mengemukakan definisi sebagai berikut:
Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifiestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi matematika. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor-faktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung (Hammill et al., 1981: 336).
Menutut
Hammill et al., (1981: 337) definisi NJCLD tersebut memiliki
kelebihan-kelebihan bila dibandingkan dengan definisi yang dikemukakan dalam PL
94-142. Kelebihan-kelebihan tersebut adalah karena (1) tidak dikaitkan secara
eksklusif dengan anak-anak, (2) menghindari ungkapan “proses psikologis dasar”,
(3) tidak memasukkan mengeja sebagai gangguan yang terpisah dari kesulitan
mengekspresikan bahasa tertulis, (4) menghindarkan penyebutan berbagai kondisi
gangguan lain (misalnya gangguan perseptual, disleksia, disfungsi otak minimal)
yang akan dapat membingungkan, dan (5) secara jelas menyatakan bahwa kesulitan belajar
mungkin terjadi bersamaan dengan kondisi-kondisi lain
Baca: Contoh Aplikasi Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran IPS
Baca: Contoh Aplikasi Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran IPS
Meskipun
definisi yang dikemukakan oleh NJCLD memiliki kelebihan bila dibandingkan
dengan definisi yang dikemukakan dalam PL 94-142, The Board of the Association for Children and Adulth with Learning
Disabilities (ACALD) tidak menyetujui definisi tersebut, dan karena itu
mereka mengemukakan definisi seperti dikutip oleh Lovitt (1989: 7) sebagai
berikut:
Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan, integrasi, dan/atau kemampuan verbal dan/atau nonverbal.
Kesulitan belajar khusus tampil sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata pada orang-orang yang memiliki intelegensi rata-rata hingga superior, yang memiliki sistem sensoris yang cukup, dan kesempatan untuk belajar yang cukup pula. Berbagai kondisi tersebut bervariasi dalam bentuk perwujudan dan derajatnya.
Kondisi tersebut dapat
berpengaruh terhadap harga diri, pendidikan, pekerjaan, sosialisasi, dan/atau
aktivitas kehidupan sehari-hari sepanjang kehidupan.
Seperti
halnya definisi yang dikemukakan oleh NJCLD, definisi yang dikemukakan oleh
ACALD keduanya menyatakan bahwa kesulitan belajar diduga disebabkan oleh adanya
disfungsi neurologis. Definisi yang dikemukakan oleh ACALD memiliki perbedaan
penting dari definisi yang lain. Perbedaan tersebut tampak pada kalimat
terakhir yang menyatakan bahwa kesulitan belajar dapat melampaui kawasan
akademik.
Meskipun
terdapat perbedaan pada 3 definisi yang telah dikemukakan, ketiganya memiliki
titik-titik kesamaan, yaitu (1) kemungkinan adanya disfungsi neurologis, (2)
adanya kesulitan dalam tugas-tugas akademik, (3) adanya kesenjangan antara prestasi dengan potensi, dan (4) adanya
pengeluaran dari sebab-sebab lain. Baik definisi yang dikemukakan oleh NJCLD
maupun ACALD secara jelas menyatakan bahwa kesulitan belajar diduga disebabkan
oleh adanya gangguan neurologis, dan kondisi tersebut secara tidak langsung
juga dinyatakan dalam definisi PL 94-142. Ketiga definisi juga mengindikasikan
bahwa kesulitan belajar dapat berwujud sebagai suatu kekurangan dalam satu atau
lebih bidang akademik, baik dalam mata pelajaran yang spesifik seperti membaca,
menulis, matematika, dan mengeja; atau dalam berbagai keterampilan yang
bersifat lebih umum seperti
mendengarkan, berbicara dan berpikir.
Definisi yang dikemukakan oleh ACALD
menyatakan bahwa kesulitan belajar dapat muncul dalam bentuk penyesuaian sosial
atau vokasional, keterampilan kehidupan sehari-hari, atau harga diri. Ketiga
definisi mengemukakan bahwa anak berkesulitan belajar memperoleh prestasi belajar
jauh di bawah potensi yang dmilikinya. Potensi umumnya diukur dengan tes
intelegensi, biasanya menggunakan WISC-R (Wechsler
Intelligence Scale for Children-Rivized).
Prestasi belajar umumnya diukur
dengan tes prestasi belajar. Ketiga definisi mengeluarkan dari sebab-sebab lain
sehingga kesulitan belajar tidak dapat disamakan dengan tunagrahita (reterdasi mental), gangguan emosional,
gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau kemiskinan budaya dan sosial.
Ketiga definisi yang telah dikemukakan menyatakan bahwa pengertian kesulitan
belajar harus disebabkan oleh adanya gangguan fungsi neurologis atau dikaitkan
pada dugaan adanya kelainan fungsi neurologis.
Di
Indonesia belum ada definisi yang baku tentang kesulitan belajar. Para guru
umumnya memandang semua siswa yang memperoleh prestasi belajar rendah tersebut
siswa berkesulitan belajar. Dalam kondisi seperti itu, kiranya dapat
dipertimbangkan untuk mengadopsi definisi yang dikemukakan oleh ACALD untuk
digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia.
C. Prevalensi Anak Berkesulitan Belajar
Prevalensi anak berkesulitan belajar terkait
erat dengan definisi yang digunakan karena alat identifikasi dan asesmen untuk
menentukan prevalensi didasarkan atas definisi tertentu. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika peneliti mengemukakan data prevalensi yang berbeda dari
peneliti lainnya. Ada yang mengatakan bahwa prevalensi anak usia sekolah yang
berkesulitan belajar membentuk suatu rentangan dari 1% hingga 30% (Lerner, 1981:
15; Hallahan, Kauffman, & Lloyd, 1985: 15) dan ada pula yang mengatakan
bahwa rentangannya adalah 2% hingga 30% (Lovitt, 1989: 17) hasil penelitian
terhadap 3.215 murid kelas satu hingga kelas enam SD di DKI Jakarta menunjukkan
bahwa terdapat 16,52% yang oleh guru dinyatakan sebagai murid berkesulitan belajar
(Mulyono Abdurrahman & Nafsiah Ibrahim, 1994), menurut Kazuhiko dalam Takeshi
Fujishima et al., (1992; 26) estimasi prevalensi anak berkesulitan belajar
adalah 1% hingga 4%, dengan perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan antara
4 banding 1 hingga 7 banding 1. Program PLB pada Departemen Pendidikan Amerika
Serikat menggunakan estimasi pada mulanya 3%, sesudah itu 1%, dan terakhir
lebih dari 3% (Hallahan, Kaufman, dan Lloyd, 1985: 15).
Menurut Lerner (1985: 17), 40% dari
anak-anak luar biasa yang memperoleh pelayanan PLB di Amerika Serikat ialah
anak-anak tergolong berkesulitan belajar. Perbandingan proporsi mereka antara
anak laki-laki dengan anak perempuan adalah 72 berbanding 28 (Lerner, 1985:
19). Dari data tersebut menunjukkan bahwa kesulitan belajar lebih banyak
terjadi pada anak-anak laki-laki
daripada anak-anak perempuan.
Menurut Hallahan et al., jumlah anak
berkesulitan belajar meningkat secara dramatiks; dan sebaliknya, jumlah anak
tunagrahita menurun tajam. Keadaan semacam itu terjadi pada tahun 1980-an,
yaitu saat kriteria adaptabilitas sosial digunakan untuk menentukan anak
tunagrahita. Dengan digunakannya kriteria adaptabilitas sosial di samping taraf
intelegensi untuk mengidentifikasi anak tunagrahita, maka anak-anak yang pada
mulanya dianggap sebagai tunagrahita ternyata termasuk anak berkesulitan
belajar. Menurut Lerner (1985: 18), ada lima alasan yang menyebabkan kenaikan jumlah
anak berkesulitan belajar,
- peningkatan prosedur identifikasi dan asesmen anak berkesulitan belajar
- persyaratan yang longgar untuk menentukan anak berkesulitan belajar
- orang tua dan guru lebih menyukai klasifikasi anak berkesulitan belajar daripada klasifikasi lain
- penurunan biaya program PLB yang segregatif dan peningkatan biaya program PLB yang integratif, dan
- adanya evaluasi ulang terhadap anak-anak yang pada awalnya dinyatakan sebagai anak tunagrahita.
D. Klasifikasi Kesulitan Belajar
Membuat
klasifikasi kesulitan belajar tidak mudah karena kesulitan belajar merupakan
kelompok kesulitan yang heterogen. Tidak seperti tunanetra, tunarungu, atau
tunagrahita yang homogen, kesulitan belajar memiliki banyak tipe yang
masing-masing memerlukan diagnosis dan remediasi yang berbeda-beda. Betapa pun
sulitnya membuat klasifikasi kesulitan belajar, klasifikasi tampaknya memang
diperlukan karena bermanfaat untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat. Secara
garis besar kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok,
- kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities) dan
- kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities).
Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan mencakup gangguan
motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi, dan kesulitan
belajar dalam penyesuaian perilaku sosial. Kesulitan belajar akademik menunjuk
pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan
kapasitas yang diharapkan. Kegagalan-kegagalan tersebut mencakup penugasan
keterampilan dalam membaca, menulis, dan/atau matematika.
Kesulitan
belajar akademik dapat diketahui oleh guru atau orang tua ketika anak gagal
menampilkan salah satu atau beberapa kemampuan akademik. Sebaliknya, kesulitan
belajar yang bersifat perkembangan umumnya sukar diketahui baik oleh orang tua
maupun oleh guru karena tidak ada pengukuran-pengukuran yang sistematik seperti
halnya dalam bidang akademik. Kesulitan belajar yang berhubungan dengan
perkembangan sering tampak sebagai kesulitan belajar yang disebabkan oleh tidak
dikuasainya keterampilan prasyarat (prerequisite
skills), yaitu keterampilan yang harus dikuasai lebih dahulu agar dapat
menguasai bentuk keterampilan berikutnya.
Meskipun
beberapa kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan sering
berkaitan dengan kegagalan dalam pencapaian prestasi akademik, hubungan antara
keduanya tidak selalu jelas. Ada anak yang gagal dalam belajar membaca yang
menunjukkan ketidakmampuan dalam fungsi-fungsi perseptual motor, tetapi ada
pula yang dapat belajar membaca meskipun memiliki ketidakmampuan dalam
fungsi-fungsi perseptual motor.
Untuk
mencapai prestasi akademik yang memuaskan seorang anak memerlukan penguasaan
keterampilan prasyarat. Anak yang memperoleh prestasi belajar yang rendah
karena kurang menguasai keterampilan prasyarat, umumnya dapat mencapai prestasi
tersebut. Untuk dapat menyelesaikan soal matematika bentuk cerita misalnya,
seorang anak harus menguasai lebih dahulu keterampilan membaca pemahaman. Untuk
dapat membaca, seorang anak harus sudah berkembang kemampuannya dalam melakukan
diskriminasi visual maupun aditif, ingatan visual maupun auditoris, dan
kemampuan untuk memusatkan perhatian.
Salah
satu kemampuan dasar yang umumnya dipandang paling penting dalam kegiatan
belajar adalah kemampuan untuk memusatkan perhatian atau yang sering disebut
perhatian selektif. Perhatian selektif adalah kemampuan untuk memilih salah
satu di antara sejumlah rangsangan seperti rangsangan auditif, taktil, visual,
dan kinestetik yang mengenai manusia setiap saat. Seperti dijelaskan oleh Ross
(1976: 60), perhatian selektif (selective
attention) membantu manusia membatasi jumlah rangsangan yang perlu diproses
pada suatu waktu tertentu. Jika seorang anak memperhatikan dan bereaksi terhadap
banyak rangsangan, maka anak semacam itu dipandang sebagai anak yang terganggu
perhatiannya (distractible). Menurut Ross,
kesulitan belajar banyak disebabkan oleh adanya gangguan perkembangan dari
penggunaan dan mempertahankan perhatian selektif.
E. Penyebab Kesulitan Belajar
Prestasi
belajar dipengaruhi oleh dua faktor, internal, dan eksternal. Penyebab utama
kesulitan belajar (learning disabilities)
adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis;
sedangkan penyebab utama problema belajar (learning
problems) adalah faktor eksternal. Yaitu antara lain berupa strategi
pembelajaran yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan
motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan penguatan (reinforcement) yang tidak tepat.
Disfungsi
neurologis sering tidak hanya menyebabkan kesulitan belajar tetapi juga dapat
menyebabkan tunagrahita dan gangguan emosional. Berbagai faktor yang dapat
menyebabkan disfungsi neurologis yang pada gilirannya dapat menyebabkan
kesulitan belajar antara lain adalah
- faktor genetik
- luka pada otak karena trauma fisik atau karena kekurangan oksigen
- biokimia yang hilang (misalnya biokimia yang diperlukan untuk memfungsikan saraf pusat),
- biokimia yang dapat merusak otak (misalnya zat pewarna pada makanan)
- pencemaran lingkungan (misalnya pencemaran timah hitam)
- gizi yang tidak memadai, dan
- pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan anak (deprivasi lingkungan).
F. Pelayanan Pengajaran Remedial bagi Anak Berkesulitan Belajar
Pengajaran remedial (remedial teaching) bertolak dari konsep belajar tuntas (mastery learning), yang ditandai oleh sistem pembelajaran dengan menggunakan modul. Pada tiap akhir kegiatan pembelajaran dari suatu unit pelajaran, guru melakukan evaluasi formatif, dan setelah adanya evaluasi formatif itulah anak-anak yang belum menguasai bahan pelajaran diberikan pengajaran remedial, agar tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya dapat dicapai. Dengan demikian, pengajaran remedial pada hakikatnya merupakan kewajiban bagi semua guru setelah mereka melakukan evaluasi formatif dan menemukan adanya anak yang belum mampu meraih tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dalam
kehidupan sehari-hari ada anak yang meskipun telah diberi pengajaran remedial
oleh guru, mereka tetap memperoleh prestasi belajar yang tidak sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Bahkan, mungkin ada anak-anak yang
penguasaan prasyaratnya masih terlalu rendah untuk mengikuti pelajaran yang
disajikan sehingga guru perlu memperbaiki penguasaan prasyarat tersebut. Anak-anak
semacam itu umumnya tergolong anak berkesulitan belajar, yang tidak mungkin
guru kelas atau guru reguler untuk terus menerus membantu anak tersebut.
Tugas
untuk memberikan pengajaran remedial bagi anak-anak berkesulitan belajar yang
berat seperti itu sebaiknya diserahkan kepada guru yang memiliki keahlian
khusus dalam pelayanan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar. Guru yang
harus memberikan pelayanan pengajaran remedial bagi anak-anak berkesulitan
belajar disebut guru remedial (remedial
teacher). Dengan demikian, di suatu sekolah idealnya ada dua jenis guru,
guru reguler (baik guru kelas maupun guru bidang studi) dan guru remedial yang
khusus memberikan pelayanan pengajaran remedial bagi anak-anak berkesulitan
belajar.
Sebelum
pengajaran remedial diberikan, guru lebih dahulu perlu menegakkan diagnosis
kesulitan belajar, yaitu menentukan jenis dan penyebab kesulitan serta
alternatif strategi pengajaran remedial yang efektif dan efisien. Menurut buku
Akta Mengajar V (1984/1985: 40), ada enam langkah prosedur diagnosis yang perlu
dilalui
- identifikasi
- lokalisasi letak kesulitan
- lokalisasi penyebab kesulitan
- memperkirakan kemampuan bantuan
- menetapkan kemungkinan cara mengatasi kesulitan, dan
- tindak lanjut.
- menentukan potensi atau kapasitas anak
- menentukan taraf kemampuan dalam suatu bidang studi yag memerlukan pengajaran remedial
- menentukan gejala kegagalan dalam suatu bidang studi
- menganalisis faktor-faktor yang terkait, dan
- menyusun rekomendasi untuk pengajaran remedial.
- identifikasi
- menentukan prioritas
- menentukan potensi
- menentukan taraf kemampuan dalam bidang yang perlu diremediasi
- menentukan gejala kesulitan
- menganalisis faktor-faktor yang terkait, dan
- menyusun rekomendasi untuk pengajaran remedial.
a. Prosedur Diagnosis
Seperti
telah dikemukakan bahwa ada tujuh prosedur yang harus dilalui dalam menegakkan
diagnosis, yaitu identifikasi, menentukan prioritas, menentukan potensi anak,
menentukan taraf kemampuan, menentukan gejala kesulitan, menganalisis
faktor-faktor yang terkait, dan menyusun rekomendasi untuk pengajaran remedial.
Prosedur tersebut dapat dijelaskan seperti berikut ini.
Identifikasi.
Sekolah yang ingin menyelenggarakan program pengajaran remedial yang sistematis
hendaknya melakukan identifikasi untuk menentukan anak-anak yang memerlukan
atau berpotensi memerlukan pelayanan pengajaran remedial. Pelaksanaan
identifikasi dapat dilakukan dengan memerhatikan laporan guru kelas atau
sekolah sebelumnya, hasil tes intelegensi yang dilakukan secara massal atau
individual, atau melalui instrumen informal, misalnya dalam bentuk lembar
observasi guru atau orang tua. Berdasarkan informasi tersebut, sekolah dapat
memperkirakan berapa jumlah anak yang memerlukan pelayanan pengajaran remedial.
Berdasarkan data tersebut juga dapat digunakan untuk mengelompokkan anak,
berapa yang tergolong ringan yang dapat dilayani oleh guru reguler, berapa yang
tergolong sedang, dan berapa yang tergolong berat yang memerlukan pelayanan
guru remedial, yaitu guru khusus yang memiliki keahlian di bidang pendidikan
bagi anak berkesulitan belajar.
Menentukan prioritas.
Tidak semua anak yang oleh sekolah dinyatakan sebagai berkesulitan belajar
memerlukan pelayanan khusus oleh guru remedial, lebih-lebih jika jumlah guru
remedial masih sangat terbatas. Oleh karena itu, sekolah perlu menentukan
prioritas anak mana yang diperkirakan dapat diberi pelayanan pengajaran
remedial oleh guru kelas atau guru bidang studi; dan anak mana yang perlu
dilayani oleh guru khusus. Anak-anak berkesulitan belajar yang tergolong berat
mungkin perlu memperoleh prioritas utama untuk memperoleh pelayanan pengajaran
remedial yang sistematis dari guru khusus remedial.
Menentukan potensi.
Potensi anak biasanya didasarkan atas skor tes intelegensi. Oleh karena itu,
setelah identifikasi anak berkesulitan belajar dilakukan, maka untuk menentukan
potensi diperlukan tes intelegensi. Tes intelegensi yang paling banyak
digunakan adalah WISC-R (Wechler
Intelegence Scale for Children-Revised) (Anastasi, 1982: 251). Jika dari
hasil tes tersebut anak memiliki skor IQ 70 ke bawah, maka anak semacam itu
dapat digolongkan ke dalam kelompok anak tunagrahita. Anak tunagrahita tidak
memerlukan pelayanan pengajaran remedial di sekolah biasa tetapi seluruh
program pengajaran harus disesuaikan dengan potensi anak tersebut. Jika hasil
tes intelegensi menunjukkan anak memiliki skor IQ 71 hingga 89, maka anak
semacam itu tergolong lamban belajar, yang mungkin secara terus menerus
memerlukan bantuan agar dapat mengikuti program pendidikan yang didasarkan atas
kriteria normal. Yang dapat digolongkan anak berkesulitan belajar ialah yang
memiliki skor IQ rata-rata atau lebih, yaitu paling rendah skor 90.
Menentukan penguasaan bidang studi yang perlu
diremediasi. Salah satu karakteristik anak
berkesulitan belajar adalah prestasi belajar yang jauh dibawah kapasitas
intelegensinya. Oleh karena itu, guru remedial perlu memilki data tentang
prestasi belajar anak dan membandingkan prestasi belajar tersebut dengan taraf
intelegensinya. Kalau prestasi anak menyimpang jauh di bawah kapasitas
intelegensinya maka dapat dikelompokkan sebagai anak berkesulitan belajar;
sedangkan kalau prestasinya seimbang dengan kapasitas intelegensinya maka tidak
dapat dikelompokkan sebagai anak berkesulitan belajar. Ditinjau dari sudut
statistika, yang dimaksud dengan penyimpangan yang jauh di bawah rata-rata
adalah dua simpangan baku di bawah rata-rata (mean).
Menentukan gejala kesulitan.
Pada langkah ini guru remedial perlu melakukan observasi dan analisis cara anak
belajar. Cara anak mempelajari suatu bidang studi sering dapat mmberikan
informasi diagnostik tentang sumber penyebab yang orisinal dari suatu
kesulitan. Kesulitan dalam membedakan huruf “b” dan “d” misalnya, sering
merupakan petunjuk bahwa anak memiliki gangguan persepsi visual. Gangguan
persepsi visual tersebut sering disebakan oleh adanya disfungsi otak. Gejala
kesulitan tersebut dapat digunakan sebagai landasan dalam menentukan diagnosis,
yang selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan dalam menentukan strategi
pembelajaran yang sesuai.
Analisis berbagai faktor yang terkait.
Pada langkah ini guru remedial perlu melakukan analisis terhadap hasil-hasil
pemeriksaan ahli-ahli lain seperti psikolog, dokter, konselor, dan pekerja sosial.
Berdasarkan hasil analisis terhadap hasil pemeriksaan berbagai bidang keahlian
dan mengaitkan mereka dengan hasil observasi yang dilakukan sendiri, guru
remedial dapat menegakkan suatu diagnosis yang diharapkan dapat digunakan
sebagai landasan dalam menentukan strategi pengajaran remedial yang efektif dan
efisien. Ini berarti bahwa seorang guru remedial perlu memiliki pengetahuan
dasar tentang berbagai bidang ilmu yang terkait dan dapat menjalin suatu bentuk
kerjasama multidisipliner.
Menyusun rekomendasi untuk pengajaran remedial.
Berdasarkan hasil diagnosis yang secara cermat ditegakkan, guru remedial dapat
menyusun suatu rekomendasi penyelenggaraan program pengajaran remedial bagi
seorang anak berkesulitan belajar. Rekomendasi tersebut mungkin dapat dalam
bentuk suatu program pendidikan yang diindividualkan (individualized education programs), yang pelaksanaannya perlu
dievaluasi lebih dahulu oleh suatu tim
yang disebut Tim Penilai Program Pendidkan Individual (TP3I) (Kitano dan Kirby,
1986: 150). Tim tersebut biasanya terdiri dari guru khusus remedial, guru
reguler, kepala sekolah, konselor, dokter, psikolog, orang tua, dan kalau
mungkin juga anak yang bersangkutan. Pembahasan yang agak mendalam tentang
Program Pendidikan Individual (PPI) dilakukan pada Bab II.
b. Prinsip Diagnosis
Ada
beberapa prinsip diagnosis yang perlu diperhatikan oleh guru bagi anak
berkesulitan belajar. Prinsip-prinsip tersebut adalah (1) terarah pada
perumusan metode perbaikan, (2) efisien, (3) menggunakan catatan kumulatif, (4)
memperhatikan berbagai informasi yang terkait, (5) valid dan reliabel, (6)
penggunaan tes baku (kalau mungkin), (7) penggunaan prosedur informal, (8)
kuantitatif, dan (9) berkesinambungan.
Terarah pada perumusan metode perbaikan.
Diagnosis hendaknya mengumpulkan berbagai informasi yang bermanfaat untuk
menyusun suatu program perbaikan atau program pengajaran remedial. Ada dua tipe
diagnosis, diagnosis etiologis (etiological
diagnosis) dan diagnosis terapetik (therapeutic
diagnosis).
Diagnosis etiologis merupakan diagnosis ynag bertujuan untuk
mengetahaui sumber penyebab orisinal dari kesulitan belajar. Diagnosis ini
umumnya kurang bermanfaat untuk merumuskan program pengajaran remedial.
Mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan
penyakit yang lama diderita oleh seorang anak sehingga anak lama tidak
masuk sekolah, yang menyebabkan anak tertinggal dari teman-temannya dalam
beberapa bidang studi misalnya, informasi tersebut tidak bermanfaat langsung
untuk menyusun program pengajaran remedial. Informasi semacam itu hanya
bermanfaat untuk menetapkan sumber penyebab orisinal kesulitan belajar.
Diagnosis terapetik merupakan diagnosis yang berkaitan langsung dengan kondisi
anak pada saat sekarang dan sangat bermanfaat untuk menyusun program pengajaran
remedial. Diagnosis ini berusaha intuk mengumpulkan informasi tentang kekuatan,
keterbatasan dan karakteristik lingkungan anak sekarang. Informasi tentang
lingkungan anak sangat penting untuk
landasan tindakan korektif sebelum pengajaran remedial dilakukan. Bila
lingkungan telah mendukung berlangsungnya proses pengajaran remedial, maka
informasi tentang kekuatan dan keterbatasan anak dapat dijadikan landasan dalam
penyusunan program pengajaran remedial. Diagnosis bukan hanya sekedar taksiran
keterampilan dan kemampuan anak.
Mengingat kesulitan belajar memiliki latar belakang yang kompleks maka
informasi mengenai kondisi fisik, sensorik, emosional, dan lingkungan perlu
mendapat perhatian.
Diagnosis harus efisien.
Diagnosis kesulitan belajar sering berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Hal semacam ini dapat menjemukan, sehingga dapat berpengaruh buruk terhadap
motivasi belajar anak. Diagnosis hendaknya berlangsung sesuai dengan derajat
kesulitan anak. Evaluasi rutin, termasuk evaluasi psikologis, dapat memberikan
informasi diagnostik yang berharga, diagnosis yang didasarkan atas hasil-hasil
evaluasi yang dilakukan secara rutin di
sekolah dapat digolongkan ke dalam taraf diagnosis umum (general diagnoisis). Diagnosis umum ini bermanfaat untuk
menyesuaikan program pembelajaran yang didasarkan atas individualitas anak dan
dapat pula untuk membantu menemukan anak yang memerlukan analisis lebih rinci
tentang kesulitan belajar mereka. Bila suatu kesulitan belajar disertai dengan
gejala-gejala lain, misalnya gejala neurologis, maka pemeriksaan medis sering
diperlukan. Diagnosis kesulitan belajar yang ditegakkan atas hasil evaluasi semacam
itu dapat digolongkan pada taraf diagnosis analitis (analytical diagnosis). Diagnosis analitis, terutama diagnosis
medis-neurologis, bermanfaat untuk menentukan lokasi pada otak yang menyebabkan
kesulitan belajar, sehingga dengan demikian dapat dijadikan landasan dalam
menyesuaikan program pengajaran remedial yang sesuai dengan keadaan anak.
Kadang-kadang dijumpai adanya anak yang mengalami kesulitan belajar yang sumbernya
sukar diketahui. Misalnya, anak yang intelegensinya berada di atas rata-rata
dan dari hasil pemeriksaan medis tidak ditemukan adanya kelainan neurologis,
maka anak tersebut perlu dievaluasi secara lebih cermat. Diagnosis yang
ditegakkan ke dalam diagnosis studi-kasus (casestudy
diagnosis). Diagnosis studi kasus sangat bermanfaat untuk menentukan metode
pengajaran yang lebih khusus yang sesuai dengan kodisi anak.
Penggunaan catatan kumulatif.
Catatan kumulatif (cumulative records)
dibuat sepanjang tahun kehidupan anak di sekolah. Catatan semacam itu dapat
memberikan informasi yang sangat berharga dalam pengajaran remedial. Informasi
tersebut dapat digunakan sebagai landasan untuk menentukan program pengajaran
remedial. Penggunaan berbagai tes yang tidak bermanfaat hendaknya dihindari
karena hanya akan menjemukan anak.
Valid dan reliabel.
Dalam melakukan diagnosis hendaknya digunakan instrumen yang dapat mengukur apa
yang seharusnya diukur (valid) dan
instrumen tersebut hendaknya juga yang dapat diandalkan (reliable). Informasi yang dikumpulkan hendaknya hanya yang tepat,
yang dapat dijadikan landasan dalam menentukan program pengajaran remedial.
Penggunaan berbagai tes yang tidak bermanfaat hendaknya dihindari karena hanya
akan menjemukan anak.
Penggunaan tes baku.
Tes baku adalah tes yang telah dikalibrasi, yaitu tes yang telah diuji validitas
dan reliabilitasnya. Berbagai tes psikologis, terutama tes intelegensi, umumnya
merupakan tes baku yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Tetapi,
tidak demikian halnya dengan tes prestasi belajar yang umumnya buatan guru. Di
negara kita tes prestasi belajar yang baku masih merupakan barang langka,
lebih-lebih yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kesulitan belajar. Hal ini
mungkin disebabkan oleh karena menyusun tes baku lebih sulit dan memerlukan
biaya tinggi bila dibandingkan dengan tes hasil belajar biasa.
Penggunaan prosedur informal. Meskipun
tes-tes baku umumnya mampu memberikan informasi yang lebih tepat dan efisien,
penggunaan prosedur informal sering memberikan manfaat yang bermakna. Guru
hendaknya memiliki perasaan bebas untuk melakukan evaluasi dan tidak terlalu
terikat secara kaku oleh tes baku. Di negara yang masih belum banyak
dikembangkan tes baku, hasil observasi guru memegang peranan yang sangat
penting untuk menegakkan diagnosis kesulitan belajar anak. Dari observasi
informal sering dapat diperoleh informasi yang bermanfaat bagi penyusunan
program pengajaran remedial.
Kuantitatif.
Keputusan-keputusan dalam diagnosis kesulitan belajar hendaknya didasarkan pada
pola-pola skor atau dalam bentuk angka. Bila informasi tentang kesulitan
belajar telah dikumpulkan, maka informasi tersebut harus disusun sedemikian
rupa sehingga skor-skor dapat dibandingkan. Hal ini sangat berguna untuk
mengetahui kesenjangan antara potensi dengan prestasi belajar anak saat
pengajaran remedial akan dimulai. Informasi yang kuantitatif juga memungkinkan
bagi guru untuk mengetahui keberhasilan pengajaran remedial yang diberikan kepada
anak.
Diagnosis dilakukan secara berkesinambungan.
Kadang-kadang anak gagal mencapai tujuan pengajaran remedial yang telah
dikembangkan berdasarkan hasil diagnosis. Dalam keadaan semacam ini perlu dilakukan
diagnosis ulang untuk landasan penyusunan program pengajaran remedial yang
lebih efektif dan efisien. Suatu program pengajaran remedial yang berhasil pun,
mungkin masih perlu dimodifikasi untuk memperoleh tingkat efektivitas dan
efisiensi yang lebih tinggi. Dengan demikian, diagnosis dilakukan secara
berkesinambungan untuk memperbaiki atau meningkatkan efektivitas dan efisiensi
program pengajaran remedial.
G. Hubungan Antara Pendidikan Luar Biasa dengan Pendidikan pada Umumnya
Pendidikan bagi anak berkesulitan
belajar merupakan bagian dari pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa atau
sering disingkat PLB bukan merupakan pendidikan yang secara keseluruhan berbeda
dari pendidikan pada umumnya. Jika kadang-kadang diperlukan pelayanan yang
terpaksa memisahkan anak luar biasa dari anak-anak lain pada umumnya, hendaknya
dipandang sebagai hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction) dan bukan untuk keperluan pendidikan (education). Ini berarti, bahwa pemisahan
anak luar biasa dari anak lain pada umumnya hendaknya hanya dipandang untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan belajar yang
terprogram, terkontrol, dan terukur; atau yang secara ringkas disebut
pembelajaran atau tujuan instruksional khusus (instructional objectives).
Tujuan pendidikan tidak selamanya
terprogram, terkontrol, dan terukur. Menjadikan anak-anak saling menghargai,
menjalin kerjasama, menghargai perasaan dan pikiran orang lain, tenggang rasa,
adalah beberapa contoh dari tujuan pendidikan yang tidak selamanya terprogram,
terkontrol, terukur. Untuk mencapai tujuan pendidikan semacam itu, sering
diperlukan integrasi antara anak-anak luar biasa dengan anak-anak lain pada umumnya
atau yang sering disebut “anak normal”. Dalam kenyataan, sesungguhnya yang
dinamakan anak normal itu tidak ada. Yang ada ialah anak dengan perbedaan
individual (individual difference).
Dalam kerangka landasan perbedaan individual itulah pendidikan luar biasa
diselenggarakan; dan karena itu, pelayanan pendidikan luar biasa dapat
diselenggarakan terintegrasi dengan pelayanan pendidikan pada umumnya.
Dalam kehidupannya, bangsa Indonesia
memegang teguh semboyan Bhinneka Tunggal Ika, suatu semboyan yang pertama kali
dikemukakan oleh Empu Tantular pada zaman Majapahit. Berdasarkan semboyan itu
pula, bangsa Indonesia merebut kemerdekaannya dari penjajahan bangsa lain, dan
berdasarkan semboyan itu pula bangsa Indonesia membangun sistem
pendidikannya. Semboyan Bhinneka Tunggal
Ika, sering diterjemahkan sebagai “berbeda tetapi satu”. Meskipun demikian
interpretasi tiap orang tentang apa yang berbeda dan apa yang satu mungkin
berbeda-beda. Dalam dunia pendidikan, konsep perbedaan atau kebhinnekaan adalah
terkait dengan individual differences sedangkan
konsep kesamaan adalah kesamaan dalam misi yang diemban oleh manusia dalam
kehidupannya.
Perbedaan vertikal menunjuk pada intelegensi. Ketajaman sensoris,
kekuatan fisik, kematangan emosi, dan ketajaman intuisi. Perbedaan horizontal
menunjuk pada ras, suku bangsa, agama, adat istiadat, dan bahasa yang semuanya
memiliki posisi yang setara sehingga tidak ada yang lebih rendah atau lebih
tinggi. Dengan adanya perbedaan tersebut maka dimungkinkan manusia dapat saling
berhubungan dalam rangka saling membutuhkan. Kesamaan menunjuk pada ketunggalan
tugas semua manusia dalam hidupnya, yaitu semata-mata mengabdi kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Kesadaran terhadap ketunggalan tugas hidup semua manusia inilah
yang mendorong bangsa Indonesia untuk selalu berupaya tidak hanya memahami
hakikat pandangan hidupnya, Pancasila, tetapi juga dengan keras berupaya untuk
mengaktulisasikannya dalam kehidupan. Dalam dunia pedidikan, aktualisasi
pandangan hidup tersebut adalah terintegrasinya anak-anak luar biasa dengan
anak-anak lain pada umumnya dalam suatu suasana gotong royong untuk
meningkatkan kualitas pengabdian mereka
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Itulah sebabnya, pendidikan luar biasa mungkin
dapat dibedakan dari pendidikan pada umumnya tetapi keduanya tidak dapat
dipisahkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman,
Mulyono. 2003. Pendidikan bagi Anak
Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Mulyadi.
2008. Diagnosis Kesulitan Belajar.
Terima Kasih atas kunjungan anda, jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberikan komentar atas postingan ini...
Post a Comment